Ditulis oleh Abu Farha Qasim Ata, S.Pd.I.
Segala puji milik Allah yang telah menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai sarana beribadah dan peneguhan iman seorang hamba. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Waba’ad.
Latar belakang tulisan ini kita bahas karena rasa keprihatinan atas realita kaum muslimin yang terjatuh dalam kesalahan membaca al-Qur’an, terkhusus lagi adalah mereka-mereka yang telah Allah tuntun untuk mengenal manhaj yang lurus yaitu manhaj ahlussunnah waljama’ah. Tentunya kita sangat bersyukur kepada Allah atas bersemangatnya generasi muda kaum muslimin untuk kembali kepada Islam yang benar sesuai pemahaman para salaful ummah, namun sebagai individu yang kelak mendakwahkan dan mentarbiyah ummat ternyata masih banyak yang salah dalam membaca al-Qur’an. Hal ini sangat terlihat ketika kita mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an yang mereka baca terutama dalam shalat, masih terdapat kesalahan-kesalahan yang terkadang tidak dapat ditolerir.
Padahal perintah untuk membaguskan bacaan al-Qur’an adalah wajib hukumnya sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ……………
“Orang-orang yang telah kami (Allah) beri mereka al-kitab (al-Qur’an) lalu mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya….” (QS. al-Baqarah [2]: 121)
Berkata syaikh Muhammad Thalhah Bilal Manyar, tentang “haqqa tilaawatih” yaitu:
“membacanya secara tartil dan sesuai tajwid sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam” (Muqaddimah Ahkamu Qira’atil Qur’anil Karim, hal. 10)
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا…………..
“Dan bacalah al-Qur’an secara tartil……(QS. al-Muzammil [37]: 4)
Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna tartil dalam ayat ini, yaitu: mentajwidkan (membaguskan bacaan) sesuai huruf-hurufnya dan mengetahui tempat-tempat waqaf (berhentinya).
Walaupun perkataan ini dikomentari oleh syaikh Mahmud Khalil al-Hushari al-Qari’, bahwa beliau belum mendapati sanad secara pasti. (lihat di catatan kaki buku beliau, Ahkamu Qira’atil Qur’anil Karim, hal. 28).
Tentunya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik, saran dan masukan tentu sangat kami harapkan guna melengkapi tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Kami memohon kepada Allah semoga tulisan ini sebagai pemberat timbangan kebaikan pada hari penghisaban kelak. Amiin.
A. Makna dan pembagian kesalahan
Para ulama tajwid secara umum telah mengistilahkan kesalahan dengan istilah “al-lahn” yang terdiri dari dua macam, yang tujuannya agar kita dapat menjadikannya sebagai ukuran untuk menggolongkan bentuk-bentuk kesalahan yang terjadi pada bacaan al-Qur’an masing-masing kita. Sebagaimana yang disebutkan oleh syaikh Mahmud Khalil al-Hushari al-Qari’ dalam kitabnya Ahkamu Qira’atil Qur’anil Karim, hal. 34-35,
1. al-lahnul jali, adalah kesalahan pada bacaan lafadz-lafadz al-Qur’an yang menyalahi kaidah tajwid, bahasa Arab khususnya i’rab (perubahan harakat akhir), baik yang dapat mengubah arti atau tidak. Melakukan kesalahan ini dengan sengaja hukumnya haram. Seperti (‘ain “ع” dibaca hamzah “ء”, atau mengubah harakat)
contoh:
رَبِّ الْعَالَمِينَ ← رَبِّ الْآلَمِينَ
أَنْعَمْتَ ← أَنَعَمْتَ
Catatan: kata yang digaris bawahi adalah bentuk kesalahan dari bacaan yang benar.
2. al-lahnul khafi, adalah kesalahan bacaan lafadz-lafadz al-Qur’an yang menyalahi sebagian kaidah tajwid namun tidak menyalahi kaidah bahasa Arab, juga tidak mengubah harakat dan tidak pula mengubah arti, seperti kesalahan pada bacaan idzhar, ikhfa’, iqlab, dan idgham. Melakukan kesalahan ini dengan sengaja hukumnya makruh.
B. Bentuk-bentuk kesalahan
Secara umum bentuk-bentuk kesalahan dapat diklasifikasikan dalam empat bentuk, yang dalam tulisan ini kita mencoba untuk merincikannya dan mengolongkan dalam dua kaidah kesalahan di atas,
1. Kesalahan pada makharijul huruf. Melakukan kesalahan dalam melafalkan huruf-huruf hijaiyah, seperti ‘ain “ع” dibaca hamzah “ء” atau sebaliknya, demikian juga huruf-huruf yang lain. Kesalahan pada makharijul huruf ini tergolong dalam al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus dalam kesalahan yang sama. Maka perhatikanlah wahai para ikhwah maupun akhwat dan khususnya para imam-imam masjid! Sebagai contoh:
رَبِّ الْعَالَمِينَ ← رَبِّ الْآلَمِينَ
Catatan: bentuk kesalahannya adalah adanya perubahan bacaan pada huruf “ع” menjadi huruf “ء”. Termasuk di sini adalah huruf bertasydid, contoh “rabbi” dibaca “rabi”.
2. Kesalahan pada nada dengung (ghunnah) yang terdiri dari idzhar (halqi maupun syafawi), idgham, ikhfa’ (haqiqi maupun syafawi), dan iqlab. Bentuk kesalahannya adalah tidak konsisten dalam mendengungkan atau yang idzhar dibaca dengung. Contoh: Pertama. idzhar halqi. (من آمن) nun mati bertemu hamzah, sedangkan idzhar syafawi. (الحمد) mim mati bertemu dal. Bentuk kesalahannya karena didengungkan atau ditahan ketika membacanya. Kedua. Idgham secara umum selain bilaghunnah, (من يعمل) nun mati bertemu ya. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya. Ketiga. ikhfa’ haqiqi. (أأنتم) nun mati bertemu ta, adapun ikhfa’ syafawi. (ترميهم بحجارة ) mim mati ketemu ba’. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya atau mengubah bacaan nun mati dengan bacaan “ng” dan mim mati dibaca idzhar. Keempat, Iqlab, (من بعد) nun mati bertemu ba’. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya atau menggantikan bacaan nun mati langsung dengan ba’. Kesalahan ini walaupun tergolong dalam al-lahnul khafi namun dapat menghilangkan ruh dari tilawatul qur’an (bacaan al-Qur’an), dan hukumnya makruh bila dilakukannya dengan sengaja dan terus menerus dalam kesalahan yang sama. Dan termasuk kesalahan di sini yang terjadi pada “ال” syamsiyah pada nun mati, contoh: (النّاس), atau nun tasydid dan mim tasydid, contoh: (إنّ)- (أمّ). Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahannya suara pada saat membaca “ال” syamsiyah pada nun mati atau nun tasydid dan mim tasydid.
3. Kesalahan pada hurufus sakinah (huruf-huruf sukun) atau tidak berharakat a-i-u dan qalqalah. Bentuk kesalahan yang satu ini boleh dibilang cukup fatal dan tergolong dalam al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus dalam kesalahan yang sama. Contoh: Pertama, kesalahan melafalkan hurufus sakinah (huruf-huruf sukun) (أنعمت). Bentuk kesalahannya adalah bacaan “an’amta” dibaca “ana’amta”. Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Kedua, qalqalah secara umum yang terdiri dari (ب ج د ط ق) dan syiddatul qalqalah (terdapat tasydid pada huruf qalqalah), contoh qalqalah: (قل هو الله أحد), dal adalah huruf qalqalah. Bentuk kesalahannya adalah tidak dipantulkan pada saat dibaca sukun (tidak berharakat a-i-u) maupun waqaf (berhenti) tepat pada huruf qalqalah tersebut seperti huruf dal di atas. Adapun contoh syiddatul qalqalah (terdapat tasydid pada huruf qalqalah) adalah: (تبت يدى أبي لهب وتبّ) pada kata “watabba” terdapat tasydid yang seharusnya ditahan sesaat sebelum di pantulkan qalqalahnya, adapun bentuk kesalahannya adalah dibaca seperti qalqalah biasa bahkan lebih parah lagi adalah tidak adanya qalqalah atau dibaca pantul seperti bacaan “watab”.
4. Kesalahan pada mad (bacaan panjang). Bentuk kesalahan ini tergolong dalam dua lahn sekaligus berdasarkan pembagian mad (bacaan panjang), bacaan mad (bacaan panjang) terbagi menjadi dua. Pertama mad ashli atau thabi’i (bacaan panjang yang asli), contoh: (بسم الله الرحمن الرحيم) lafadz “Allaah”, “al-Rahmaan”, dan “al-Rahiim” cukup dibaca dua harakat. Bentuk kesalahannya adalah kurang dari dua harakat atau lebih dari dua harakat, agar terhindar dari kesalahan ini maka caranya dengan diayun suara ketika membaca mad ashli. Kesalahan ini tergolong al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus. Adapun mad far’i (bacaan panjang yang cabang) selain mad (bacaan panjang) berikut ini yaitu: mad lazim secara umum (lihat buku tajwid) yang hukum bacaannya adalah enam harakat, mad shila qashirah yang dibaca dua harakat maupun thawilah empat harakat, mad badal yang dibaca dua harakat karena ketiga jenis mad (bacaan panjang) ini sangat dianjurkan oleh para ulama untuk dipatuhi hukum bacaannya. Adapun mad ‘aridh lissukun yang boleh dibaca dua, empat, bahkan enam. Mad wajib yang dibaca empat boleh dua harakat, mad jaiz yang boleh dibaca dua, empat atau enam harakat, mad layyin (lin) yang boleh dibaca dua, empat atau enam harakat, mad ‘iwadh yang seharusnya dibaca dua harakat, dan yang lainnya. Adapun bentuk kesalahannya adalah tidak konsisten dalam membaca masing-masing mad far’i (bacaan panjang yang cabang), sehingga kesalahan ini tergolong al-lahnul khafi sekalipun demikian dapat menghilangkan ruh dari tilawatul qur’an (bacan al-Qur’an), dan hukumnya makruh bila dilakukannya dengan sengaja dan teru menerus.
Penutup
Sebagai penutup kami wasiatkan kepada diri kami dan para pembaca budiman, jadikanlah al-Qur’an sebagai lentera penerang kegelapan hidup, sinarilah rumah-rumah, kos-kos-an, dan kamar-kamar kita dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an, karena bacaan al-Qur’an merupakan sarana paling utama dalam meneguhkan iman seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid dalam buku beliau yang sederhana Wasaailuts-tsabaat ‘ala dinillaah.
Demikian pembahasan ini kami paparkan ke tengah para pembaca, khususnya para penuntut ilmu syar’i guna menjadi perhatian bersama. Semoga Allah subhanahu wata’ala memudahkan kita untuk terus dapat membaguskan bacaan al-Qur’an kita dengan cara talaqqi (belajar langsung dengan ustadz) yang mumpuni, agar dapat terhindar dari bentuk-bentuk kesalahan di atas baik yang tergolong dalam al-lahnul khafi dan terlebih lagi adalah al-lahnul jali, wallahu ta’ala a’lam
0 komentar:
Posting Komentar