Hari
demi hari berlalu, dosa demi dosa kita perbuat, kemaksiatan demi kemaksiatan
menorehkan luka menganga dan noda-noda hitam di dalam hati kita, Maha Suci
Allah!! Seolah-olah tidak ada hari kebangkitan, seolah-olah tidak ada hari
pembalasan, seolah-olah tidak ada Zat yang maha melihat segala perbuatan dan
segala yang terbesit di dalam benak pikiran, di gelapnya malam apalagi di waktu
terangnya siang, innallaha bikulli syai’in
‘aliim (Sesungguhnya
Allah, mengetahui segala sesuatu).
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat
yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah (surga) yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan
orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan
dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Robb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)
Allahumma, betapa zalimnya diri
ini, bergelimang dosa dan mengaku diri sebagai hamba, hamba macam apakah ini?
yang tidak malu berbuat maksiat terang-terangan di hadapan pandangan Robb ‘azza
wa jalla, wahai jiwa… kenalilah kehinaan dirimu, sadarilah keagungan Robb yang
telah menciptakan dan memberikan nikmat tak berhingga kepadamu, ingatlah
pedihnya siksa yang menantimu jika engkau tidak segera bertaubat.
Cepatlah
kembali tunduk kepada Ar Rahman, sebelum terlambat. Karena apabila ajal telah
datang maka tidak ada seorang pun yang bisa mengundurkannya barang sekejap
ataupun menyegerakannya, ketika maut itu datang… beribu-ribu penyesalan akan
menghantui dan bencana besar ada di hadapan; siksa kubur yang meremukkan dan
gejolak membara api neraka yang menghanguskan kulit-kulit manusia, subhaanAllah,
innallaha syadiidul ‘iqaab (sesungguhnya Allah, hukuman-Nya sangat
keras). Padahal tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati,
kapan waktunya, bisa jadi seminggu lagi atau bahkan beberapa detik lagi, siapa
yang tahu? Bangkitlah segera dari lumpur dosa dan songsonglah pahala, dengan
sungguh-sungguh bertaubat kepada Robb tabaaraka wa ta’ala.
Hakikat
dan Kedudukan Taubat
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama
mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat.” (Syarah
Riyadhu Shalihin,
I/56). Beliau juga berkata, “(Taubat) itu memiliki tiga rukun: meninggalkannya,
menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak
mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia,
maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang
yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan)
itulah rukunnya yang terbesar.” (Syarah Shahih Muslim, IX/12)
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
“…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya)
wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan
tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau
dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan
kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya…” (Syarah Shahih Muslim, IX/12)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Taubat
secara bahasa artinya kembali, adapun menurut syariat, taubat artinya kembali
dari mengerjakan maksiat kepada Allah ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Taubat
yang terbesar dan paling wajib adalah bertaubat dari kekufuran menuju keimanan.
Allah ta’ala berfirman,
“Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (Qs. Al Anfaal: 38).
Kemudian tingkatan berikutnya adalah bertaubat dari dosa-dosa besar, kemudian
diikuti dengan tingkatan ketiga yaitu bertaubat dari dosa-dosa kecil.” (Syarah
Riyadhu Shalihin,
I/56)
Al Quran Memerintahkanmu Bertaubat
Allah
ta’ala berfirman,
“Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Syaikh
Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan setelah
menyebutkan penggalan ayat “Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman.” : Sebab seorang mukmin
itu, (memiliki) keimanan yang menyerunya untuk bertaubat, kemudian (Allah)
mengaitkan taubat itu dengan keberuntungan, Allah berfirman (yang artinya): “Supaya
kamu beruntung”,
maka tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, yaitu kembali
dari segala sesuatu yang dibenci Allah, lahir maupun batin, menuju segala yang
dicintai-Nya, lahir maupun batin. Dan ini menunjukkan bahwasanya setiap mukmin
itu membutuhkan taubat, sebab Allah menujukan seruan-Nya kepada seluruh orang
yang beriman. Dan di dalam (penggalan ayat) ini juga terkandung dorongan untuk
mengikhlaskan taubat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya) “Dan
bertaubatlah kepada Allah” artinya: bukan untuk meraih tujuan
selain mengharapkan wajah-Nya, seperti karena ingin terbebas dari bencana
duniawi atau karena riya dan sum’ah, atau tujuan-tujuan rusak yang lainnya.” (Taisir
Karim ar-Rahman,
hal. 567).
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya keberuntungan yang sebenarnya berada pada (ketundukan)
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta dengan
meninggalkan apa yang dilarang oleh keduanya, wallahu
ta’ala huwal musta’aan (dan Allah-lah satu-satunya tempat meminta
pertolongan).” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, V/403).
As-Sunnah
Memerintahkanmu Bertaubat
Dari
Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu dia berkata, Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), “Demi Allah, sesungguhnya aku
meminta ampun/beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari
lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari, dinukil dari Syarah
Riyadhu Shalihin,
I/64)
Dari
Al Agharr bin Yasar Al Muzanni radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah
kepada Allah dan minta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya aku ini bertaubat 100
kali dalam sehari.” (HR. Muslim, dinukil dari Syarah
Riyadhu Shalihin,
I/64)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Di dalam
dua hadits ini terdapat dalil kewajiban bertaubat, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya, beliau bersabda (yang artinya), “Wahai
manusia, bertaubatlah kepada Allah” sehingga apabila seorang insan bertaubat
kepada Robbnya maka dengan sebab taubat itu akan diperoleh dua faedah:
Faidah pertama: Melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya
(itulah) terkandung segala kebaikan. Di atas (kepatuhan) melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya itulah terdapat poros dan sumber kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Faidah kedua: Meneladani Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
di mana beliau itu senantiasa bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100
kali, yakni dengan mengucapkan: Atuubu ilallah, atuubu ilallah (aku bertaubat kepada
Allah),…dst.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/65)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Dan di
dalam kedua hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling taat beribadah kepada Allah,
dan memang demikianlah sifat beliau. Beliau itu adalah orang yang paling takut
kepada Allah di antara kita, beliau orang paling bertakwa kepada Allah di
antara kita, dan beliau adalah orang paling berilmu tentang Allah di antara
kita, semoga sholawat dan keselamatan dari-Nya senantiasa tercurah kepada
beliau. Dan di dalamnya juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau ‘alaihis
sholatu wassalam adalah
sosok pengajar kebaikan dengan ucapannya dan dengan perbuatannya. Beliau
senantiasa beristigfar kepada Allah dan menyuruh orang-orang agar beristigfar,
sehingga mereka pun bisa meniru beliau, demi melaksanakan perintahnya dan
mengikuti perbuatannya. Ini merupakan bagian dari kesempurnaan nasihat yang
beliau berikan kepada umatnya, shalawatullahi wa salamuhu
‘alaihi.
Maka sudah semestinya kita juga meniru beliau, apabila kita memerintahkan
sesuatu maka hendaknya kita adalah orang pertama yang melaksanakan perintah
ini. Dan apabila kita melarang sesuatu hendaknya kita juga menjadi orang
pertama yang meninggalkannya, sebab inilah sebenarnya hakikat da’i ilallah (penyeru kepada agama
Allah), bahkan inilah hakikat dakwah ilallah ‘azza wa jalla, anda
lakukan apa yang anda perintahkan dan anda tinggalkan apa yang anda larang,
sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita
bertaubat dan beliau ‘alaihi shalatu wa sallam juga bertaubat
(bahkan) lebih banyak daripada kita. Kita mohon kepada Allah untuk menerima
taubat kami dan Anda sekalian, serta semoga Dia memberi petunjuk kepada kami
dan Anda sekalian menuju jalan yang lurus. Wallahul
muwaffiq (Allah
lah pemberi taufiq).” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/66)
Syarat-Syarat
Diterimanya Taubat
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan lima buah
syarat yang harus dipenuhi agar taubat diterima, beliau berkata:
Syarat pertama: Ikhlas untuk Allah,
yaitu orang (yang bertaubat) hendaknya mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla
dengan taubatnya itu dan berharap supaya Allah menerima taubatnya serta
mengampuni maksiat yang telah dilakukannya, dengan taubatnya itu ia tidak
bermaksud riya di hadapan manusia atau demi mendapatkan kedekatan dengan
mereka, dan bukan juga semata-mata demi menyelamatkan diri dari gangguan
penguasa dan pemerintah kepadanya. Tapi dia bertaubat hanya demi mengharapkan
wajah Allah dan pahala di negeri akhirat dan supaya Allah memaafkan
dosa-dosanya.
Syarat kedua: Menyesali perbuatan
maksiat yang telah dilakukannya, sebab perasaan menyesal dalam diri seorang
manusia itulah yang membuktikan dia benar/jujur dalam bertaubat, ini artinya
dia menyesali apa yang telah diperbuatnya dan merasa sangat sedih karenanya,
dan dia memandang tidak ada jalan keluar darinya sampai dia (benar-benar)
bertaubat kepada Allah dari dosanya.
Syarat ketiga: Meninggalkan dosa
yang dilakukannya itu, ini termasuk syarat terpenting untuk diterimanya taubat.
Meninggalkan dosa itu maksudnya: apabila dosa yang dilakukan adalah karena
meninggalkan kewajiban, maka meninggalkannya ialah dengan cara mengerjakan
kewajiban yang ditinggalkannya itu, seperti contohnya: ada seseorang yang tidak
membayar zakat, lalu dia ingin bertaubat kepada Allah maka dia harus
mengeluarkan zakat yang dahulu belum dibayarkannya. Apabila ada seseorang yang
dahulu meremehkan berbakti kepada kedua orang tua (kemudian ingin bertaubat)
maka dia harus berbakti dengan baik kepada kedua orang tuanya. Apabila dia
dahulu meremehkan silaturahim maka kini dia wajib menyambung silaturahim.
Apabila maksiat itu terjadi dalam bentuk mengerjakan keharaman maka dia wajib
bersegera meninggalkannya, dia tidak boleh meneruskannya walaupun barang
sekejap. Apabila misalnya ternyata dia termasuk orang yang memakan harta riba
maka wajib baginya melepaskan diri dari riba dengan cara meninggalkannya dan
menjauhkan diri darinya dan dia harus menyingkirkan harta yang sudah
diperolehnya dengan cara riba. Apabila maksiat itu berupa penipuan dan dusta kepada
manusia dan mengkhianati amanat maka dia harus meninggalkannya, dan apabila dia
telah meraup harta dengan cara haram ini maka dia wajib mengembalikan harta itu
kepada pemiliknya atau meminta penghalalan kepadanya.
Apabila
maksiat itu berupa ghibah/menggunjing maka dia
wajib meninggalkan gunjingan terhadap manusia dan meninggalkan pembicaraan yang
menjatuhkan kehormatan-kehormatan mereka. Adapun apabila dia mengatakan “Saya
sudah bertaubat kepada Allah”, akan tetapi ternyata dia masih terus
meninggalkan kewajiban atau masih meneruskan perbuatan yang diharamkan, maka
taubat ini tidaklah diterima. Bahkan taubat seperti ini sebenarnya seolah-olah
merupakan tindak pelecehan terhadap Allah ‘azza wa jalla, bagaimana engkau
bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla sementara engkau masih terus bermaksiat
kepada-Nya?!
Dalam
kondisi bagaimanapun setiap insan harus meninggalkan dosa yang dia sudah
bertaubat darinya, apabila dia tidak meninggalkannya maka taubatnya tertolak
dan tidak akan bermanfaat baginya di sisi Allah ‘azza wa jalla. Meninggalkan
dosa itu bisa berkaitan dengan hak Allah ‘azza wa jalla, maka yang demikian itu
cukuplah bagimu bertaubat antara dirimu dengan Robb-mu saja, kami berpendapat
tidak semestinya atau bahkan tidak boleh anda ceritakan kepada manusia
perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban yang pernah anda kerjakan. Hal itu
karena dosa ini hanya terjadi antara dirimu dengan Allah. Apabila Allah sudah
memberimu karunia dengan tertutupnya dosamu (dari pengetahuan manusia) dan
menutupi dosamu sehingga tidak tampak di mata manusia, maka janganlah anda ceritakan
kepada siapa pun apa yang sudah anda lakukan jika anda telah bertaubat kepada
Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seluruh
umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara
terang-terangan” dan
termasuk terang-terangan dalam berbuat dosa ialah seperti yang diceritakan di
dalam hadits, “Seseorang melakukan dosa lalu
pada pagi harinya dia menceritakannya kepada manusia, dia katakan, ‘Aku telah
melakukan demikian dan demikian…’.”
Walaupun
memang ada sebagian ulama yang mengatakan: Apabila seseorang telah melakukan
suatu dosa yang terdapat hukum had padanya maka tidak mengapa dia pergi kepada
imam/pemerintah yang berhak menegakkan hudud seperti kepada Amir/khalifah dan
dia laporkan bahwa dia telah melakukan dosa anu dan ingin membersihkan diri
dari dosa itu, meskipun ada yang berpendapat begitu maka sikap yang lebih utama
adalah menutupi dosanya dalam dirinya sendiri.
Artinya
dia tetap diperbolehkan menemui pemerintah apabila telah melakukan suatu
maksiat yang ada hukum had padanya seperti contohnya zina, lalu dia laporkan, ‘kalau
dia telah berbuat demikian dan demikian’ dalam rangka meminta
penegakan hukum had kepadanya sebab had itu merupakan penebus/kaffarah atas dosa tersebut.
Adapun
kemaksiatan-kemaksiatan yang lain maka tutupilah cukup di dalam dirimu,
sebagaimana Allah telah menutupinya, demikian pula zina dan yang semacamnya
tutuplah di dalam dirimu (kecuali jika ditujukan untuk melapor kepada
pemerintah) janganlah engkau membuka kejelekan dirimu. Dengan catatan selama
engkau benar-benar bertaubat kepada Allah atas dosamu maka selama itu pula
Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan banyak perbuatan dosa…
Adapun syarat keempat
adalah:
Bertekad kuat tidak mau mengulangi perbuatan ini di masa berikutnya. Apabila
engkau tetap memiliki niat untuk masih mengulanginya ketika terbuka kesempatan
bagimu untuk melakukannya, maka sesungguhnya taubat itu tidak sah. Contohnya:
ada seseorang yang dahulu menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Allah -wal
‘iyaadzu billah-:
yaitu dengan membeli minuman-minuman yang memabukkan, dia melancong ke berbagai
negeri demi melakukan perzinaan -wal ‘iyaadzu billah- dan untuk
bermabuk-mabukan!! Lalu dia pun tertimpa kemiskinan (hartanya habis) dan
mengatakan: “Ya Allah sesungguhnya aku
bertaubat kepadamu” padahal sebenarnya dia itu dusta, di dalam niatnya
masih tersimpan keinginan apabila urusan (harta) nya sudah pulih seperti
kondisi semula maka dia akan melakukan perbuatan dosanya yang semula.
Ini
adalah taubat yang bobrok, engkau (mengaku) bertaubat atau tidak bertaubat
(sama saja) karena engkau bukanlah termasuk orang yang mampu bermaksiat (ini
yang tertulis di kitab aslinya, tapi mungkin maksudnya adalah engkau bukan
termasuk orang yang serius meninggalkan maksiat, wallahu a’lam -pent), sebab memang
ada sebagian orang yang tertimpa pailit lalu mengatakan “Aku
telah meninggalkan dosa-dosaku” tetapi di dalam hatinya berbisik
keinginan kalau hartanya yang lenyap sudah kembali maka dia akan kembali
melakukan maksiat itu untuk kedua kalinya, maka ini adalah taubat yang tidak
diterima.
Syarat kelima: Engkau berada di
waktu taubat masih bisa diterima,
apabila ada seseorang yang bertaubat di waktu taubat sudah tidak bisa diterima
lagi maka saat itu taubat tidak lagi bermanfaat. Hal itu ada dua macam: Macam
yang pertama dilihat dari sisi keadaan setiap manusia. Macam kedua dilihat dari
sisi keumuman.
Adapun
ditinjau dari sudut pandang pertama, maka taubat itu harus sudah dilakukan
sebelum datangnya ajal (yakni kematian) sehingga apabila ia terjadi setelah ajal
menjemput maka ia tidak akan bermanfaat bagi orang yang bertaubat itu, ini
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan
tidaklah Taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah)
ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’” (Qs. An Nisaa’: 18),
mereka itu sudah tidak ada lagi taubat baginya.
Dan
Allah ta’ala berfirman:
“Maka
tatkala mereka melihat azab kami, mereka berkata: ‘Kami beriman Hanya kepada
Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang Telah kami
persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala
mereka Telah melihat siksa kami. Itulah sunnah Allah yang Telah berlaku
terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Qs. Al Mu’min: 84-85)
Maka
seorang insan apabila sudah berhadapan dengan maut dan ajal sudah mendatanginya
ini berarti ia sudah hampir terputus dari kehidupannya maka taubatnya itu tidak
berada pada tempat yang semestinya! Sesudah dia berputus asa untuk bisa hidup
lagi dan mengetahui dia tidak bisa hidup untuk seterusnya maka dia pun baru mau
bertaubat! Ini adalah taubat di saat terjepit, maka tidaklah itu bermanfaat
baginya, dan tidak akan diterima taubatnya, sebab seharusnya taubat itu
dilakukannya sejak dahulu (ketika masih hidup normal, bukan di ambang ajal
-pent).
Macam
yang kedua: yaitu dilihat dari sudut pandang keadaan umum (seluruh manusia
-pent), sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
bahwa, “Hijrah (berpindah dari negeri kafir menuju
negeri muslim -pent) tidak akan pernah terputus hingga terputusnya (kesempatan)
taubat, dan (kesempatan) taubat itu tidak akan terputus hingga matahari terbit
dari sebelah barat.” Sehingga apabila matahari sudah terbit dari sebelah
barat, maka di saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi bagi siapa pun.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pada
hari datangnya sebagian ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman
seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia
(belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu
Sesungguhnya kamipun menunggu (pula).’” (Qs. Al An’aam: 158).
Sebagian ayat yang dimaksud di sini adalah terbitnya matahari dari arah barat
sebagaimana hal itu telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dengan
demikian maka taubat itu hanya akan diterima di saat mana taubat masih bisa
diterima, jika tidak berada dalam kondisi seperti itu maka sudah tidak ada
(kesempatan) taubat lagi bagi manusia.” (Syarah Riyadhu
Shalihin,
I/57-61 dengan diringkas)
Sambutlah
Surga Dengan Taubatan Nasuha
Allah
ta’ala menjanjikan balasan yang sangat agung bagi mereka yang bertaubat
kepada-Nya dengan taubatan nasuha. Allah ta’ala berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan
orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan
dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Robb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang makna
taubatan nasuha, “Yang dimaksud dengannya adalah taubat yang umum yang meliputi
seluruh dosa, taubat yang dijanjikan hamba kepada Allah, dia tidak menginginkan
apa-apa kecuali wajah Allah dan kedekatan kepada-Nya, dan dia terus berpegang
teguh dengan taubatnya itu dalam semua kondisinya.” (Taisir
Karim ar-Rahman,
hal. 874)
Ibnu
Jarir berkata dengan membawakan sanadnya sampai Nu’man bin Basyir, beliau
(Nu’man) pernah mendengar ‘Umar bin Khaththab berkata (membaca ayat):
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya).”
Beliau
(Umar) berkata: “(yaitu orang) yang berbuat
dosa kemudian tidak mengulanginya.”
Ats
Tsauri mengatakan: “Dari Samak dari Nu’man dari ‘Umar, beliau pernah berkata:
‘Taubat yang murni adalah (seseorang) bertaubat dari dosanya kemudian dia tidak
mengulanginya dan tidak menyimpan keinginan untuk mengulanginya.’” Abul Ahwash
dan yang lainnya mengatakan, dari Samak dari Nu’man: “Bahwa Umar pernah ditanya
tentang (makna) taubatan nasuha, maka beliau menjawab: ‘Seseorang bertaubat
dari perbuatan buruknya kemudian tidak mengulanginya lagi untuk
selama-lamanya.’” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim karya Imam Ibnu
Katsir, VI/134).
Ibnu
Abi Hatim mengatakan dengan membawakan sanadnya sampai ‘Ubay bin Ka’ab, beliau
(Ubay) berkata, “Diceritakan kepada kami (para sahabat) berbagai perkara yang
akan terjadi di akhir umat ini ketika mendekati waktu terjadinya hari kiamat,
di antara kejadian itu adalah: seorang lelaki yang menikahi istri atau budaknya
di duburnya, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan
Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di antaranya juga
seorang lelaki yang menikahi lelaki, dan hal itu termasuk perbuatan yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di
antaranya lagi seorang perempuan yang menikahi perempuan, dan hal itu termasuk
perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Allah dan
Rasul-Nya, dan bagi mereka itu semua tidak ada sholat selama mereka tetap
mengerjakan dosa-dosa ini sampai mereka bertaubat kepada Allah dengan taubatan
nasuha.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, VI/135)
Sebab-Sebab
Meraih Ampunan
Allah
ta’ala berfirman,
“Dan
sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal
saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Qs. Thahaa: 82)
Syaikh
Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyebutkan ada 4
sebab yang akan memudahkan hamba meraih ampunan dari Allah, beliau mengatakan
setelah menyebutkan ayat di atas, “Dengan ayat ini Allah telah merinci
sebab-sebab yang bisa ditempuh untuk menggapai maghfirah/ampunan dari Allah.
Yang pertama, taubat, yaitu
kembali dari segala yang dibenci Allah; baik lahir maupun batin, menuju segala
yang dicintai-Nya; baik lahir maupun batin, taubat itulah yang akan menutupi
dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya; yang kecil maupun yang besar.
Kedua, iman, yaitu
pengakuan dan pembenaran yang kokoh dan menyeluruh terhadap semua berita yang
disampaikan Allah dan Rasul-Nya, yang menuntut berbagai amalan hati, kemudian
harus diikuti dengan amalan anggota badan. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa
keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari
akhir yang tidak disertai keraguan di dalam hati merupakan landasan pokok
ketaatan, bagian terbesar darinya bahkan (iman itulah) yang menjadi asasnya.
Dan tak perlu disangsikan lagi bahwa hal itu akan mampu menolak berbagai
keburukan sesuai kadar kekuatan imannya, iman (seseorang) akan bisa menolak
dosa yang belum terjadi dengan menahan dirinya dari terjatuh ke dalamnya, dan
bisa menolak dosa yang sudah terlanjur terjadi dengan cara melakukan apa yang
bisa meniadakannya dan menjaga hatinya dari ajakan meneruskan perbuatan dosa,
karena sesungguhnya orang yang beriman itu di dalam relung hatinya terdapat
keimanan dan cahayanya yang tidak akan mau menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga, amal shalih, ini
mencakup amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan, dan
kebaikan-kebaikan (hasanaat) itulah yang akan menghilangkan keburukan-keburukan
(sayyi’aat).
Keempat, konsisten (terus
menerus) berada di atas keimanan dan hidayah serta terus berupaya
meningkatkannya, barang siapa menyempurnakan keempat sebab ini maka berilah
berita gembira kepadanya dengan maghfirah dari Allah yang
menyeluruh dan sempurna. Oleh sebab inilah Allah menggunakan bentuk sifat mubalaghah (kata yang menunjukkan
makna sangat berlebihan -pent), Allah berfirman,
“Sesungguhnya
Aku Maha pengampun (Ghaffaar).” (Qs. Thahaa: 82)….”
(Dinukil
dengan sedikit penyesuaian dari Taisir Lathif al-Mannan fi
Khulashati Tafsir al-Qur’an, hal. 263-264).
“Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi.” (Qs. Al A’raaf: 23)
Ikhtitam
Kepada
semua orang yang pernah berjasa kepadaku semoga Allah membalas kebaikan kalian
dengan balasan kebaikan yang sebesar-besarnya, dan kepada semua orang yang
pernah terzalimi sudilah kiranya memaafkan kesalahan-kesalahanku, semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, semoga Allah mempertemukan kita di
hari kiamat kelak sebagai sahabat di dalam jannah-Nya, Jannatul Firdaus, aamiin
Yaa Robbal ‘aalamiin.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin
wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallama tasliman katsiran. Wa akhiru da’wanaa
anil hamdulillahi Robbil ‘aalamiin.
11
Dzulhijjah 1426 H
***
Artikel yg benar2 Bermanfaat bagi kita semua.....
BalasHapus