Oleh : Ustadz Alfi
Syahar M.A
1. MEMAHAMI AYAT DENGAN AYAT
Menafsirkan satu ayat Alquran dengan ayat
Alquran yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada
sebagian ayat Alquran itu menerangkan makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat,
yang artinya : “ Ketahuilah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih
hati.” [QS.Yunus : 62].
Lafadz Auliya’
(wali-wali), ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang
artinya : “ Yaitu orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati
perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu
adalah Wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang
mempunyai anggapan, bahwa Wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara
ghaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah,
atau keyakinan-keyakinan yang bathil yang lain. Dalam hal ini, Karomah bukan
sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena Karomah itu
bisa saja tampak bisa juga tidak.
Adapun hal –hal yang aneh yang ada pada
diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang Ahli Bid’ah, adalah sihir,
seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang Majusi di India dan lain
sebagainya. Itu sama sekali bukan Karomah, tetapi sihir seperti yang di
firmankan Allah, artinya : “Terbayang kepada Musa,
seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka.” [QS. Thaha :66].
2. MEMAHAMI ALQURAN DENGAN HADITS YANG SHAHIH
Menafsirkan ayat Alquran dengan hadits
shahih sangatlah penting, bahkan harus. Allah menurunkan Alquran kepada
Rasulullah tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman
Allah, yang artinya : “… Dan Kami turunkan Alquran
kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan.” [QS. An-Nahl : 44].
Rasulullah bersabda yang artinya : “ Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Alquran dan yang seperti Alquran
bersama-sama.” [HR. Abu Daud].
Berikut beberapa contoh Tafsirul ayat bil hadits :
1. Ayat yang artinya : “ Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (
Syurga) dan tambahannya.” [QS.Yunus : 26].
Tambahan di sini menurut keterangan
Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda yang artinya
: “ Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka
dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang di
berikan kepada mereka. “ kemudian Beliau membaca ayat ini. [HR.Muslim].
2. Ketika turun ayat, yang
artinya : “ Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukan iman mereka dengan kedzaliman …” [QS. Al-An’am : 82]
Menurut Abdullah bin Mas’ud, para Sahabat
merasa keberatan karenanya. Kemudian mereka pun bertanya , “ Siapa di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya ya Rasul ?”
Beliau menjawab, “ Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kedzaliman di ayat
itu adalah Syirik. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada putranya yang
artinya : “ Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan
Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh kedzaliman yang sangatlah besar.” [HR.
Muslim].
Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan : Kedzaliman itu
urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut Syirik. Orang
yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
3. MEMAHAMI AYAT DENGAN PEMAHAMAN SAHABAT
Merujuk kepada penafsiran Sahabat terhadap
ayat-ayat Al Qur’an seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting
sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, disamping senantiasa
menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari Beliau. Berikut ini
contoh Tafsir dengan ucapan Sahabat, tentang ayat yang artinya : “ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.”
[QS. Thaha : 5].
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul
Baari berkata, Menurut Ibnu ‘Abbas dan para Ahli Tafsir lain, Istiwa itu maknanya Irtafa’a (naik
atau meninggi).
4. HARUS MENGETAHUI GRAMATIKA BAHASA ARAB
Tidak di ragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsirkan ayat-ayat
Alquran , mengetahui gramatika bahasa arab sangatlah penting. Karena Alquran
diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah yang artinya : “ Sungguh kami turunkan Alquran dengan bahasa Arab supaya kamu
memahami.” [QS. Yusuf : 2].
Tanpa mengetahui bahasa arab, tidak
mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Sebagai contoh ayat : Tsummas tawaa ilas samaa’i. makna Istiwa ini banyak
di perselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini
jelas penafsiran yang sangat keliru. Tidak sesuai dengan bahasa arab. Yang
benar, menurut pendapat para Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Istiwaa artinya ‘ala wa Irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati
dirinya denganAl-‘Ali (Maha Tinggi).
Anehnya banyak orang penganut faham
Mu’tazilah yang menafsiri lafadz Istawa dengan Istaula. Pemaknaan seperti ini
banyak tersebar di dalam kitab-kitab Tafsir, Tauhid dan ucapan-ucapan orang.
Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum
dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits yang shahih, perkataan para sahabat
dan para Tabi’in, mereka mengingkari bahasa Arab di mana Alquran diturunkan
dengan bahasa itu. Al Imam Ibnu Al Qayyim berkata,
Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan “Hitthotun” (bebaskan
kami dari dosa), tapi mereka rubah menjadi “Hinthotun” (biji gandum). Ini sama
dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan Istiwa dengan arti Istaula.
Contoh kedua, pentingnya bahasa arab dalam
menafsirkan suatu ayat, misalkan ayat yang artinya : “ Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah ( yang Haq ) melainkan
Allah…” [QS. Muhammad : 19].
Ilah artinya Al Ma’bud (
yang di sembah) maka kalimat Laa ilaaha Illallaah, artinya La Ma’buuda
illallaah (tidak ada yang patut di sembah kecuali Allah). Sesuatu yang di sembah
selain Allah itu banyak ; Orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk
Nashrani menyembah ‘Isa Al Masih, tidak sedikit dari kaum muslimin sangat di
sesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu kepadanya.
Padahal, dengan tegas Rasulullah berkata, Artinya :” Do’a itu ibadah.” [HR.Tirmidzi].
Karena sesuatu yang dijadikan sesembahan
oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat diatas harus ditambah
dengan kata Haq sehinggan maknanya menjadi Laa Ma’buuda
Haqqon Illallaah ( tidak ada sesembahan yang Haq kecuali Allah).Dengan begitu, semua
sesembahan-sesembahan yang bathil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk
dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya : “ Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang Haq. Dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil.” [QS.
Luqman : 30].
Dengan di artikannya makna Ilah menjadi Al
Ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan kaum muslimin yang berkeyakinan
bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggian Nya di atas ‘Arsy
dengan memakai dalil ayat berikut ini, yang artinya : “ Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di Bumi.” [QS. Az-Zukhruf :
84].
Sekiranya mereka mamahami arti Ilah dengan
benar, niscaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti
yang telah di terangkan di atas, Al Ilah itu artinya Al Ma’buud sehingga ayat
itu artinya menjadi : “ Dan Dialah Tuhan (yang disembah)
di langit dan Tuhan (yang disembah) di Bumi.”
Contoh ke tiga, pentingnya Gramatika
bahasa arab untuk supaya bisa menafsirkan ayat dengan benar, ialah mengetahui
ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan namun ditaruh di akhir
kalimat. Sebagai contoh, Firman Allah : “ Iyyaaka
na’budu wa Iyyaaka nasta’in.” Artinya : “Hanya kepadaMu
kami menyembah dan hanya kepadaMu pula kami memohon pertolongan.” [QS Al
Fatihah : 5].
Di dahulukan kata Iyyaaka atas kata kerja
Na’budu dan Nasta’in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya
menjadi Laa Na’budu illa iyyaaka walaa
nasta’iinu illa bika yaa Allah, wanakhusshuka bil ‘ibaadah wal ‘Isti’aanah
wahdaka. ( kami tidak menyembah siapa pun kecuali hanya kepada-Mu. Kami tidak
memohon pertolongan kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah. Dan hanya kepada-Mu saja
kami memohon beribadah serta memohon pertolongan).
5. MEMAHAMI NASH AL QUR’AN DENGAN ASBABUN NUZUL
Mengetahui Asbabun Nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat
membantu sekali dalam memahami Alquran dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya : “ katakanlah : panggilah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan)
selain Allah, mereka tidak akan meiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya
darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga
mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara meraka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan Rahmat-Nya, serta takut akan Adzb-Nya. Karena
adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.” [QS.Al-Israa’ :56-57].
Ibnu Mas’ud berkata : Segolongan manusia ada yang menyembah segolongan Jin, lantas
sekelompok Jin utu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan
peribadahannya, maka turunlah ayat “ Orang-orang yang mereka seru itu juga
mencari jalan kepada Tuhan Mereka [Muttafaqun’Alaihi].
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul
kepada para Nabi atau para Wali. Namun, sekiranya orang-orang itu bertawassul
kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para Nabi atau Wali, maka Tawassul
semacam ini di bolehkan.
Wallahu’alam bis Showab
Maraji’ : Kaifa Nafhamul
Qur’an, oleh : Muhammad ibnu Jamil Zainu
0 komentar:
Posting Komentar