Makna dan Tujuan Adzan
Secara bahasa, adzan bermakna i’lam yaitu pengumuman,
pemberitahuan atau pemakluman, sebagaimana disebutkan dalam Mukhtarush Shihhah
(hal. 16), At-Ta’rifat oleh Al-Jurjani (hal. 23), dan selainnya. Allah k
berfirman:
”Dan inilah suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya
kepada umat manusia pada hari haji akbar…” (At-Taubah: 3)
Adapun secara syariat, adzan adalah pemberitahuan
datangnya waktu shalat dengan menyebutkan lafadz-lafadz yang khusus. (Fathul
Bari 2/102, Al-Mughni Kitabush Shalah, bab Al-Adzan)
Abul Hasan Al-Mawardi t menerangkan, asal adzan ini
adalah firman Allah k:
”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru
untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kalian kepada
mengingat Allah…” (Al-Jumu’ah: 9)
Dan firman-Nya:
“Dan apabila kalian menyeru mereka untuk mengerjakan
shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan…” (Al-Maidah: 58)
[Al-Hawil Kabir, 2/40]
Ibnu Mulaqqin t berkata, “Ulama menyebutkan empat hikmah
adzan:
1. Menampakkan syiar Islam
2. Kalimat tauhid
3. Pemberitahuan telah masuknya waktu shalat dan
pemberitahuan tempat pelaksanaan shalat.
4. Ajakan untuk menunaikan shalat berjamaah.” (dinukil
dari Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/513 )
Keutamaan Adzan dan Muadzin
Banyak hadits yang datang menyebutkan keutamaan adzan dan
orang yang menyerukan adzan (muadzin). Di antaranya berikut ini:
Abu Hurairah z mengatakan, Rasulullah n bersabda:
”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi
berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin
selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia
berlalu lagi…” (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)
Dari Abu Hurairah z juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah
n:
”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang
didapatkan dalam adzan dan shaf yang awal kemudian mereka tidak dapat
memperolehnya kecuali dengan berundi niscaya mereka rela berundi untuk
mendapatkannya…” (HR. Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)
Muawiyah z berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya1
pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850)
Abu Sa’id Al-Khudri z mengabarkan dari Rasulullah n:
”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatupun yang
mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi
saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 609)
Ibnu ’Umar c berkata: Rasulullah n bersabda:
”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap
yang basah ataupun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun
untuknya.” (HR. Ahmad 2/136. Asy-Syaikh Ahmad Syakir t berkata: “Sanad hadits
ini shahih.”)
Ibnu Mas’ud z berkata: Ketika kami bersama Rasulullah n
dalam satu safar, kami mendengar seseorang menyerukan, ”Allahu Akbar, Allahu
Akbar.” Nabiyullah n bersabda, ”Dia di atas fithrah.” Terdengar lagi seruannya,
”Asyhadu an laa ilaaha illallah.” ”Ia keluar dari api neraka,” kata Rasulullah
n. Kami pun bersegera ke arah suara seruan tersebut. Ternyata orang itu adalah
pemilik ternak yang mendapati waktu shalat ketika sedang menggembalakan
hewannya, lalu ia menyerukan adzan. (HR. Ahmad 1/407-408. Guru kami Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata, ”Hadits ini shahih di atas syarat
Syaikhain.” Lihat Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/56, 57)
Rasulullah n mendoakan para imam dan muadzin:
”Ya Allah berikan kelurusan2 bagi para imam dan ampunilah
para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan
Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 217, Al-Misykat no. 663)
Aisyah x berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda:
“Imam adalah
penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi, maka semoga Allah
memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan para muadzin.” (HR. Ibnu
Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam
Al-Albani t dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239)
Awal Pensyariatan Adzan
Ibnu Umar c berkata, “Ketika awal kedatangan kaum
muslimin di Madinah, mereka datang untuk mengerjakan shalat dengan
memperkirakan waktu berkumpulnya mereka, karena tidak ada orang yang khusus
bertugas menyeru mereka berkumpul untuk shalat. Suatu hari mereka
mempercakapkan hal ini. Sebagian mereka berkata, ‘Kita akan menggunakan lonceng
seperti loncengnya Nasrani untuk memanggil orang-orang agar berkumpul untuk
mengerjakan shalat.’ Sebagian lain mengatakan, ‘Kita pakai terompet seperti
terompetnya Yahudi.’ Namun Umar mengusulkan, ‘Tidakkah sebaiknya kalian
mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan shalat?’ Nabi n pun bersabda:
“Bangkitlah wahai
Bilal, kumandangkanlah seruan untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 604 dan Muslim
no. 835)
Dalam hadits Anas bin Malik z yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari t (no. 603) juga disebutkan ada yang mengusulkan untuk menyalakan
api sebagai tanda ajakan shalat.
Namun semua usulan ditolak oleh Rasululllah n karena ada
unsur penyerupaan dengan orang-orang kafir. Sementara kita dilarang tasyabbuh
(menyerupai) dengan ashabul jahim (para penghuni neraka) ini.
Dari hadits Ibnu Umar c di atas, tampak bagi kita
beberapa perkara:
1. Seruan untuk berkumpul mengerjakan shalat baru
disyariatkan di Madinah setelah kedatangan Rasulullah n. Adapun riwayat yang
menyebutkan bahwa adzan telah disyariatkan di Makkah atau pada malam Isra’,
tidak ada satu pun yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh t dalam
Fathul Bari (2/104).
2. Seruan untuk shalat yang diperintahkan Rasulullah n
kepada Bilal z bukanlah lafadz-lafadz adzan yang kita kenal, karena
lafadz-lafadz tersebut baru dikumandangkan Bilal setelah Abdullah bin Zaid z
bermimpi mendengar lafadz-lafadz adzan.
Al-Qadhi Iyadh t berkata, “Disebutkan dalam hadits bahwa
Umar mengisyaratkan kepada mereka untuk mengumandangkan seruan. Ia berkata,
‘Tidakkah sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan
shalat?’ Zahir dari ucapan ini bahwa seruan tersebut berupa pemberitahuan
semata, bukan adzan yang khusus sebagaimana yang disyariatkan. Tetapi berupa
pemberitahuan untuk shalat, bagaimana pun caranya.” (Al-Ikmal, 2/237)
Tentang awal pensyariatan adzan ini juga disebutkan dalam
hadits berikut ini:
Abu Umair bin Anas mengabarkan dari pamannya seorang dari
kalangan Anshar: Nabi n memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang-orang
untuk mengerjakan shalat berjamaah. Ada yang mengusulkan pada beliau,
”Pancangkan bendera ketika telah tiba waktu shalat, sehingga bila orang-orang
melihatnya, mereka akan saling memanggil untuk menghadiri shalat.” Namun usulan
tersebut tidak berkenan di hati Rasulullah n.
Ada yang mengusulkan terompet, namun Rasulullah n juga
tidak berkenan menerimanya, bahkan beliau mengatakan, ”Itu perbuatan Yahudi.”
Ada yang usul lonceng, beliau bersabda, ”Itu urusan
Nasrani.”
Pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi z dalam
keadaan hatinya dipenuhi pikiran tentang kegelisahan Rasulullah n. Ketika
tidur, ia bermimpi mendengar adzan3.
Di pagi harinya ia menemui Rasulullah n untuk
memberitakan mimpi tersebut, ”Wahai Rasulullah, aku berada di antara tidur dan
jaga ketika datang kepadaku seseorang lalu ia menunjukkan adzan kepadaku.”
Sebelumnya Umar ibnul Khaththab z telah bermimpi tentang adzan namun ia menyembunyikannya
(tidak memberitahukan tentang mimpinya) selama 20 hari. Setelahnya barulah Umar
memberitakan mimpinya kepada Nabi n4. ”Apa yang menghalangimu untuk
memberitahukan mimpimu kepadaku?” tanya Rasulullah n kepada Umar z. Kata Umar,
”Abdullah bin Zaid telah mendahului saya, saya pun malu.” Rasulullah n
bersabda, ”Wahai Bilal, bangkitlah, perhatikan apa yang diajarkan Abdullah bin
Zaid lalu ucapkanlah.” Bilal pun mengumandangkan adzan. (HR. Abu Dawud no. 498,
kata Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari 2/107, ”Sanadnya shahih.” Hadits
ini dihasankan dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Al-Jami’ush Shahih 2/62)
Dengan demikian, seruan untuk shalat telah melewati tiga
tahapan:
Pertama: Ketika awal diwajibkan shalat di Makkah (tiga
tahun sebelum hijrah), belum ada seruan untuk shalat sama sekali. Hal ini terus
berlangsung sampai Nabi n hijrah
ke Madinah. Pada masa itu, untuk berkumpul kaum muslimin hanya
memperkirakan waktunya.
Kedua: Ada seruan umum yang dikumandangkan Bilal untuk
berkumpul guna mengerjakan shalat setelah terjadi musyawarah Rasulullah n dan
para sahabatnya, atas usulan Umar ibnul Khaththab z.
Ketiga: Dikumandangkannya adzan yang syar’i setelah
Abdullah bin Zaid z mendengarnya dalam mimpinya.
Hukum Adzan
Al-Imam An-Nawawi t berkata tentang pendapat ulama dalam
masalah hukum adzan berikut iqamat, “Mazhab kami (Syafi’iyyah) yang masyhur
menetapkan hukum keduanya sunnah bagi setiap shalat, baik yang mukim ataupun safar,
baik shalat jamaah ataupun shalat sendiri. Keduanya tidaklah wajib. Bila
ditinggalkan, sah shalat orang yang sendirian atau berjamaah. Demikian pula
pendapat Abu Hanifah t dan murid-muridnya, serta pendapat Ishaq bin Rahawaih t.
As-Sarkhasi t menukilkannya dari jumhur ulama. Ibnul Mundzir t berkata, “Adzan
dan iqamat wajib hukumnya dalam shalat berjamaah baik di waktu mukim ataupun
safar.” Al-Imam Malik menyatakan, “Wajib dikumandangkan di masjid yang
ditegakkan shalat berjamaah di dalamnya.”
Atha dan Al-Auza’i rahimahumallah berkata, “Bila lupa
iqamat, shalat harus diulangi.” Dalam satu riwayat dari Al-Auza’i t, “Orang itu
mengulangi shalatnya selama waktu shalat masih ada.”
Al-‘Abdari t berkata, “Hukum keduanya sunnah menurut
Al-Imam Malik t, dan fardhu kifayah menurut Al-Imam Ahmad t.”
Dawud t mengatakan, “Keduanya wajib bagi shalat
berjamaah, namun bukan syarat sahnya.”
Mujahid berpendapat, “Bila lupa iqamat dalam shalat
ketika safar, ia harus mengulangi shalatnya.”
Al-Muhamili t mengatakan, “Ahlu zahir berkata bahwa adzan
dan iqamat wajib bagi seluruh shalat, namun mereka berbeda pendapat tentang
keberadaannya apakah sebagai syarat sahnya shalat ataukah tidak.” (Al-Majmu’, 3/90)
Di antara pendapat yang ada, maka yang kuat dalam
pandangan penulis adalah pendapat yang menyatakan wajib/fardhu kifayah, dengan
dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Malik ibnul Huwairits z, ia berkata: Kami
mendatangi Nabi n di Madinah dalam keadaan kami adalah anak-anak muda yang
sebaya. Kami tinggal di sisi beliau selama 20 hari 20 malam. Adalah Rasulullah
n seorang yang pengasih lagi penyayang. Ketika beliau yakin kami telah
merindukan keluarga kami, beliau menanyakan tentang keluarga yang kami
tinggalkan, maka kami pun menyampaikannya. Beliau bersabda:
“Kembalilah kalian
menemui keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajari dan perintahkan
mereka –beliau lalu menyebut beberapa perkara ada yang aku ingat dan ada yang
tidak–. Shalatlah kalian sebagaimana cara shalatku yang kalian lihat. Bila
telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan
adzan dan hendaknya yang paling besar/tua dari kalian menjadi imam.” (HR.
Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
2. Hadits Amr bin Salamah, di dalamnya disebutkan sabda
Rasulullah n:
“Kerjakanlah oleh
kalian shalat ini di waktu ini dan shalat itu di waktu itu. Bila telah datang
waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan
hendaknya yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan
Qur’annya.” (HR. Al-Bukhari no. 4302)
Ibnu Hazm t berkata, “Dengan dua hadits ini pastilah
kebenaran pendapat yang mengatakan adzan itu wajib secara umum bagi setiap
shalat, dan bahwa adzan baru diserukan setelah masuknya waktu shalat. Iqamat
juga masuk dalam perkara ini.” (Al-Muhalla, 2/165)
Beliau juga berkata, “Di antara yang berpendapat wajibnya
adzan adalah Abu Sulaiman dan murid-muridnya. Kami tidak mengetahui adanya
hujjah sama sekali bagi yang berpendapat adzan itu tidak wajib. Seandainya
tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya adzan kecuali penghalalan Rasulullah
n terhadap darah orang-orang yang tinggal di sebuah negeri karena tidak
terdengar adzan diserukan di negeri tersebut, dihalalkan harta mereka dan
menawan mereka, niscaya ini sudah cukup untuk menyatakan wajibnya. Pendapat ini
merupakan kesepakatan yang diyakini oleh seluruh sahabat g tanpa diragukan,
maka ini merupakan ijma’ yang dipastikan kebenarannya.” (Al-Muhalla, 2/166)
Ibnul Mundzir t dalam Al-Ausath (3/24) berkata, “Adzan
dan iqamat adalah dua kewajiban bagi setiap (shalat) berjamaah, baik dalam
keadaan mukim (tidak bepergian/safar) maupun sedang safar. Karena Nabi n
memerintahkan agar adzan diserukan. Perintah beliau menunjukkan wajib. Nabi n
pernah memerintahkan Abu Mahdzurah agar menyerukan adzan di Makkah dan beliau juga
pernah menyuruh Bilal adzan. Semua ini menunjukkan wajibnya adzan.”
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Secara mutlak, tidak
diragukan lagi batilnya pendapat yang mengatakan adzan hukumnya mustahab.
Bagaimana bisa dihukumi mustahab, sementara adzan termasuk syiar Islam yang
terbesar, yang mana dahulu Nabi n bila tidak mendengar seruan adzan di daerah
suatu kaum, beliau mendatangi mereka untuk memerangi mereka dan melakukan
penyerangan terhadap mereka. Sebaliknya bila mendengar adzan diserukan di
tengah mereka, beliau menahan diri dari memerangi mereka sebagaimana disebutkan
haditsnya dalam Shahihain dan selainnya. Telah pasti pula adanya hadits shahih
dari selain Shahihain yang berisi perintah untuk mengumandangkan adzan. Yang
namanya kewajiban bisa ditetapkan dengan yang lebih sedikit dari apa yang telah
disebutkan. Maka pendapat yang benar adalah adzan hukumnya fardhu kifayah.
Pendapat inilah yang dishahihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam
Al-Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan adzan diwajibkan walaupun seseorang shalat
sendirian sebagaimana akan disebutkan dalilnya.” (Tamamul Minnah, hal. 144)
Di antaranya riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud
(no.1203), An-Nasa’i (no. 666), dan Ahmad (4/157) dari hadits Uqbah bin Amir z
secara marfu’:
Rabb kalian kagum dengan seorang penggembala kambing di
puncak gunung yang mengumandangkan adzan untuk shalat dan setelahnya ia
menunaikan shalat. Allah k berfirman, “Lihatlah oleh kalian hamba-Ku ini, ia
adzan dan menegakkan shalat dalam keadaan takut kepada-Ku, maka Aku ampuni
hamba-Ku ini dan Aku masukkan ia ke dalam surga.” (Al-Imam Al-Albani t berkata
dalam Ash-Shahihah no. 41, “Hadits ini shahih.”)
Adapun iqamat, menurut Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan
seluruh fuqaha rahimahumullah, hukumnya sunnah muakkadah, dan orang yang
meninggalkannya tidak perlu mengulang shalatnya.
Sedangkan menurut Al-Auza’i, Atha’, Mujahid, dan Ibnu Abi
Laila, iqamat ini wajib, dan yang meninggalkannya harus mengulangi shalatnya.
Demikian pula pendapat ahlu zahir. Wallahu a’lam. (Al-Ikmal, 2/232-234)
Yang rajih adalah pendapat yang menyatakan iqamat
hukumnya fardhu kifayah dalam shalat berjamaah, baik dalam shalat mukim ataupun
safar dengan dalil hadits Malik ibnul Huwairits z. Adapun bagi orang yang
shalat sendirian (munfarid) hukumnya mustahab, tidak wajib. Dalilnya adalah
hadits Salman z:
“Apabila seseorang
berada di padang tandus, lalu datang waktu shalat hendaklah ia berwudhu. Bila
ia tidak mendapati air hendaklah ia bertayammum. Bila ia bangkit mengerjakan
shalat, ikut shalat bersamanya dua malaikat. Jika ia adzan dan shalat maka
turut shalat di belakangnya para tentara Allah yang tidak terhitung jumlahnya.”
(HR. Abdurrazzaq no. 1955. Al-Imam Al-Albani t mengatakan,”Sanad hadits ini
shahih sesuai syarat para imam yang enam.”; Ats-Tsamar, 1/145)
(bersambung, insya Allah)
1 Ahlul ilmi berselisih pendapat dalam memaknakan lafadz
ini. Ada yang mengatakan, maknanya adalah orang yang paling banyak melihat
pahala. An-Nadhr ibnu Syumail t berkata, “Apabila manusia pada hari kiamat
nanti dikekang dengan keringat mereka, menjadi panjanglah leher para muadzin
agar mereka tidak mendapatkan bencana tersebut dan tidak ditenggelamkan oleh
keringat.”
Adapula yang memaknakannya dengan tokoh, karena orang
Arab menyifatkan tokoh/pimpinan dengan leher panjang.
Adapula yang memaknakan banyak pengikutnya. Ibnul Arabi
mengatakan, “Orang yang paling banyak amalnya.”
Al-Qadhi Iyadh t dan selainnya berkata, “Sebagian ulama
ada yang meriwayatkan lafadz ini dengan mengkasrah hamzah, sehingga dibaca
i’naqan yang bermakna paling cepat menuju ke surga.”
Ibnu Abi Dawud berkata: Aku mendengar ayahku berkata
tentang maknanya, “Manusia pada hari kiamat nanti akan kehausan. Bila seseorang
haus terlipatlah lehernya sedangkan para muadzin tidak merasakan haus, maka
leher-leher mereka tetap tegak.” (Nailul Authar, 1/485-486)
2 Mengetahui al-haq dan mau mengikutinya.
3 Mimpinya terjadi pada tahun pertama hijriyah setelah
selesai pembangunan masjid Nabawi.
4 Yaitu setelah Umar z mendengar adzan itu dikumandangkan
oleh Bilal z sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Zaid z.
Kategori: Majalah AsySyariah
Edisi 047/(dituis oleh: Al-Ustadz
Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
0 komentar:
Posting Komentar