Tajuk fatwa > Membaca Al
Qur'an Dan Salah
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Membaca Al
Qur'an Dan Salah
|
Nomor
fatwa :
|
8
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah
|
Sumber
fatwa :
|
[Kumpulan
Fatwa, jilid 13, halaman 422]
|
Soal:
|
|
Ibnu
Taimiah ditanya tentang suatu kaum yang membaca Al Qur'an dan salah. Di
antara mereka ada yang menyalahkannya, kemudian salah seorang dari mereka
berkata: satu kesalahan adalah sebesar sepuluh kebaikan?!
|
|
Jawab
:
|
|
Syaikhul
Islam Taqiuddin Abu Al-'Abbas Ahmad bin Taimiah berkata: Segala puji hanyalah
bagi Allah. Apabila mereka dapat membetulkan maka betulkanlah, dan apabila
tidak dapat, maka tidak apa-apa, menurut kemampuan mereka
|
Tajuk fatwa > Bolehkah
Melagukan Al Qur'an Dengan Nada Musik? Dan Bagaimanakah Hukum Melukis Cerita
Al Qur'an?
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Bolehkah
Melagukan Al Qur'an Dengan Nada Musik? Dan Bagaimanakah Hukum Melukis Cerita
Al Qur'an?
|
Nomor
fatwa :
|
34
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Lembaga Fatwa mesir
|
Sumber
fatwa :
|
[Mukhtashar
Fatawa Darul Iftaa' Al Masriah, halaman 404]
|
Soal:
|
|
Telah
datang kepada kami, permintaan fatwa dari sekelompok umat Islam yang cinta
kepada agamanya. Mereka bertanya, bolehkah melagukan Al Qur'an dengan nada
musik yang didendangkan oleh penyanyi pria dan wanita? Dan apakah hukumnya,
melukis ayat-ayat al Quran dengan lukisan yang artistik? Mereka meminta agar
jawaban dari pertanyaan yang sangat penting ini, dipublikasikan secara umum.
|
|
Jawab
:
|
|
Jawaban
dari pertanyaan pertama, didasarkan pada dalil Naqli dan kali. Dalil Naqli,
kita lihat pada Mukadimah Thabari, para ulama berkata, bahwa telah diketahui
dengan pasti, telah sampai kepada kita bacaan-bacaan Al Qur'an dari para
ahlinya sepanjang masa, dari generasi ke generasi yang lain. Dari masa
Rasulullah saw. hingga sekarang tidak pernah kita dapati orang yang melagukan
dan menyanyikan Al Qur'an, meskipun banyak sekali ahli tentang makhraj,
idgham dan jenis-jenis lainnya dalam ilmu Qiraat. Selain itu, para penyanyi
dalam melagukan kalimat, tidak memperhatikan panjang pendeknya huruf.
Terutama huruf-huruf mad, panjang; satu alif dibaca sangat panjang, huruf
wawu melebihi satu huruf. Sehingga melebihi yang tertera dalam Al Qur'an.
Yang demikian ini tentunya dilarang, bagaimanapun bunyi nada sebuah huruf,
sungguh huruf hamzah itu hanya ada dua kemungkinan; hamzah panjang dan
pendek.
Jika
dikatakan, disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Mughafal, ia berkata, Dalam sebuah
perjalanan, Rasul saw. membaca surat Al-Fath di atas kendaraanya. Dalam
bacaannya Rasul melakukan Tarji' (memanjangkan mad yang tidak sesuai dengan
yang semestinya). Bukhari
menggambarkan Tarji' sebagaimana berikut;(a-aa, a-aa, a-aa).
Hal ini
dimaksudkan, Isybaa'ul mad (memaksimalkannya). Ada kemungkinan bahwa suara
itu ditimbulkan oleh hentakan kendaraanya. Bila kemungkinan ini yang terjadi
maka tidak bisa dijadikan alasan.
Diriwayatkan
oleh Abu Muhammad Abdul Ghani bin said al Hafiz dari hadis Qatadah, dari
Abdurrahman bin Abu Bakar dari ayahnya, berkata, bahwa bacaan Rasul saw. adalah mad, panjang, bukan
tarji'
Diriwayatkan
oleh ibnu Jarih dari Atha, dari ibnu 'Abbas, ia berkata: "Rasulullah mempunyai muazin yang melagukan azan.
Rasul bersabda; "Sesungguhnya azan itu mudah dan sederhana, maka jika
kamu tidak bisa mengumandangkan azan seperti itu, janganlah
mengumandangkanya".
Dalam
hadis tersebut Nabi telah melarang menyanyikan Azan. Larangan menyanyikan Al
Qur'an lebih utama daripada larangan menyanyikan azan. Allah berfirman, "Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. [Al
Hijr: 9] Dan Allah berfirman, "Yang
tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji". [Fushshilat:42]
Perbedaan
pendapat di atas terjadi, masih dalam batasan tidak merusak pemahaman Al
Qur'an. Bila masalahnya melebihi itu, sampai maknanya tidak dapat dimengerti,
makan hukumnya mutlak haram. Sebagaimana yang dilakukan oleh Qari'-qari resmi
Mesir, yang membacakan Al Qur'an di depan Raja dan pada acara-acara takziah
serta mengambil upah dan hadiah. Sungguh sesat usahanya, dan mengecewakan
perbuatan mereka.
Sungguh
mustahil bagi mereka merubah kitab Allah dan bermain-main dengan
menambah-menambah dalam bacaan. Dikarenakan kebodohan mereka terhadap agama.
Berbuat makar terhadap sunah Rasul dan menolak untuk meneladani orang-orang
saleh. Mereka menganggap bahwa diri mereka telah melakukan kebaikan, padahal
sebenarnya bermain-main dengan kitab Allah. Akan tetapi Rasul telah jauh-jauh
hari mengatakan bahwa yang demikian itu akan terjadi.
Disebutkan
oleh Imam Al-Hafizh Abul Husein dan Abu Abdullah Tirmizi al Hakim dalam kitab
Nawadirul Usul, dari hadis Huzaifah, bahwa Rasul saw. bersabda, "Bacalah Al Qur'an dengan nada dialek Arab,
dan janganlah sekali-kali melagukan sebagaimana halnya orang-orang fasik dan
tidak pula seperti lagunya ahli kitab. Akan datang setelahku, sebuah kaum
yang mentarji', memanjang-manjangkan bacaan Al Qur'an seperti nyanyian,
melengking tidak melebihi tenggorokannya. Hatinya terpesona, begitu juga
orang-orang yang mengaguminya. Kalimat
"Alluhun", bentuk jama' dari "Lahn", yaitu nyanyian dan
memperindah dengan bacaan, syair dan lagu.
Dikatakan
oleh para ulama, bahwa apa yang dilakukan oleh para Qari' zaman ini, dengan
melagukan bacaan yang bernada asing, tidaklah dilarang oleh Nabi. Tarji'
dalam Al Qur'an adalah mengulang-ulang huruf, seperti bacaan kalimat "An
Nashaaraa". Bacaan tartil adalah, membaca berlahan-lahan, dan huruf-hurufnya
jelas. Menyerupai mulut yang sedang menyanyi. Allah berfirman, "atau
lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan
perlahan-lahan". [Al
Muzzammil: 4]
Umu
Salamah ditanya tentang bacaan Nabi. Ia berkata,"Apa yang kalian dapatkan dari sifat bacaan
Rasulullah? Beliau salat, lalu tidur, yang lamanya sama dengan masa salatnya.
Kemudian salat, yang lamanya sama dengan waktu tidurnya. Lalu mensifati
bacaannya, ia menyifati bacaannya, yaitu dengan berlahan-lahan dan jelas,
seakan-akan bisa diketahui setiap hurufnya. Diriwayatkan
oleh Nasai, Abu Daud dan Tirmizi yang mengatakan hadis ini hasan, sahih dan
garib.
Demikianlah
sebagian yang tersebut dalam Mukadimah Tafsir Thabari, juz satu.
Ustaz
Mustafa Sadik Arrafi'i dalam karyanya, "I'jazul Qur'an" pada bab
Qira'atu talhin, mengatakan; Di antara bacaan yang baru adalah bacaan yang
lagunya seperti kita ketahui sekarang, yang berkembang dengan sendirinya dari
generasi sebelumnya. Bacaan ini menyerupai nada lagu yang indah dan terbagi
dalam beberapa bagian sebagaimana berikut:
Tar'id,
yaitu, manakala seorang qari' menggetarkan suaranya dalam mambaca Al Qur'an,
seolah-olah sakit dan kedinginan.
Tarqish,
yakni berhenti pada saat sukun. Lalu mulai menghentakkan suara pada harakat.
Seakan-akan lari kencang.
Tahzin,
bacaan yang mengandung nada sedih menyerupai tangisan yang dilakukan dengan
tenang dan khusyuk'.
Tardid,
Sebuah bacaan, yang diulang oleh kelompok dengan nada yang serempak pada
penutup bacaan.
Selain
dari pada itu, bacaan dapat pula dibagi menjadi; Tahqiq, Hidru dan Tadwir.
Tahqiq,
yaitu bacaan di mana huruf-hurufnya terbaca sebagaimana mestinya dengan
berlahan-lahan. Al Hidru, adalah bacaan yang kecepatannya bertahap dengan
memperhatikan syarat bacaan yang benar. Tadwir, pertengahan antara bacaan
Tahqiq dan Al-Hidru.
Pada
pertengahan tahun dua ratus, Ubaidillah bin Abu Bakrah memperkenalkan bacaan
dengan lagu. Bacaannya bernada sedih yang sama sekali tidak ada kemiripannya
dengan lagu. Nada ini diwariskan kepada cucunya, Abdullah bin Umar bin
Ubaidillah, yang selanjutnya terkenal dengan "bacaan Ibnu Umar".
Dalam perkembangannya, bacaan ini diambil oleh Al Abadzi, lalu Sa'id bin
Allaf dan saudaranya. Bacaan ini mencapai masa puncaknya pada masa Sa'id bin
Allaf, yang juga dianggap sebagai tokoh yang mewakili aliran dari bacaan ini.
Karena ia telah membacakannya di depan Khalifah Harun Arrasyid dan telah
berkenan di hatinya, sehingga seringkali ia diundang khalifah untuk
memperdengarkan bacaannya. Maka tersebarlah di kalangan umum bahwa ia adalah
qari' Amirul Mukminin.
Qiraat,
bacaan terus berkembang dan muncullah nama-nama Qari' kenamaan, seperti,
Haitsam, Abban dan Ibnu A'yun dan lain sebagainya yang membacakan di
Majelis-majelis dan masjid-masjid. Mereka memasukkan nada yang menyerupai
nada lagu. Ada di antara mereka yang sedikit menyembunyikan sesuatu huruf
dalam bacaannya dan ada pula yang membacanya dengan bacaan yang jelas.
Seperti, firman Allah dalam surat Al Kahfi: ammas
safiinatau fakaanat limasaakiina [Al
Kahfi: 79]. Kata limasaakiina, dibaca limasakiina, dengan menyembunyikan mad
(bacaan panjang). Dihilangkannya mad tersebut seperti bacaan kalimat
al-quthat pada syair berikut ini:
ammal
quthatu fa innii saufa an‘atuha
"tha"
dalam quthatu seharusnya panjang
Ibnu A'yun
memasukkan sesuatu dan menyembunyikannya, sampai Tirmizi, Muhammad bin Sa'id
pada tahun tiga ratus mengikutinya pula. Pada masa itu, para khalifah
menggandrungi lagu dan sangat menyenanginya. Maka Muhammad adalah orang yang
pertama membaca dengan model bacaan baru.
Pengarang
kitab Jamalul Qiraat mengatakan, bahwa orang yang pertama kali mendendangkan
bacaan yang demikian ini adalah, Al Haitsam, yaitu saat membaca ayat ammas
safiinatau sebagaimana tersebut di atas. Tampaknya hal inilah awal
munculnya bacaan berlagu. Karena bacaan yang demikian ini tidak pernah ada
pada masa Nabi, sahabat maupun masa tabiin. Kecuali riwayat yang disebutkan
oleh Tirmizi dalam kitab Syamail.
Para ulama
berselisih pendapat tentang penafsiran sebuah riwayat yang sanadnya
disandarkan kepada ibnu Mughafal, ia berkata, Aku melihat Rasul saw. pada
hari pembukaan kota Mekah di atas kendaraanya, membaca surat Al-Fath: innaa
fathnaa laka fathan mubiinan liyaghfira lakallaahu maa taqaddama min dzanbika
wa maa ta-akhkhara [Al
Fat-h:1,2]. Beliau membacanya dengan tarji', memanjang-manjangkan. Ibnu
Mughaffal menafsirkan dengan
hamzah fathah setelahnya alif, tiga kali, aa, aa, aa. Namun demikian para
ulama telah sepakat bahwa sifat Tarji' ini tidak seperti nada lagu.
Di antara
Para sahabat dan tabiin, ada yang dapat menghukumi qiraah dengan baik, dan
dapat melakukannya dengan makhraj yang benar, seakan-akan terdengar bacaan
yang fasih dan dengan nada yang teratur. Itulah alunan nada yang sesuai
dengan dialek bahasa Arab, bukan nada lagu.
Kebanyakan
orang Arab dalam membaca Al Qur'an tidak lepas dari cara membaca kasidah
syair. karena dialeknya telah terpola sedemikian rupa sesuai dengan
faktor-faktor yang membentuknya. Bukan model bacaan yang bernada seperti lagu
yang di buat-buat. Sampai-sampai mereka mengatakan tentang bacaan sebagian
yang lain, bahwa dalam membaca Al Qur'an seperti membaca rajaz orang Badui.
Bagi kita,
inilah dasar bacaan yang benar. Hanya saja pada perkembangan selanjutnya,
berubah dari pola bacaan asli menjadi bacaan berlagu. Khususnya setelah
orang-orang zindik menemukan jenis syair yang disebut "Taghbir" yang
tidak pernah dikenal sebelumnya oleh bangsa Arab, yaitu, mengumandangkan
bait-bait syair dengan nyanyian dan tarian. Maka orang yang melakukannya
disebut "Al Mughbirah". Diriwayatkan oleh Syafi'i, ia berkata:
"aku melihat orang-orang zindik melakukan taghbir untuk mengalihkan
perhatian orang dari berzikir kepada Allah dan membaca Al Qur'an".
Singkat
kata seorang yang beribadah dapat memahami lafal-lafal Al Qur'an dan
membacanya dengan benar berdasarkan bentuk yang diterima dari Nabi melalui
jalur periwayatan yang bersambung.
Dalam
kitabnya, Al-Itqan fi ilmu Quran, Imam Jalaludin Suyuthi menyebutkan satu
bab, yaitu bab Cara membaca. pada halaman: 172 sebagai berikut;
Tiga cara
membaca:
1. Tahqiq,
yaitu bacaan yang sesuai dengan yang semestinya, setiap huruf mad, panjang
dibaca sesuai dengan bacaan yang benar, harakatnya lengkap, jelas sesuai
dengan tajwid. Yang demikian ini adalah merupakan latihan olah bahasa dan
meluruskan bacaan lafal. Bagi mereka yang terpelajar, baik sekali
mempergunakan bacaan ini tanpa berlebihan, dengan membuat hal-hal baru dengan
mengulang-ulang menyebutkan huruf. seperti memperpanjang harakat,
mengulang-ulang menyebut huruf Ra', sukun menjadi harakat, berlebih-lebihan
dalam menyebut huruf nun dan lain sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh
Hamzah terhadap mereka yang berlebihan dalam bacaan: "Tidakkah kalian
tahu bahwa warna yang paling putih adalah penyakit kusta, dan yang paling
keriting adalah kucing, dan bacaan yang berlebihan adalah bukan bacaan".
Berhati-hati
dalam membedakan huruf-huruf dalam kalimat, bagaikan orang yang berhenti pada
huruf ta' pada kalimat nasta‘iina dengan berlahan-lahan. Bacaan yang
sedemikian ini adalah bacaan mazhab Hamzah. Diriwayatkan oleh Attain, sebuah
hadis dalam bab Tajwid, bersambung sampai pada Ibnu Kaab, bahwa ia membaca dengan Rasulullah dengan bacaan
Tahqiq.Ia
berkata, hadis ini garib, akan tetapi sanadnya lurus.
2. Hadru.
Yaitu, tahap bacaan dan kecepatannya. Meringankan bacaan dengan memendekkan,
sukun, ikhtilas, badal, idgham dan meringankan bacaan hamzah dan sebagainya,
sebagaimana yang tersebut dalam riwayat yang benar dengan memperhatikan i'rab
dan kebenaran melafalkan serta melafalkan huruf dengan benar tanpa
mengabaikan tajwidnya. Jenis ini adalah mazhab Ibnu Katsir dan Abu Ja'far.
Dan termasuk pemisahan dengan menyingkat bacaan, seperti Amru dan Yakub.
3. Tadwir.
Yaitu bacaan pertengahan antara Tahqiq dan Hadru yang diikuti oleh sebagian
besar ahli Qiraat. Yaitu mereka yang membaca mad, panjang pada mad yang
terpisah, akan tetapi tidak sampai kepada insya'. Mazhab ini diikuti oleh
semua ahli Qiraat. Karena dianggap paling benar.
Selanjutnya
akan dirugikan sunah tartil qiraah Al Qur'an, dan akan dijelaskan perbedaan
antara tartil dan tahqiq sebagaimana disebutkan oleh sebagian ahli Qiraat,
bahwa Tahqiq merupakan latihan, pengajaran dan pembiasaan. Tartil, untuk
berpikir dan pengambilan konklusi. Setiap tahqiq adalah tartil dan tidak
selalu setiap tartil adalah tahqiq.
Selanjutnya
akan dirugikan sunah tartil qiraah Al Qur'an, dan akan dijelaskan perbedaan
antara tartil dan tahqiq sebagaimana disebutkan oleh sebagian ahli Qiraat,
bahwa Tahqiq merupakan latihan, pengajaran dan pembiasaan. Tartil, untuk
berpikir dan pengambilan konklusi. Setiap tahqiq adalah tartil dan tidak
selalu setiap tartil adalah tahqiq.
Kemudian
dilanjutkan dengan bab lain, yaitu tajwid Qur'an. Dalam bab ini dikatakan, Di
antara masalah penting dalam Qiraat adalah Tajwid. Telah banyak para ulama
yang menulis bab ini, di antaranya adalah Attain. Diriwayatkan oleh Ibnu
Mas'ud, ia berkata, "Jawwidul Qur'an" Para ahli Qiraat, berkata,
Tajwid adalah hiasan Qiraat, yaitu, menempatkan huruf pada tempatnya dan
sesuai dengan urutannya serta melafalkan huruf sesuai dengan makhrajnya
dengan sempurna tanpa berlebihan dan tanpa beban.
Dalam hal
ini Rasul saw. mengisyaratkan dalam sabdanya,"Barang siapa yang ingin membaca Al Qur'an dengan
bacaan yang halus seperti halnya ketika diturunkan, maka hendaknya mengikuti
bacaan Ummu Abd" Maksudnya
ialah Ibnu Mas'ud, yang telah banyak melakukan kajian dalam bidang Tajwid Al
Qur'an. Dan tidak diragukan lagi bahwa umat ini telah serius melakukan
kajian-kajian untuk memahami Al Qur'an sebagaimana halnya mereka melakukan
kajian tentang lafal Al Qur'an yang sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh
ahli qiraah, yang bersandar kepada bacaan dari aslinya.
Para ahli
qiraah menyebutkan, bahwa bacaan yang tidak sesuai dengan Tajwid adalah
"Lahn", "kesalahan". Mereka membagi Lahn menjadi dua,
Lahn khafi (yang tersembunyi) dan Lahn jali (jelas). Lahn Khafi, adalah
kesalahan yang terdapat pada lafal, yang tidak tampak. Adapun lahn jali,
adalah kesalahan melafalkan yang tampak yang dapat diketahui oleh para ahli
qiraah dan sebagainya. Yaitu kesalahan dalam i'rab.
Ibnu Al
Jazri mengatakan, aku tidak tahu batas akhir tajwid, seperti olah bahasa, dan
mengulang-ulang lafal yang diajarkan oleh ahlinya. Namun kaidahnya kembali
kepada cara berhenti membaca, imalah, idgham, hukum hamzah, tarqiq dan
tafkhim sesuai dengan makhraj.
Cukuplah
bagi kita dengan dalil naqli yang telah menetapkan dengan jelas tanpa
meninggalkan keragu-raguan, bahwa membaca Al Qur'an harus merujuk kepada
orang-orang pada zaman Nabi, sahabat dan tabiin yang terlepas dari tarji' dan
kecenderungan melagukan Al Qur'an.
Orang-orang
Islam telah membuat perubahan dalam bacaan Al Qur'an setelah pertengahan
tahun seratus Hijriah. Yang demikian ini merupakan perbuatan bidah dalam
membaca Al Qur'an. Yaitu perbuatan yang berkaitan erat sekali dengan kitab
Allah yang telah diturunkan kepada rasul-Nya, diperdengarkan kepada
Rasulullah melalui wahyu dan disampaikannya kepada sahabat-sahabatnya sesuai
dengan ketika diturunkan.
Perbuatan
bidah ini diada-adakan oleh orang-orang zindik untuk mengalihkan perhatian
dari mengingat Allah dan dari bacaan Al Qur'an yang sesuai dengan bacaan
Rasul dan sahabat-sahabatnya. Perbuatan bidah ini sangat berbahaya, karena
Allah memerintahkan kita untuk memahami Al Qur'an dan melaksanakan
hukum-hukumnya serta memerintahkan kita agar membaca lafal dan huruf Al
Qur'an sesuai dengan yang diturunkan kepada Rasulullah.
Demikianlah
pendapat para ulama tentang melagukan dan menyanyikan Al Qur'an. Mereka
mengharamkan bagi orang yang melakukanya. Oleh karena itu dengan sendirinya
mereka mengharamkan pula, bacaan Al Qur'an yang bernada nyanyian, disertai
dengan iringan musik seperti halnya lagu-lagu.
Jika kita
mengkaji dengan teliti maka akan kita dapatkan sebuah kesimpulan yang jelas,
akan larangan menyanyikan Al Qur'an dengan nada musik dan larangan
memperdengarkannya kepada orang lain, disertai dengan alat-alat musik seperti
halnya mendendangkan lagu. Selain itu, perlu juga menahan orang-orang yang
berusaha mengotori ayat sucinya, di mana mereka telah selalu menjaga
keagungan, dan kesucian Al Qur'an.
Al Qur'an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai petunjuk dan
pembeda antara hak dan batil. Bukan untuk dinyanyikan. Umat Islam telah
diperintahkan untuk memahami maknanya dan memikirkan apa yang tertera di
dalamnya.
Kitab ini
harus tetap terjaga dari kesuciannya dan keagunganya. Dan setiap perbuatan
yang menyelewengkan tujuan ini dianggap perbuatan mungkar yang ditolak oleh
agama. Maka selayaknya Al Qur'an diperdengarkan dalam suasana yang hening dan
tenang. Allah berfirman, "Dan
apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat". (Al
A'raaf: 204)
Mendengarkan
Al Qur'an seperti mendengarkan lagu berarti telah menjadikan Al Qur'an
sebagai bahan permainan, yang menjauhkan pendengar dari kenikmatan dan
kelezatan sebagaimana tujuan diturunkannya, yaitu hidayah dan petunjuk
manusia.
Setiap
tempat, ada kata-kata yang sesuai. Dan setiap tempat ada sesuatu yang cocok
untuknya. Majelis hidayah dan pengarahan berbeda sama sekali dengan majelis
bermain dan bersenang-senang. Maka tidak boleh bagi kita merubah fungsi Al
Qur'an, dari petunjuk manusia menjadi sarana kesenangan, kenikmatan dan
permainan.
Bukti
paling kuat atas perbedaan yang mencolok antara keduanya, bisa kita lihat
pada dua tempat itu; Tempat berkumpulnya orang-orang yang mendengarkan Al
Qur'an dari salah seorang qari' dan tempat berkumpulnya orang yang
mendengarkan penyanyi baik laki-laki maupun penyanyi perempuan. Pertama,
orang-orang berkumpul, telinga dan hatinya terkonsentrasikan untuk memahami
makna yang terkandung dalam Al Qur'an dengan tenang, pasrah dan khusyuk'
serta menghormati majelisnya.
Adapun
majelis yang kedua, orang-orang dengan histeris berteriak-teriak meminta agar
lagunya diulang dan ucapan-ucapan lainnya, yang jauh dari ketenangan.
Bacaan Al
Qur'an yang dilagukan dengan musik bukan Al Qur'an yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya dan bukan pula Al Qur'an yang apabila kita baca merupakan
amal ibadah. Para ahli kitab telah menyelewengkan dan mengganti kitab Allah
yang telah diturunkan kepada mereka sebagai hidayah dan petunjuk. Maka
apabila kita melakukan perbuatan dengan membaca Al Qur'an bernada nyanyian
dan bacaan yang disertai alunan musik, maka kita telah terjebak dalam
perbuatan yang sama dengan yang diperbuat oleh para ahli kitab. Dengan
demikian kita telah melakukan penyelewengan dan penggantian kitab Allah yang
mengakibatkan sirnanya agama dan kehancuran umat Islam.
Para ulama
dan para pemikir Islam serta mereka yang menjaga dan memelihara meluruskan
agama haruslah bersikap tegas menghalangi dan menghalau siapa saja yang
mencoba membaca Al Qur'an yang diiringi dengan musik, seperti menyanyikan
kasidah. Sehingga mereka telah turut serta menjaga kitab sucinya dari
kehancuran. Agar mereka juga selalu ingat akan firman Allah:
Para ulama
dan para pemikir Islam serta mereka yang menjaga dan memelihara meluruskan
agama haruslah bersikap tegas menghalangi dan menghalau siapa saja yang
mencoba membaca Al Qur'an yang diiringi dengan musik, seperti menyanyikan
kasidah. Sehingga mereka telah turut serta menjaga kitab sucinya dari
kehancuran. Agar mereka juga selalu ingat akan firman Allah,"Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya". [Al
Hijr:9] dan firman Allah, Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang
tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al
Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah
patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai
Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)". [Yunus:
15]
Jawaban
bagian kedua soal:
Penulisan
Mushaf adalah tauqifiah (berdasarkan ketentuan) yang tidak boleh diubah-ubah.
Imam Malik ditanya, "Apakah Mushaf ditulis dengan huruf yang dibuat oleh
manusia"? ia menjawab, "Tidak, dengan tulisan seperti yang
diwahyukan" (dari Allah). Diriwayatkan oleh Attain dalam kitab
Al-Muqni'. Lalu berkata, tidak ada perselisihan pendapat antara umat.
Dikatakan
dalam kesempatan lain, bahwa Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam Al
Qur'an, seperti wawu dan alif. Bolehkah merubah huruf-huruf itu?
"Tidak", jawabnya. Abu Amru mengatakan, "Maksudnya adalah
huruf wawu dan alif, yang dalam penulisannya panjang dan mamdud, panjang dalam
melafalkannya, seperti, ÃæáæÇ .
Imam Ahmad
mengatakan, "Tidak dibolehkan menyalahi tulisan Mushaf Usman, seperti
huruf alif, wau dan huruf-huruf lainnya. Al Baihaqi berkata, dalam kitab
Cabang Iman, "Barang siapa menulis mushaf Usman, hendaklah menjaga huruf-huruf
alfabet yang ditulis tanpa membedakan dan merubah sedikit pun. Sesungguhnya
mereka yang telah menuliskan mushaf itu lebih berilmu, jujur, dan lebih teguh
memegang amanat dari pada kita. Maka selayaknya kita tidak menyangka bahwa
kita lebih berpengetahuan dari pada mereka".
Dalam
kitabnya "Al-Itqan fi ulumil Qur'an", Imam Suyuthi berkata, Masalah
tulisan, secara umum ada enam kaidah: menghilangkan, menambah, huruf hamzah,
badal, menyambung, dan memisah serta yang terdapat dua qiraah, ditulis salah
satunya. Lalu menyebutkan hukum-hukum kaidah tersebut dan semuanya telah
tertulis dalam kitabnya.
Dengan
demikian jelaslah bahwa tulisan dalam mushaf telah dipelajari dan dihafal
oleh para ulama. Mereka tidak mau mengubahnya dan mengharamkan bagi yang merubah
tulisan Mushaf Usman.
Bila
penulisan mushaf Usman harus sesuai dengan kaidah huruf alfabet, maka
lebih-lebih lagi apabila tulisan itu disertai dengan gambar, tentunya hal ini
lebih terlarang. Jika merubah tulisan mushaf Usman dilarang, maka diharamkan
pula menulis mushaf tersebut yang di dalamnya disertai dengan gambar-gambar
yang menceritakan makna dari ayat-ayat yang tertulis dan penjelasannya.
Di samping
itu, perbuatan itu akan menimbulkan kerusakan yang harus diantisipasi.
Menggambarkan kisah Yusuf misalnya, berarti harus menggambar sosok seorang
Nabi yang tentunya tidak sesuai dengan kedudukan keNabiannya yang mempunyai
kesucian dan kemuliaan. Menurut kesepakatan ulama, menentang kedudukan Nabi
adalah haram. Begitu pula menggambar kisah Nabi Adam dan Hawa saat keluar
dari surga dan turunnya ke Bumi dengan menampakkan auratnya, yang jelas tidak
layak untuk ditampakkan, tidak boleh dilakukan.
Oleh
karena itu, masihkah ada manfaat yang didapat oleh umat Islam dengan
menentang kalam Allah yang telah diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana?
Maka bagi
mereka yang berpikir, membolehkan menggambar al Quran, hendaknya takut kepada
Allah. Sesungguhnya umat Islam yang telah menghafal dan mempelajari Al Qur'an
dengan baik, betul-betul dalam keburukan jika lalai, tidak menjaga
kesuciannya. Maka tidak dibolehkan mencetak Mushaf yang disertai dengan
perubahan dalam tulisan atau menambah gambar apapun di dalamnya. Wallahu
A'lam.
|
Mufti: Syekh Hasan Makmun
4 Zulhijah 1375 H 12 Juli 1956 M |
Tajuk fatwa > Mematuhi Hukum
Tajwid Dalam Salat
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Mematuhi
Hukum Tajwid Dalam Salat
|
Nomor
fatwa :
|
103
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Mantan Mufti Arab Saudi
|
Sumber
fatwa :
|
[Fatwa-Fatwa
Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Fatwa, jilid 6, halaman 393]
|
Soal:
|
|
Mematuhi
hukum Tajwid dalam salat, wajib atau tidak? Dengan dalil
|
|
Jawab
:
|
|
Allah swt.
memerintahkan untuk membaca Al Qur'an dengan pelan-pelan dan mengucapkan
semua huruf sebagaimana mestinya. Allah berfirman: Dan
bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. [Al
Muzzammil:4] Menurut petunjuk Nabi pun membaca Al Qur'an harus dilakukan
dengan pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Huruf perhuruf dan berhenti pada
setiap ayat. Beliau memanjangkan yang mesti dipanjangkan, seperti
memanjangkan Ar Rahmaan dan memanjangkan Ar Rahiim serta membaca a'uzu
billahi minasy syaithanir rajim pada awal bacaannya.
|
Tajuk fatwa > Tidak Dapat
Mengucapkan Beberapa Ayat Dengan Betul
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Tidak
Dapat Mengucapkan Beberapa Ayat Dengan Betul
|
Nomor
fatwa :
|
121
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Komite Tetap Lembaga Kajian Ilmiah dan Fatwa
|
Sumber
fatwa :
|
[Fatwa-Fatwa
Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Fatwa, fatwa nomor 5948]
|
Soal:
|
|
Saya asli
Yaman. Bermukim di Saudi selama lebih dari sepuluh tahun. Yatim piatu. Saya
senang membaca Al Qur'an, saya sering membacanya di masjid. Tetapi ada
beberapa ayat yang tidak dapat saya ucapkan dengan benar. Hal itu disebabkan
karena saya tidak pernah sekolah sama sekali. Apakah bacaan saya yang tidak
tepat itu menyebabkan dosa atau tidak? Mohon penjelasan.
|
|
Jawab
:
|
|
Kamu harus
berusaha membetulkan bacaan itu. Yaitu dengan belajar membaca kepada pembaca
Al Qur'an yang diakui, dan banyak membaca yang kamu kuasai di masjid dan
lainnya. Insya Allah, jika kamu telah berusaha, Allah akan memudahkan
urusanmu. Diriwayatkan dengan benar dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda: Orang yang pandai membaca Al Qur'an akan bersama para
rasul yang mulia dan taat-taat. Adapun orang yang membaca Al Qur'an dengan
tersendat-sendat dan susah payah akan mendapatkan dua pahala
|
Tajuk fatwa > Salah Dalam
Membaca Al Qur'an, Tetapi Tetap Berusaha Mempelajarinya
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Salah
Dalam Membaca Al Qur'an, Tetapi Tetap Berusaha Mempelajarinya
|
Nomor
fatwa :
|
122
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Syekh Saleh al-Fauzan
|
Sumber
fatwa :
|
[Fatwa-Fatwa
Al Fauzan, Al Muntaqa, jilid 1, halaman 81, 82]
|
Soal:
|
|
Ibu saya
buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi, Al Hamdu lillah, puasa
dan salat. Hanya saja pada saat membaca ayat Al Qur'an dalam salat membacanya
dengan sedikit perubahan karena ketidak tahuannya. Apakah hal itu termasuk
pengubahan dalam Al Qur'an yang menyebabkan dosa? Saya sudah berusaha
mengajari bacaan yang betul, tetapi tetap tidak bisa juga?
|
|
Jawab
:
|
|
Ibumu
tidak akan berdosa karena hal itu, karena hal itu adalah batas kemampuannya.
Disebutkan dalam hadis: Adapun orang yang membaca Al Qur'an dengan
tersendat-sendat dan susah payah akan mendapatkan dua pahala Jika
kamu sudah berusaha untuk mengajari dan meluruskan bacaan maka kamu telah
berbuat baik. Dia pun sudah berusaha, tetapi tetap tidak bisa, dari tidak
apa-apa, insya Allah. Walaupun demikian dia tetap terus berusaha, baik dengan
memperdengarkan bacaan ayat yang kamu hafal atau dengan memperdengarkan kaset
atau dengan mendatangkan seorang guru ngaji. Seseorang jika berusaha akan
ditolong oleh Allah.
|
Tajuk fatwa > Orang Yang
Tidak Pandai Dalam Hukum Membaca Al Qur'an, Dosa Atau Tidak
|
|
Tajuk
fatwa :
|
Orang Yang
Tidak Pandai Dalam Hukum Membaca Al Qur'an, Dosa Atau Tidak
|
Nomor
fatwa :
|
123
|
Tanggal
penambahan :
|
Kamis 5 Jumadilakhir
1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M.
|
Pihak
pemberi fatwa :
|
Fatwa
Syekh Saleh al-Fauzan
|
Sumber
fatwa :
|
Fatwa-Fatwa
Al Fauzan Nur 'Ala Ad Darb, diperiapkan oleh Faiz Muhammad Syihah, jilid 1]
|
Soal:
|
|
Saya
banyak membaca Al Qur'an, tetapi saya tidak menguasai hukum-hukumnya dan
sering salah dalam membaca. Apakah dalam hal ini saya berdosa?
|
|
Jawab
:
|
|
Kewajiban
seorang Muslim adalah belajar membaca lafal Al Qur'an sampai dia menguasai
dan mampu membacanya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah dan
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Hal itu dilakukannya pada batas
kemampuannya. Apabila memungkinkan untuk membacanya dengan hati-hati dan
dengan mengulangnya berkali-kali hingga membacanya dengan benar, maka dia
akan mendapatkan dua pahala atas apa yang dilakukannya itu. Sebagaimana yang
dikabarkan oleh Nabi saw. dengan sabdanya: "Orang yang membaca Al Qur'an dengan
terbata-bata dan dia mendapatkan kesulitan dalam melakukannya, maka dia
mendapatkan dua pahala". Maka
bersabarlah Anda, wahai saudaraku, berhati-hatilah dalam membaca, dan bacalah
kata-kata Al Qur'an berkali-kali sampai Anda dapat membacanya sebagaimana
ketika diturunkan meskipun dalam melakukannya Anda mendapatkan kesulitan,
sesungguhnya hal itu menjadikan pahala Anda lebih besar. Dan Anda jangan
tergesa-gesa dan sekedar mengeluarkan suara sehingga tidak mempedulikan
apakah di dalam bacaan itu terdapat kesalahan atau kebenaran. Hal itu berarti
meremehkan firman Allah swt. Sedangkan kita mengetahui bahwa Al Qur'an ini
adalah firman Allah yang diucapkan-Nya sebagaimana kita membacanya dengan
huruf-huruf dan harakat-harakat ini. Jibril menerimanya dari Allah swt.
kemudian disampaikannya kepada hati Nabi Muhammad saw. persis seperti ketika
dia menerimanya dari Allah. Allah berfirman: "Dan
sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." [Asy
Syu'araa':192-195].
|
(Sumber : http://www.qurancomplex.com/)
0 komentar:
Posting Komentar