”Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah
Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”(An Nisaa : 59)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
Allah memulai ayat ini dengan nidaa/seruan, dan
telah berlalu penjelasannya bahwa suatu hukum yang diawali dengan seruan
menunjukkan pentingnya perhatian terhadapnya. Karena fungsi seruan adalah
membuat orang yang diseru untuk memperhatikan apa yang akan disampaikan
kepadanya. Kemudian di dalam seruan ini mengandung sifat iman, ini merupakan
isyarat bahwa apa yang akan disebutkan merupakan bagian dari konsekuensi iman.
Yaitu apa yang akan diserukan merupakan perintah dari konsekuensi keimanan.
Didalam seruan juga terkandung makna bahwa tidak melaksanakan apa yang
diserukan berarti berkurang imannya. Karena jika engkau mengatakan kepada
seorang mukmin : Wahai mukmin ! lakukanlah perbuatan ini, namun dia tidak
mengerjakannya maka ini menunjukkan bahwa imannya kurang. Karena engkau
menyerunya dengan nama atau sifat iman, maka jika orang yang diseru tidak
mengerjakan perintah tersebut berarti kurang imannya.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata : “Jika
engkau mendengar Allah berfirman : “Wahai
orang-orang yang beriman . . .” maka perhatikanlah pendengaranmu,
karena yang akan disebutkan adalah kebaikan yang diperintahkan atau keburukan
yang dilarang. Adapun ayat diatas berisi kebaikan yang diperintahkan.
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan
penjelasan ayat ini, namun langsung saja kita lihat fawaaid yang beliau sampaikan terkait dengan
ayat ini dengan sedikit diringkas.
Indahnya keterkaitan diantara ayat-ayat yang ada pada Al Qur’an. Karena
ketika disebutkan perintah menunaikan amanah dan berhukum diantara manusia
dengan adil. Disebutkan pula sesuatu lain untuk meraih kebaikan sebagai
tambahan dari penyebutan sebelumnya, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wajib taat kepada Allah meskipun bertentangan dengan hawa nafsu, kenyataan
dan keadaan kita. Berbeda dengan orang yang melaksanakan perintah apabila
sesuai dengan kenyataan, tidak ada pertentangan. Karena orang yang taat kepada
Allah karena ini, pada hakikatnya dia tidak taat kepada Allah, namun mengikuti
hawa nafsunya.
Wajib taat kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamistiqlaalan/berdiri sendiri. Karena ketaatan
kepadanya sebagaimana taat kepada Allah. Berdasarkan perintahnya “taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul” karena dalam ayat ini ada pengulangan fi’il (kata kerja) “taatlah”. Dan Allah
tidak menjadikan ketaatan kepada Rasul hanya sebagaitaabi’/pengikut ketaatan kepada Allah.
Bantahan terhadap orang yang mengingkari sunnah. Mereka mengatakan : Kami
tidak menerima kecuali apa yang datang dari Al Qur’an. Karena dalam ayat ini
Allah menjadikan ketaatan kepada Rasul itu istiqlaalan. Dan pada
hakikatnya orang yang mengatakan perkataan tersebut tidak mengikuti apa yang
ada pada Al Qur’an. Karena Al Qur’an memerintahkan untuk mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berfirman : “Katakanlah (wahai Nabi) wahai manusia aku adalah utusan Allah
kepada kalian semua, yang miliknya-lah kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Ilah
yang berhak disembah selain Dia. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, seorang Nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kalimat-Nya dan ikutilah dia.” (Al A’raf :
158). Allah tidak mengatakan : Dan ikutilah dia jika kalian mendapati perintahnya
di Al Qur’an. Akan tetapi perintahnya adalah perintah umum.
Wajib taat kepada wulaatul umuur (pemimpin dan
ulama’). Berdasarkan firman-Nya : “ . .
. dan ulil amr diantara kalian.”
Sesungguhnya ketaatan kepada wulaatul
umuur termasuk ketaatan kepada Allah, karena Dia memerintahkan hal tersebut.
Sesungguhnya jika wulaatul umuur memerintahkan
sesuatu yang menyelisihi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh mentaati
mereka. Karena Allah menjadikan ketaatan kepada mereka mengikuti ketaatan
kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Dia berfirman : “
dan ulil amri diantara kalian.”
Sesungguhnya ketaatan kepada wulaatul
umuur (pemimpin) itu wajib, bahkan dalam perkara yang Allah tidak
memerintahkannya secara khusus.
Wajib mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya, berdasarkan firman-Nya : “Jika
kalian berselisih dalam semua perkara.”
Haram mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada undang-undang
buatan manusia atau berhukum dengan hukum orang kafir atau atheis. Berdasarkan firman-Nya “kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Haram taklid padahal sudah jelas dalilnya, berdasarkan firman-Nya : “maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kami katakan :
padahal dalilnya sudah jelas, karena diperbolehkan taqlid dalam kondisi dharurat jika seseorang tidak mengetahui. Berdasarkan
firman-Nya : “Maka bertanyalah kepada ulama’
jika kalian tidak mengetahui.” (An Nahl : 43). Dan Allah
tidaklah memerintahkan untuk bertanya kepada ulama’ kecuali untuk mengambil
pendapat mereka. Jika tidak maka tidak ada faedah perintah bertanya kepada
mereka.
Sesungguhnya mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya termasuk konsekuensi iman. Berdasarkan firman-Nya : “Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Sesungguhnya orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir namun
dia tidak mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya maka dia berdusta. Karena firman-Nya “Jika
kalian”kedudukannya sebagai tantangan. Maka dia berdusta atas pengakuannya.
Sesungguhnya setiap kali iman kepada Allah dan hari akhir seseorang
bertambah maka bertambah pula rujuu’ nya
(mengembalikan masalah) kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Karena hukum yang
dikaitkan dengan syarat yang mengandung sifat, akan bertambah kuat dengan
kuatnya sifat tersebut. Dan bertambah lemah dengan lemahnya sifat itu.
Berdasarkan firman-Nya : “Jika kalian beriman
kepada Allah dan hari akhir.”
Penetapan adanya hari akhir, pada saat itu manusia akan dibangkitkan dan
dibalas sesuai dengan amal mereka. Barangsiapa yang mendustakan adanya hari
akhir atau ragu tentangnya –kita berlindung kepada Allah- maka dia kafir,
meskipun beriman kepada Allah.
Sesungguhnya mengembalikan permasalahan kepada Al Qur’an dan As Sunnah itu
lebih baik, pada saat ini atau akan datang. Berdasarkan firman-Nya : “yang demikian itu lebih baik” yaitu pada masa
sekarang, “dan lebih baik tawilnya”yaitu lebih baik
hasilnya pada masa akan datang.
Batilnya orang yang beranggapan bahwa umat akan baik jika berhukum dengan
undang-undang buatan manusia. Maka kita katakan : undang-undang buatan manusia
jika benar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka kebenarannya dan
kebaikannya itu bukan karena undang-undangnya. Namun karena kesesuaiannya
dengan hukum Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu jika kita dapati sesuatu
yang memberi maslahat dari undang-undang buatan manusia, maka ini dianggap
bagian dari syariat dan dari hukum Allah. Karena segala sesuatu yang memberi
kebaikan bagi makhluk bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Sesungguhnya orang yang berhukum dengan hukum selain Allah dan Rasul-Nya
maka dia kafir. Akan tetapi apakah kafir yang mengeluarkan pelakunya dari agama
atau tidak ? Jawab : kita katakan : dalam perkara ini dirinci sesuai dengan
keadaan orang yang menggunakan hukum tersebut. Jika dia memandang bahwa hukum
yang berasal dari undang-undang tersebut lebih baik dari hukum Allah dan
Rasul-Nya atau sama maka dia kafir (keluar dari islam). Karena telah
mendustakan firman-Nya : “Dan siapakah yang lebih
baik hukumnya daripada Allah, bagi orang yang yakin.” (Al Maaidah :
50) dan firman-Nya : “Bukankah Allah
sebaik-baik yang membuat hukum.” (At Tiin : 8)
Adapun jika dia tidak punya i’tiqaad/keyakinan akan
hal tersebut -namun dia hanya ikut-ikutan manusia- maka ini tidak dikafirkan,
karena ada diantara orang –terlebih lagi orang awam- yang tidak bisa membedakan
perkara ini, maka dia tidak dikafirkan.
Masih tersisa
satu masalah, dikatakan : Jika engkau ada di sebuah negara yang hanya berhukum
dengan undang-undang manusia, seperti negara kafir, atau negara yang
menggunakan hukum negara kafir. Maka engkau sekarang ada diantara dua pilihan :
engkau tidak mengambil hakmu atau mengambilnya karena kondisi dharurat yaitu
dengan berhukum dengan hukum mereka ini. Apakah boleh bagi engkau untuk
berhukum dengan mereka ini ?
Jawab : bisa jadi yang nampak pada pandangan manusia pertama kali adalah
tidak boleh berhukum dengan mereka. Karena ini merupakan berhukum dengan thaghut.
Akan tetapi kita katakan : engkau berhukum dengan mereka bukan karena
i’tiqaad bahwa hukum tersebut wajib, namun hanya untuk memperoleh hak engkau
yang mana tidak mungkin diraih kecuali dengan jalan ini (berhukum dengan hukum
mereka). Kemudian jika mereka memberi hukum kepada engkau dengan hukum yang
sesuai dengan syariat maka ambillah, karena dia syariat Allah. Jika tidak maka
jangan engkau ambil.
Ini dilakukan untuk menjaga hak-hak manusia. Karena termasuk perkara yang
samar/sulit jika engkau hidup di negara yang hanya berhukum dengan hukum buatan
manusia. Yang mengisyaratkan hal ini adalah Ibnul Qayyimrahimahullah di awal kitab At Thariiq Al Hukmiyyah.
Disini ada faedah yang kami tambahkan untuk fawaaid sebelumnya yaitu
ada isyarat bahwa tidak selayaknya ada perselisihan diantara kita. Akan tetapi
sesuatu yang memungkinkan untuk mencegah perselisihan maka itu lebih utama.
(Sumber:
abukarimah.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar