Muqaddimah
Ungkapan di atas sangat populer sekali dan banyak beredar di pengajian,
ceramah, dan tulisan yang menekankan keutamaan berbakti kepada kedua orang
tua, terutama seorang ibu yang telah banyak berjasa besar dan melakukan
pengorbanan yang luar biasa untuk anaknya.
Ungkapan ini semakin laris manis pada saat menyongsong hari ibu yang
diperingati oleh sebagian kaum muslimin untuk mengenang jasa para ibunda.
Namun, apakah ungkapan ini merupakan hadits Nabi?! Ataukah hanya kata mutiara
saja?! Apakah kemasyhurannya adalah jaminan bahwa itu adalah ucapan Nabi?!
Berikut ini kajian singkat tentang hadits pembahasan. Semoga Allah
menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.
TEks Hadits: “Surga di bawah telapak kaki ibu.
” MAUDHU’. Diriwayatkan oleh Abu Bakar asy Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat
2/25/1, Abu Syaikh dalam al-Fawaid no. 357 dalam at-Tarikh hlm. 253, atsTsa’labi
dalam Tafsirnya 3/53/1, alQudha’i dalam Musnad Syihab 2/2/1, adDulabi dalam
al- Kuna 2/138 dari Manshur bin Muhajir dari Abu Nadhr al Abbar dari Anas secara
marfu’.
Sanad ini parah, karena Manshur dan Abu Nadhr tidak dikenal sebagaimana
kata Ibnu Thahir, seperti dinukil oleh al Munawi dalam Faidhul Qadir seraya
mengatakan, “Hadits ini mungkar.”
Hadits ini memiliki jalur lain, diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 1/325
dan al Uqaili dalam adh-Dhu’afa' dari Musa bin Muhammad bin Atha':
Menceritakan kepada kami Abu Malih: Menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu
Abbas d secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
Sanad ini adalah maudhu’, sebab Musa bin Atha' adalah seorang pendusta. AlUqaili
ber kata, “Hadits ini mungkar.”
Pnngganti yang shahih
Sebagai ganti hadits ini adalah hadits Mu’awiyah bin Jahimah, bahwasanya
beliau datang kepada Rasulullah seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, aku hendak berperang, kini aku datang untuk meminta
pendapat engkau.” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?”
Jawabnya, “Ya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah kepadanya.
Sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.”
Diriwayatkan Nasa’i (2/54) dan athThabarani (2/225), dan
sanadnya?hasan—insya Allah. Al Hakim menshahihkannya (4/151) dan disetujui
oleh adzDzahabi dan alMundziri (3/214).
Faedah: Maksud “Surga di bawah telapak kaki ibu” adalah bahwa tawadhu’
(rendah hati) kepada seorang ibu merupakan sebab masuknya seorang ke surga.
Demikian dikatakan oleh azZarkasyi dan asSakhawi.
Yang Penting Maknanya Benar
Kebenaran makna dan isi suatu ungkapan tidak serta-merta menjadi alasan
bolehnya menisbahkan ungkapan tersebut kepada Nabi. Sebab, tidak boleh
menisbahkan ungkapan kepada Rasulullah kecuali yang benar-benar beliau
sabdakan. AlHafizh Abul Hajjaj alMizzi berkata, “Tidak boleh seorang
pun menisbahkan ungkapan yang dianggapnya baik ke pada Rasulullah
sekalipun maknanya benar, karena semua yang dikatakan oleh Rasulullah
adalah benar, tetapi tidak semua yang benar itu mesti dikatakan oleh Rasulullah
.”
Syaikh alAlbani juga menilai bahwa termasuk kebodohan anggapan bahwa
suatu hadits apabila benar maknanya berarti Rasul pasti mengucapkannya.
Beliau berkata, “Sungguh ini adalah kejahilan yang amat parah, karena
betapa banyak hadits-hadits yang dilemahkan oleh para ulama ahli hadits
padahal maknanya shahih. Terlalu banyak kalau saya harus menampilkan contoh-contohnya,
cukuplah apa yang terdapat dalam kitab karyaku ini. Seandainya penshahihan
hadits dibuka karena melihat maknanya yang shahih tanpa melihat kepada
sanadnya, niscaya berapa banyak kebatilan akan masuk kepada syari’at dan betapa
banyak manusia yang akan menyandarkan kepada Nabi ucapan yang tidak beliau
katakan, dengan alasan tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di
neraka.”
Pupuler Bukan Jaminan Shahih
Bila ada yang mengatakan: Namun, hadits ini 'kan sudah masyhur dan populer
sekali di masyarakat, apakah hal itu tidak cukup menunjukkan bahwa dia adalah
hadits shahih?! Kami katakan: Suatu hadits yang masyhur (populer) dan laris-manis
di kalangan masyarakat sama sekali bukanlah jaminan bahwa hadits tersebut
shahih. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama ahli
hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits masyhur bisa juga diartikan
dengan suatu hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini
mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak
memiliki sanad sama sekali.”
Syaikhul Islam berkata, “Seandainya sebagian masyarakat umum yang
mendengar hadits dari tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca
hadits, yang baginya adalah populer, maka hal itu sama sekali bukanlah menjadi
patokan. Betapa banyak hadits-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan
di kalangan para ahli fiqih, kaum sufi, ahli filsafat, dan sebagainya, lalu
menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada
asalnya, dan mereka menegaskan hadits terse but palsu.”
Ibu, Alangkah Besarnya Jasamu!!
Sesungguhnya kedudukan berbuat baik ke pada orang tua dalam Islam
sangatlah tinggi dan agung. Betapa banyak Allah mengiringkan antara hakNya
dan hak orang tua, seperti firman Allah :
ِDan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara ke duanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS.
alIsrâ' [17]: 23–24)
Berbuat baik kepada ibu bapak sama-sama ditekankan dalam Islam, namun
yang lebih ditekankan lagi ialah berbuat baik kepada ibu karena besarnya jasa
dan pengorbanan seorang ibu daripada ayah.
Allah berfirman:
َٰ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS.
Luqman [31]: 14)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga jasa ibu: tugas sebagai ibu,
mengandung, dan me nyapih.
Ayat ini diperkuat oleh hadits berikut:
Dari Abu Hurairah berkata, “Datang seorang lelaki kepada
Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia
bertanya lagi, ‘Lalu siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya
lagi, ‘Siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian
siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari: 5971 dan
Muslim: 2548)
Dalam hadits ini, Nabi menyebut ibu sebanyak tiga kali, menunjukkan
bahwa ibu adalah wanita yang paling berjasa bagi anak. Maka semestinya seorang
anak untuk berbuat baik kepadanya lebih dari yang lainnya. Namun sangat
disayangkan sekali, pada zaman kita sekarang banyak sekali anak-anak yang
tidak berbakti kepada ibunya. Lantas, seperti inikah balasan orang yang telah
berjasa besar kepadamu?!
Saudaraku, seorang ibu adalah wanita yang sangat mulia dan pahlawan bagi
anak, dia telah melakukan pengorbanan yang luar biasa dan berjasa dengan jasa
yang tidak bisa dibayar dengan harta, dialah yang mengandung be berapa bulan
lamanya dengan penuh kesulitan dan penderitaan, dialah yang melahirkan de ngan
taruhan nyawa, dialah yang menyusui, merawat, mendidik, mengasihi hingga tumbuh
dewasa. Ingatlah bahwa kebaikan apa pun yang telah engkau berikan kepada ibu,
maka itu belum sesuai dengan jasa mereka sedikit pun.
Dikisahkan bahwa ada seorang berkata kepada sahabat Abdullah bin Umar,
“Saya telah menggendong ibuku di atas punggungku dari Khurasan sampai selesai
menunaikan ibadah manasik haji, apakah saya telah membalas budi ibu saya?!”
Ibnu Umar, “Tidak seimbang sama sekali meskipun (hanya) dengan sekali
penderitaannya saat melahirkan.” Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah agar
menjadikan kita semua anak-anak yang berbakti kepada orang tua kita,
khususnya kepada ibu kita, baik ketika mereka masih hidup di dunia atau sudah
meninggal dunia. Âmîn. []
http://www.majalahalfurqon.com
http://www.majalahalfurqon.com
0 komentar:
Posting Komentar