Tafsir AL-MANAR
Nama Mufassir
Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.
Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.
Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.
‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini kiranya di sini kami (redaksi) cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Rabbnya atas hal itu. Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya, “Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44). Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah SAW. Dan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”
Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.
Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.
Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.
Spesifikasi Umum
Mengenai hal ini, beliau mengungkapkannya sendiri di dalam kitabnya, “Kami kemukakan pada setiap pembahasan satu, dua atau beberapa ayat al-Qur’an yang diketengahkan untuk satu tujuan, lalu kami ikuti dengan penafsiran kosa katanya secara bahasa, jika di dalamnya terdapat sebagian hal yang sulit dipahami oleh para pembaca, lalu kami susulkan dengan menyebut makna per-kalimat dari ayat yang ini atau beberapa ayat sehingga nampak bagi pembaca gambaran globalnya sehingga bila ditafsirkan, akan lebih memperjelas keglobalannya. Kemudian hal itu kami ikuti dengan beberapa hadits terkait dengan sebab turunnya ayat-ayat tersebut jika ada yang dinilai shahih oleh para mufassir bil Ma’tsur. Namun begitu, kami mengelak untuk menyebutkan istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya sebagaimana yang sering dimuat oleh para mufassir di dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena, itulah yang termasuk kendala sehingga menghalangi kebanyakan orang untuk membaca kitab-kitab tafsir.”
Beliau melanjutkan, “Manakala setiap masa itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, baik dalam etika, akhlaq, tradisi dan cara berpikir orang-orangnya, maka kiranya wajib bagi para pengkaji di abad modern ini untuk bersinergi dengan orang-orang semasanya dalam semua hal yang disebutkan tadi. Karena itu, sudah semestinya kita mencari corak tafsir al-Qur’an dengan gaya bahasa modern yang sesuai dengan tabiat orang-orang zaman ini. Prinsip berbicara yang berlaku adalah bahwa setiap tempat itu ada momennya (untuk diucapkan) dan manusia diajak bicara sesuai dengan kemampuan akalnya. Karena itu pula, kami melihat perlunya kita memperkokoh hal itu dengan upaya-upaya para pendahulu kita sebagai bentuk pengakuan atas jasa mereka dengan cara berpedoman kepada pendapat-pendapat mereka.”
Al-Marâghy berusaha untuk menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab tafsir modern yang relevan dengan realitas kaum Muslimin kontemporer akan tetapi beliau justeru terjebak/terjerumus karena mengikuti sebagian teori-teori barat dan mengagungkan ilmu materi dengan meninggalkan zhahir al-Qur’an terhadap hal itu. Di antara indikatornya adalah ucapannya, “Sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abu al-Basyar (bapak manusia).” (IV/177;I/95) Demikian juga dengan perkataannya tentang sihir, “…Apakah ia memiliki pengaruh secara alami, karena sebab yang tersembunyi, karena sesuatu yang luar biasa ataukah tidak memiliki pengaruh.? Faktor apa saja dari hal itu yang dapat dibuktikan oleh ilmu, maka ia adalah rincian terhadap hal-hal yang global di dalam al-Qur’an dan kita tidak boleh memberikan putusan dengan mengarahkannya kepada salah satu dari jenis-jenis itu.” (I/182)
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan beberapa hadits dan atsar tanpa menyebutkan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi/rentetan para periwayat)-nya. Terkadang, menyebutkan beberapa hadits Dla’îf (lemah) namun tidak menyebutkan sumbernya. Terlebih lagi, beliau sedikit sekali menyebutkan tafsir yang ma`tsûr (diriwayatkan) dari Salaf kecuali pada hal yang berkenaan dengan sebab-sebab turunnya ayat.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung juga beberapa hukum fiqih yang dibahas oleh ayat dengan ulasan yang ringkas dan mudah serta tidak banyak memperlebar hal-hal yang bersifat khilafiyyah di kalangan para ulama madzhab, bahkan bila ada khilaf, beliau hanya menyebutnya secara ringkas.
b]Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Sangat jarang mengupas masalah Qirâ`ât.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau sengaja mengelak dari menyinggung masalah Isrâ`îliyyât. Mengenai Ahli Kitab, beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum Muslimin pendapat-pendapat di dalam kitab mereka berupa tafsiran yang tidak diterima akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada abad-abad setelahnya.
Kemudian beliau berkata pula, “Oleh karena itu, kami berpendapat tidak perlu menyinggung riwayat yang ma`tsûr kecuali bila diterima oleh ilmu. Kami tidak melihat ada hal yang bertolak belakang dengan masalah-masalah agama yang tidak terdapat perbedaan padanya di kalangan penganutnya. Kami telah mendapatkan bahwa hal itu (pendapat seperti itu) lebih selamat bagi pembenar ma’rifat dan lebih mulia bagi penafsiran Kitabullah serta lebih menarik bagi hati para cendikiawan sebagai wawasan ilmiah di mana tidak ada hal yang bisa membuat puas hati kecuali dalil, bukti dan nur ma’rifat yang tulus.”
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Pengarang termasuk salah seorang yang mumpuni dalam hal Bahasa Arab dan ilmunya (linguistik). Mengenai hal ini, beliau berkata, “Aku sangat berbahagia sekali karena dapat mengabdikan diri dalam belajar, mengajarkan dan mengarang Bahasa Arab selama setengah abad di mana aku ikuti gaya bahasanya pada ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah, sya’ir dan prosa (natsr) sehingga aku mendapati diriku sendiri merasa terbebani (terpanggil) untuk menobatkan pengabdianku terhadap bahasa ini dengan menafsirkan ayat al-Qur’an al-Hakîm.”
Karena itulah, beliau sering menjelaskan kosa-kata ayat yang ingin ditafsirkannya dalam sub judul “Tafsir Mufradât” . Di sini, beliau menjelaskan sebagian kata yang sulit dipahami kebanyakan para pembaca.
Beliau juga berargumentasi dengan bait-bait sya’ir untuk menjelaskan makna yang ditunjukkan oleh suatu kata dan bagaimana penggunaanya oleh orang-orang Arab di dalam sya’ir-sya’ir mereka.
Sementara pembahasan mengenai ilmu Nahwu, beliau telah mengelak untuk menyinggungnya karena merupakan salah satu kendala yang menghalangi kebanyakan orang dari membaca kitab-kitab tafsir dan karena ia merupakan sesuatu yang hanya dikhususkan untuk sebagian orang saja tanpa perlu melibatkan orang lain.
Tafsir AS-SA’DY
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)
Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.
Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.
Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”
Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah SAW., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”
Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”
Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”
’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.
Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”
Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.
Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.
Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.
Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.
Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”
Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.
Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.
Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman AS., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”
Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]
Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair AS. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”
Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83. - alsofwah.or.id
Nama Mufassir
Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.
Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.
Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.
‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini kiranya di sini kami (redaksi) cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Rabbnya atas hal itu. Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya, “Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44). Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah SAW. Dan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”
Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.
Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah SAW, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.
Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.
Tafsir AL-MARAGHY)
Nama Mufassir
Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat: al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn (I/80)]
Nama Kitab
Tafsir al-Marâghy.
‘Aqidahnya
Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,). Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân) dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.” Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla, ‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad) dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.
Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah (perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).
Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di dalam tafsirnya, di antaranya:
Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat: al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn (I/80)]
Nama Kitab
Tafsir al-Marâghy.
‘Aqidahnya
Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,). Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân) dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.” Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla, ‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad) dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.
Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah (perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).
Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di dalam tafsirnya, di antaranya:
- Ketika beliau menakwil atau membolehkan penakwilan terhadap
mukjizat-mukjizat para Nabi AS. Seperti tanggapan beliau terhadap orang yang
mengatakan, “Sesungguhnya ketika Nabi Musa menyeberang, kondisi laut sedang
tidak bergelombang sehingga airnya tertarik ke tengah laut sedangkan ketika
Fir’aun yang menyeberang, kondisi laut sedang bergelombang sehingga airnya
menepi hingga ke pantai…” Beliau menanggapinya dengan mengatakan, “Takwil
seperti ini tidak berbahaya (tidak apa-apa) bilamana si penafsirnya masih
menetapkan terjadinya kejadian-kejadian luar biasa tersebut pada diri para
Nabi.” (I/117)
- Memilih pendapat yang menyatakan bahwa kejadian Maskh (pengrubahan
muka menjadi rupa monyet) terhadap Bani Israil itu hanyalah secara maknawy saja
(bukan kejadian sungguhan-red.,). (I/139)
- Pendapatnya mengenai Kalam Allah bersama para malaikat-Nya mengenai
penciptaan Adam bahwa ia merupakan ayat mutasyâbih (samar-samar) yang tidak
memungkinkan untuk mengartikannya menurut makna zhahirnya. Untuk mengetahuinya,
harus diserahkan kepada Allah sendiri, lalu menisbahkan pendapat semacam ini
kepada ulama Salaf (padahal tidak benar demikian-red.,). (I/78)
- Beliau mengatakan bahwa Adam bukanlah bapak manusia (I/77) dan Hawwa` tidak
diciptakan dari tulang rusuknya (I/93). Hal ini jelas hendak menolak
mentah-mentah firman Allah, “…Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan
menciptakan darinya pasangannya (Hawwa`)…” (Q.s.,an-Nisâ`: )
Juga, hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam ash-Shahîhain, “Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita, karena sesungguhnya mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok..” Sangat disayangkan, beliau menakwil kedua nash ini secara keliru.
- Menukil pendapat Muhammad ‘Abduh yang mengindikasikan pengingkaran terhadap
alam malaikat dan jin dengan tanpa memberikan komentar atasnya sedikitpun.
(I/87)
- Pernyataannya mengenai turunnya Nabi ‘Isa di akhir zaman bahwa ia adalah
hadits Ahad yang terkait dengan masalah ‘aqidah sedangkan hal-hal yang berkenaan
dengan ‘aqidah tidak dapat diambil kecuali melalui dalil yang pasti (qath’iy),
baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir sedangkan disini, tidak
terdapat salah satu dari kedua hal ini. Kemudian dia meneruskan, “Atau maksud
dari turunnya ‘Isa dan akan berkuasanya dia di muka bumi kelak adalah dari
dominasi ruh (spirit) nya dan rahasia risalahnya atas manusia.” (III/169)
Ini adalah benar-benar ucapan Muhammad ‘Abduh sendiri.
- Ketika mengomentari firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekana) penyakit gila.” (Q.s.,al-Baqarah:275), Beliau mengatakan, “Terjadinya kemasukan syaithan pada manusia merupakan klaim orang-orang Arab sebab mereka mengklaim bahwa ia merasuk manusia sehingga ia pingsan (tidak sadarkan diri karena kemasukan). Karena itu, al-Qur’an datang sesuai dengan keyakinan mereka itu. Demikian juga keyakinan mereka bahwa jin bisa menyentuh manusia sehingga akalnya kacau. Dalam ungkapan bahasa mereka dinyatakan, ‘Rajulun Mamsûs (seorang laki-laki disentuh)’ artinya ia disentuh oleh jin (kemasukan) dan ungkapan ‘Rajulun Majnûn (seorang laki-laki gila)’ bilamana ia dipukul oleh jin…” Kemudian beliau mengatakan lagi, “Maka ayat ini datang sesuai dengan apa yang mereka yakini itu, jadi bukan dalam rangka membenarkan ini ataupun menafikannya.!!! Tidak mempercayai adanya manusia yang kerasukan jin dan masuknya ia ke dalam raga manusia merpakan madzhab Mu’tazilah karena menurut mereka hal itu adalah mustahil..!!”
Spesifikasi Umum
Mengenai hal ini, beliau mengungkapkannya sendiri di dalam kitabnya, “Kami kemukakan pada setiap pembahasan satu, dua atau beberapa ayat al-Qur’an yang diketengahkan untuk satu tujuan, lalu kami ikuti dengan penafsiran kosa katanya secara bahasa, jika di dalamnya terdapat sebagian hal yang sulit dipahami oleh para pembaca, lalu kami susulkan dengan menyebut makna per-kalimat dari ayat yang ini atau beberapa ayat sehingga nampak bagi pembaca gambaran globalnya sehingga bila ditafsirkan, akan lebih memperjelas keglobalannya. Kemudian hal itu kami ikuti dengan beberapa hadits terkait dengan sebab turunnya ayat-ayat tersebut jika ada yang dinilai shahih oleh para mufassir bil Ma’tsur. Namun begitu, kami mengelak untuk menyebutkan istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya sebagaimana yang sering dimuat oleh para mufassir di dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena, itulah yang termasuk kendala sehingga menghalangi kebanyakan orang untuk membaca kitab-kitab tafsir.”
Beliau melanjutkan, “Manakala setiap masa itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, baik dalam etika, akhlaq, tradisi dan cara berpikir orang-orangnya, maka kiranya wajib bagi para pengkaji di abad modern ini untuk bersinergi dengan orang-orang semasanya dalam semua hal yang disebutkan tadi. Karena itu, sudah semestinya kita mencari corak tafsir al-Qur’an dengan gaya bahasa modern yang sesuai dengan tabiat orang-orang zaman ini. Prinsip berbicara yang berlaku adalah bahwa setiap tempat itu ada momennya (untuk diucapkan) dan manusia diajak bicara sesuai dengan kemampuan akalnya. Karena itu pula, kami melihat perlunya kita memperkokoh hal itu dengan upaya-upaya para pendahulu kita sebagai bentuk pengakuan atas jasa mereka dengan cara berpedoman kepada pendapat-pendapat mereka.”
Al-Marâghy berusaha untuk menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab tafsir modern yang relevan dengan realitas kaum Muslimin kontemporer akan tetapi beliau justeru terjebak/terjerumus karena mengikuti sebagian teori-teori barat dan mengagungkan ilmu materi dengan meninggalkan zhahir al-Qur’an terhadap hal itu. Di antara indikatornya adalah ucapannya, “Sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abu al-Basyar (bapak manusia).” (IV/177;I/95) Demikian juga dengan perkataannya tentang sihir, “…Apakah ia memiliki pengaruh secara alami, karena sebab yang tersembunyi, karena sesuatu yang luar biasa ataukah tidak memiliki pengaruh.? Faktor apa saja dari hal itu yang dapat dibuktikan oleh ilmu, maka ia adalah rincian terhadap hal-hal yang global di dalam al-Qur’an dan kita tidak boleh memberikan putusan dengan mengarahkannya kepada salah satu dari jenis-jenis itu.” (I/182)
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan beberapa hadits dan atsar tanpa menyebutkan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi/rentetan para periwayat)-nya. Terkadang, menyebutkan beberapa hadits Dla’îf (lemah) namun tidak menyebutkan sumbernya. Terlebih lagi, beliau sedikit sekali menyebutkan tafsir yang ma`tsûr (diriwayatkan) dari Salaf kecuali pada hal yang berkenaan dengan sebab-sebab turunnya ayat.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung juga beberapa hukum fiqih yang dibahas oleh ayat dengan ulasan yang ringkas dan mudah serta tidak banyak memperlebar hal-hal yang bersifat khilafiyyah di kalangan para ulama madzhab, bahkan bila ada khilaf, beliau hanya menyebutnya secara ringkas.
b]Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Sangat jarang mengupas masalah Qirâ`ât.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau sengaja mengelak dari menyinggung masalah Isrâ`îliyyât. Mengenai Ahli Kitab, beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum Muslimin pendapat-pendapat di dalam kitab mereka berupa tafsiran yang tidak diterima akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada abad-abad setelahnya.
Kemudian beliau berkata pula, “Oleh karena itu, kami berpendapat tidak perlu menyinggung riwayat yang ma`tsûr kecuali bila diterima oleh ilmu. Kami tidak melihat ada hal yang bertolak belakang dengan masalah-masalah agama yang tidak terdapat perbedaan padanya di kalangan penganutnya. Kami telah mendapatkan bahwa hal itu (pendapat seperti itu) lebih selamat bagi pembenar ma’rifat dan lebih mulia bagi penafsiran Kitabullah serta lebih menarik bagi hati para cendikiawan sebagai wawasan ilmiah di mana tidak ada hal yang bisa membuat puas hati kecuali dalil, bukti dan nur ma’rifat yang tulus.”
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Pengarang termasuk salah seorang yang mumpuni dalam hal Bahasa Arab dan ilmunya (linguistik). Mengenai hal ini, beliau berkata, “Aku sangat berbahagia sekali karena dapat mengabdikan diri dalam belajar, mengajarkan dan mengarang Bahasa Arab selama setengah abad di mana aku ikuti gaya bahasanya pada ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah, sya’ir dan prosa (natsr) sehingga aku mendapati diriku sendiri merasa terbebani (terpanggil) untuk menobatkan pengabdianku terhadap bahasa ini dengan menafsirkan ayat al-Qur’an al-Hakîm.”
Karena itulah, beliau sering menjelaskan kosa-kata ayat yang ingin ditafsirkannya dalam sub judul “Tafsir Mufradât” . Di sini, beliau menjelaskan sebagian kata yang sulit dipahami kebanyakan para pembaca.
Beliau juga berargumentasi dengan bait-bait sya’ir untuk menjelaskan makna yang ditunjukkan oleh suatu kata dan bagaimana penggunaanya oleh orang-orang Arab di dalam sya’ir-sya’ir mereka.
Sementara pembahasan mengenai ilmu Nahwu, beliau telah mengelak untuk menyinggungnya karena merupakan salah satu kendala yang menghalangi kebanyakan orang dari membaca kitab-kitab tafsir dan karena ia merupakan sesuatu yang hanya dikhususkan untuk sebagian orang saja tanpa perlu melibatkan orang lain.
Tafsir AS-SA’DY
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)
Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.
Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.
Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”
Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah SAW., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”
Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”
Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”
’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.
Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”
Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.
Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.
Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.
Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.
Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”
Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.
Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.
Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman AS., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”
Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]
Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair AS. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”
Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83. - alsofwah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar