Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau
lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku
lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi
Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman
hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh
manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan
Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang
menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti
agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia
merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri
dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk
mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas
kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan
Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan
mereka kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan
para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui
kedudukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar
dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam
sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia
masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas
dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan
berkata, “Ya Zaid, maukah
posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya,
kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid
menimpali, “Demi Allah, aku
sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk
sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun
berkata, “Tidak pernah aku
mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat
Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah
wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh
al-Baihaqy dalam Dalail
an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya
peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di
penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari
kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa
bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di
medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati
beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu.
“Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ.
Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu
bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya
seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan
(apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh
al-Haitsami dalam Majma’
az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku
tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan
rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang
Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran
maupun hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan
dia kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu mengisahkan, “Ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari
kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu
menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang
banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang
(di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama
yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada
mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa
bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku
sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di
surga kelak??
Hakikat Cinta Pada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret
cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang
amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah
seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu
kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke
agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah
merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat
dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang
kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta
kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
-Golongan yang berlebih-lebihan.
-Golongan yang meremehkan.
-Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang
jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya
beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang
mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar
as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa
berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena
berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang
siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka
amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk
mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan
apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal:
138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Barang siapa yang menaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat.
Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan
sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana
kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa
cinta kita kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan
yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya
perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya
dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan)
dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara
yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan
umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam
memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa)
bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku):
hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya.
Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa
bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
[III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui
al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta
setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban
untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang
menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut
silahkan lihat: Huquq an-Nabi
‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam
merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan
di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya
dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo
tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk
dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil
Abshar Abdalla, “Menurut
saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis,
(sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang
aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah
Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di
segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru,
yang digelari Fikih Lintas
Agama. Dengan
alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern,
termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas
Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”,
pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur
penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka
ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama
Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua
bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan
kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka
kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak
disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah
dilakukan oleh salafush
shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti
kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam
mengagung-agungkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif
Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam
“Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang
yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang
besar…
Karena kebaikan
dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari
ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati
Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la
quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan
hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS.
Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber
dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil
akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu
qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang
tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah
menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena
sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut
menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya?
Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah
merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena
merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa
perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah
lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan
kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini,
banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi
dalam Husn al-Maqshid fi
‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin
Yusuf ash-Shalihy dalam Subul
al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam
al-Muwaqqi’in (II/390-391).
Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin
Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin
Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah
wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah
bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
al-Fikriyah, hal: 128.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama
kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun
sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang
raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat
Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid
al-Ghazali, dan Kasyful Asrar
wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh
para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam
kitabnya al-Mawa’idz wa
al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa
al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi
Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’
fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
al-Fikriyah, hal: 128.
Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh
al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung
mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan
mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah,
maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka,
serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah
kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka
dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi
mengadakan acara maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali,
maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra
Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk
mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad
keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat
tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan
itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid
buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa
politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam
rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid
an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad
al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang
pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan
mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah
bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran,
kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu
dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di
antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia
bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya,
di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak
memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah
asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar
al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz
lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang
Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang
mengubah lafadz azan menjadi “Hayya
‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai
ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh
al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi
IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur
dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita
juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita
juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan
kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan?
Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir
miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang
yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu
di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak
dikatakan mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau
ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul
fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah
satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang
hakiki kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala
a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi
ajma’in.
***
0 komentar:
Posting Komentar