REPUBLIKA.CO.ID, Makkah dan Madinah adalah dua kota yang sangat disucikan dalam Islam. Di dalam Alquran dan Hadits Nabi, dua kota itu sering disebut juga dengan Tanah Haram (Al-Balad Al-Haram). Kata haram berarti larangan atau pengetatan.
Dalam ajaran Islam, kata ini sering digunakan sebagai lawan kata dari halal yang artinya pelepasan atau penguraian. Kata halal dalam perkembangannya kemudian juga bermakna boleh, sedangkan haram juga bermakna hormat atau terhormat.
Tanah Haram bisa kita artikan sebagai kawasan yang terlarang bagi para agresor, penjajah, atau tukang aniaya. Bisa juga diartikan sebagai kawasan yang harus selalu dihormati atau dimuliakan. Tanah Haram, yaitu Makkah dan Madinah, harus dimuliakan karena Allah dan Rasul-Nya memuliakan dua tempat tersebut dibandingkan kota-kota lain di muka bumi.
Istilah al-Balad al-Haram atau Tanah Haram sudah dikenal jauh hari sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Nabi Ibrahim AS, sebagaimana bisa kita saksikan di dalam Alquran sudah menggunakan nama itu pada zamannya.
Sebagai kawasan yang dimuliakan, tak mengherankan jika Tanah Haram memiliki segudang peraturan bagi orang- orang yang tinggal di dalamnya. Sebagaimana sering kita temui dalam kehidupan sosial masyarakat, ketentuan- ketentuan yang beragam di sebuah daerah yang dianggap istimewa tentu bisa dibenarkan.
Salah satu aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah larangan bagi kaum non-muslim memasuki Masjidil Haram. Aturan tersebut bisa kita lihat dalam ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah ayat 28)
Aturan lain adalah larangan berburu binatang di kawasan ini, kecuali ada seekor binatang buas yang sangat membahayakan dan mengancam keselamatan manusia. Kita juga dilarang mencabut pohon atau tumbuhan lain yang tumbuh dengan sendirinya. Membawa tanah dan bebatuan dari Tanah Haram ke luar wilayah tersebut dan mengambil barang temuan, kecuali untuk diumumkan kepada khalayak ramai, juga dilarang.
Seberat apapun aturan yang berlaku di Tanah Haram, umat Islam harus tetap merasa cinta dengan wilayah tersebut. Demikianlah sunnah Rasulullah SAW dan sunnah para utusan Allah yang lain.
Nabi Ibrahim AS ketika akan meninggalkan Haj’ar dan anak semata wayangnya, Ismail, di daerah ini sempat berdoa kepada Allah, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim ayat 37)
Sikap menghormati dan mencintai Tanah Haram harus selalu kita jaga sebagai bukti bahwa kita tidak keluar dari rel-rel kehidupan yang sudah dicontohkan oleh para kekasih Allah SWT. Apabila Nabi Muhammad SAW mencontoh dan mengikuti sunnah Nabi Ibrahim AS, yaitu menghormati dan memuliakan Tanah Haram, lantas bagaimana dengan diri kita? Jawab
annya barang tentu juga harus mengikuti sunnahnya.
Status Makkah sebagai Tanah Haram ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Alquran. Penetapan tersebut sekaligus menjadi bukti nyata terkabulnya doa Nabi Ibrahim AS yang notabene adalah figur yang meremajakan bangunan Ka’bah dan pendiri kota Makkah.
Sementara itu, status Madinah sebagai Tanah Haram ditetapkan berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW. Beliau sendiri adalah penggagas berdirinya kota Madinah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Ibrahim (atas perintah Allah) mengharamkan kota Makkah, dan aku (atas perintah Allah pula) mengharamkan kota Madinah, tidak dibenarkan mencabut pepohonannya juga memburu binatangnya.”
Salah satu alasan mengapa Madinah menjadi Tanah Haram adalah karena kota tersebut merupakan tempat tinggal Rasulullah SAW sekaligus tanah di mana jenazah beliau disemayamkan. Imam Malik RA, salah seorang ulama besar dalam bidang fikih, konon tidak mau tidur di atas kasur yang tinggi.
Beliau memilih tidur di atas lantai dan beralaskan tikar, karena tidak ingin posisi tubuhnya lebih tinggi dari jenazah Rasulullah SAW dimakamkan. Imam Malik RA juga tidak mau menunggang kendaraan, karena beliau ingin menghormati makam Rasulullah SAW.
Thanks for the goоd writeup. It in reаlityused to
BalasHapusbe a amusеment account it. Look comρlеx
to more аdded аgrеeablе from you!
However, how could ωe be in contact?
kate dircksen