Masjid Demak
Alhamdulillah berikut kami hadirkan rekaman kajian umum
“Tabligh Akbar Ramadhan 1433H” bersama Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal
Abidin, Lc diselenggarakan di Masjid Jami’ Amar Ma’rufBulak Kapal, Bekasi Timur. Pada
hari Ahad, 9 Ramadhan 1433H / 29 Juli 2012 kemarin.
Tema yang disampikan ” Bersikap Bijak Pada Ajaran Wali Songo “ (Merujuk
kitab “Kropak Farara” buah pena Sunan Bonang).
Carut Marut Hikayat Walisongo
Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh
penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah
dalam sistim dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa
Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku
sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi
berikutnya.
Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan,
bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7
Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581 M], wafat [632
M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman
Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam
selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di
Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara
pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga
penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah individu walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak
hanya nuansa mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi juga
penuh dengan berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua
hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru
menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan
ajaran islam di Indonesia?
Sebagai umat Islam tentu saja kita harus
mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil hikmah yang
sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan sumber yang
benar.
Berikut adalah dokumen-dokumen yang
dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo;
1. “Het book van Bonang”,
buku ini ada di perpustakaan Heiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen
langka dari jaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang
amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15
yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam.
2. “Suluk Linglung”,
buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya
Imam Anom yang banyak beredar.
3. “Kropak Farara”,
buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof.Dr. GJW
Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa
Indonesia.
4. “Kitab Walisana”,
kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa
peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah walisongo memang masih
kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk
menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama
sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan Abu Khalid; Widji
Saksono,1995].
Anggota walisongo merupakan orang-orang
pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali
berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT
karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama
Islam ke segala penuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer
untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut
keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam kitab Kanzul Ulum karya IBNUL BATHUTHAH yang masih tersimpan di perpustakaan istana
kasultanan Ottoman di Istambul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali
dilakukan oleh sultan Turki, MUHAMMAD I yang menerima laporan dari para
saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemelukm agama Islam masih
sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sulatn MUHAMMAD I membentuk sebuah
tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu :
1. MAULANA MALIK IBRAHIM,
berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan
2. MAULANA ISHAQ, berasal dari Samarkan ahli pengobatan
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO, berasal dari Mesir
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI, berasal dari Maroko
5. MAULANA MALIK ISRO’IL, berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR, berasal dari Iran, ahli pengobatan
7. MAULANA HASANUDDIN, dari Palestina
8. Maulana ALIYUDDIN, dari Palestina
9. Syekh SUBAKIR, dari Iran, ahli kemasyarakatan
2. MAULANA ISHAQ, berasal dari Samarkan ahli pengobatan
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO, berasal dari Mesir
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI, berasal dari Maroko
5. MAULANA MALIK ISRO’IL, berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR, berasal dari Iran, ahli pengobatan
7. MAULANA HASANUDDIN, dari Palestina
8. Maulana ALIYUDDIN, dari Palestina
9. Syekh SUBAKIR, dari Iran, ahli kemasyarakatan
Inilah walisongo angkatan pertama yang
datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena Majapahit sendiri pada saat
itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang paregreg, sehingga kedatangan
mereka tidak begitu mendapat perhatian. Perlu diketahui bahwa tim pertama
tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka belum
mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah menyebut tim
tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo berasal dari
masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa pulh tahun.
Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi dari
kalangan bangsawan yang masuk kedalam tim.
Karena Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua
walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang
penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAHdari
Champa yang juga keponakan MAULANA ISHAK.
Beliau adalah anak IBRAHIM ASMARAKANDIyang menjadi menantu Sultan
Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN RAHMAT adalah keputusan yang sangat tepat, karena
Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam] dan
putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden
Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap
agar Prabu KertaWijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak
menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu
KertaWijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom
pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih kerabat istana, maka Raden
Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan
markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat dikenal dengan nama
SUNAN AMPEL. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di
pulau jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu Raden SANTRI ALIdan ALIM ABU HURAIRAH serta
40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim
di Gresik dan dikenal dengan SUNAN GRESIK dan SUNAN MAJAGUNG. Dengan kedatangan Raden Rahmat,
maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kedua.
Pada tahun 1435 ada dua orang wali yang
wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan meninggalnya
dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada Sultan Turki [tahun 1421
Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan MURAD II, yang
memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua orang
pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun
1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1. SAYYID JA`FAR SHODIQ,
berasal dari Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan
nama SUNAN KUDUS. Dalam buku Babad Demak karya Atmodarminto {2001, disebutkan
bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling
menguasai Ilmu Fiqih.
2. SYARIF HIDAYATULLAH,
berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad
Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa tahun}, Syarif
Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara
Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah
bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama SUNAN GUNUNG JATI.
Dengan kedatangan wali muda tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan ketiga.
Nampak dari informasi diatas bahwa ada tiga wali muda yang tentu mempunyai
kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan sebelumnya.
Pada tahun 1462 dua orang anggota walisongo
wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua
orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu Syekh Subakir pulang ke
Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai.
Dalam sidang walisongo di Ampeldento,
diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo, yaitu:
1. Raden MAKHDUM IBRAHIM,
putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal
dengan nama SUNAN MBONANG.
2. Raden QOSIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan namaSUNAN DRAJAT.
3. Raden PAKU, putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
4. Raden Mas SAID, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
2. Raden QOSIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan namaSUNAN DRAJAT.
3. Raden PAKU, putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
4. Raden Mas SAID, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan keempat. Dalam
dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua orang yang bersal dari
angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah bertugas di tanah Jawa
selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad Jumadil Qubro yang
meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi [tidak diketahui
tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana disebutkan bahwa pada saat Raden FATAH menghadapi SYEKH SITI JENAR,
Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa
beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.
Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan
keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra bangsawan pribumi.
Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran islam mulai berubah dari Arab Sentris
menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo mulai terbelah
antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali pada saat itu pula muncul istilah
Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II pun yang ditulis
pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan meninggalnya dua orang wali yang
paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang memutuskan memasukkan
anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia lanjut. Ketua dewan
yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI,
sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
1. Raden FATAH,
putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
2. FATHULLAH KHAN, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
2. FATHULLAH KHAN, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kelima.
Setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan
Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi dalam tubu dewan
walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser karena usianya
lang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah Khan yang
memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi oleh :
1. Raden UMAR SAID,
putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai SUNAN MURIA.
2. Sunan PANDANARAN, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo, barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
2. Sunan PANDANARAN, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo, barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah masa walisongo angkatan keenam, masih
banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali, namun kapan mereka itu
diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan keterangan yang dapat
dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak diragukan. Mereka itu
misalnya SYEKH SITI JENAR, Sunan GESENG, sunan NGUDUNG, Sunan PADUSAN,Sunan KALINYAMAT, Sunan MURYAPODO, dan ada beberapa orang yang juga
dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging.
E.A. Indrayana
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Pustaka :
o Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam
Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009) Selesai.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009) Selesai.
Sedikit ulasan tentang “Kropak Ferrara” yang menjadi rujukan Ustadz Zainal pada
tabligh akbar ini. Kropak Ferrara adalah dokumen yang disimpan di museum ‘Marquis Cristino Bevilacqua’ di
kota Ferrara Italia, terdiri dari 23 lembar daun lontar
ditulis dalam huruf Jawa Kuno, berisi catatan sarasehan ‘walisongo’.
Daun lontar tersebut ditemukan oleh misionaris Katholik Roma pada tahun 1598 di
kota Pasuruan. Diterjemahkan kedalam bahasa Belanda olehProf.Dr. GJW Drewes tahun
1978 dan diterjemahkan oleh Asnan Wahyudi ke
dalam bahasa Indonesia tahun 2002. Wallahu
a’lam
Silahkan download rekaman kajiannya pada link
berikut:
Semoga bermanfaat!
0 komentar:
Posting Komentar