Didirikan tahun 1881, Shiratal Mustaqiem merupakan masjid tertua di Samarinda, Kalimantan Timur. Didirikan oleh pedagang muslim asal Pontianak, Kalimantan Barat bernama Said Abdurachman bin Assegaf bergelar Pangeran Bendahara.
Masjid Shiratal Mustaqiem yang sekarang berada di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, dulunya sekitar tahun 1800-an merupakan tempat prostitusi, judi, penyembahan berhala, dan sarang bandit. Sehingga tidak khayal para saudagar maupun rakyat biasa enggan melintasi daerah itu.
Namun kondisi itu bertolak belakang ketika Sultan Kutai Kartanegara ke-18 (1845-1899), Aji Muhammad Sulaiman memberikan titah kepada Said menjadi tokoh masyarakat Samarinda Seberang. Tidak sekadar menjadi saudagar, Said juga menjadi kiai menyebarkan ajaran Islam.
Ada kisah menarik di balik usaha mendirikan 4 tiang utama penyangga masjid. Meski dilakukan secara gotong royong, pemasangan tiang yang terbuat dari kayu ulin dengan panjang mencapai 7 meter sulit dilakukan. Hal itu karena besarnya kayu ulin.
Akhirnya di tengah keputusasaan para pekerja, tiba-tiba mereka didatangi seorang nenek dari luar desa. Tanpa banyak bicara, sang nenek yang tidak diketahui namanya itu langsung menghampiri kerumunan pekerja dan menawarkan bantuan.
Setelah Said dan para pekerja menyetujui tawaran, sang nenek yang memakai jubah serba putih itu hanya meminta syarat supaya para warga Samarinda Seberang tidak melihat prosesi pemasangan tiang.
Melihat syarat yang cukup ringan, akhirnya warga Samarinda menyerahkan pemasangan tiang kepada sang nenek. Hingga akhirnya pada suatu pagi, warga dikejutkan dengan posisi 4 tiang ulin yang sudah terpancang tegak lurus.
Pembangunan Masjid Shiratal Mustaqiem memakan waktu 10 tahun, memiliki luas bangunan sekitar 625 meter persegi dan teras sepanjang 16 meter. Sultan Kutai Aji Mohammad Sulaiman merupakan imam pertama di masjid tersebut. Meski beberapa kali dicat ulang, namun bangunannya tidak mengalami perubahan.
Berbagai sumber.
Masjid Shiratal Mustaqiem yang sekarang berada di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, dulunya sekitar tahun 1800-an merupakan tempat prostitusi, judi, penyembahan berhala, dan sarang bandit. Sehingga tidak khayal para saudagar maupun rakyat biasa enggan melintasi daerah itu.
Namun kondisi itu bertolak belakang ketika Sultan Kutai Kartanegara ke-18 (1845-1899), Aji Muhammad Sulaiman memberikan titah kepada Said menjadi tokoh masyarakat Samarinda Seberang. Tidak sekadar menjadi saudagar, Said juga menjadi kiai menyebarkan ajaran Islam.
Ada kisah menarik di balik usaha mendirikan 4 tiang utama penyangga masjid. Meski dilakukan secara gotong royong, pemasangan tiang yang terbuat dari kayu ulin dengan panjang mencapai 7 meter sulit dilakukan. Hal itu karena besarnya kayu ulin.
Akhirnya di tengah keputusasaan para pekerja, tiba-tiba mereka didatangi seorang nenek dari luar desa. Tanpa banyak bicara, sang nenek yang tidak diketahui namanya itu langsung menghampiri kerumunan pekerja dan menawarkan bantuan.
Setelah Said dan para pekerja menyetujui tawaran, sang nenek yang memakai jubah serba putih itu hanya meminta syarat supaya para warga Samarinda Seberang tidak melihat prosesi pemasangan tiang.
Melihat syarat yang cukup ringan, akhirnya warga Samarinda menyerahkan pemasangan tiang kepada sang nenek. Hingga akhirnya pada suatu pagi, warga dikejutkan dengan posisi 4 tiang ulin yang sudah terpancang tegak lurus.
Pembangunan Masjid Shiratal Mustaqiem memakan waktu 10 tahun, memiliki luas bangunan sekitar 625 meter persegi dan teras sepanjang 16 meter. Sultan Kutai Aji Mohammad Sulaiman merupakan imam pertama di masjid tersebut. Meski beberapa kali dicat ulang, namun bangunannya tidak mengalami perubahan.
Berbagai sumber.
http://www.merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar