Di manakah Allah? Bisakah kita bertemu dengan Allah pada hari hisab?
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Dalil-dalil syariat dari kitab dan sunnah Nabi telah menunjukkan bahwa Allah Subhana wa Ta'ala berada di atas langit-Nya, bersemayam di atas Arsy-Nya dengan cara bersemayam yang layak bagi kemuliaan dan keagungan-Nya, sebagaimana Allah berfirman:
"Allah yang Rahman, Istiwa (bersemayam) di atas Arsy."
Untuk lebih rinci lihat lagi pertanyaan no. 992.
Adapun tentang pertemuan dan melihat Allah, maka pertemuan dengan Allah akan terjadi setelah mati pada hari kiamat. Demikian pula dengan melihat-Nya tidak akan terjadi, kecuali pada hari kiamat.
Adapun pertemuan dengan Allah yang terjadi setelah mati, maka hal ini diterangkan dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari: Bab siapa yang mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya.
Dari Ubadah bin Shamit dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam, beliau berkata:
"Barangsiapa yang mencintai pertemuan dengan Allah, Allah pun mencintai pertemua dengannya, dan barangsiapa yang membenci pertemuan dengan Allah, Allah pun membenci pertemuan dengannya." Maka berkatalah Aisyah atau salah seorang istrinya: "Kita semua membenci kematian." Beliau menjawab: "Bukan begitu, akan tetapi seorang mukmin apabila akan didatangi oleh kematian, dia akan digembirakan dengan keridhaan Allah dan kemulian-Nya, maka tidak ada sesuatupun yang lebih dia cintai daripada masa depannya, lalu dia pun mencintai pertemuan dengan Allah dan Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Adapun orang kafir apabila dia akan didatangi kematian, dia diberi kabar tentang adzab Allah dan siksanya, maka tidak ada yang lebih dia benci dibandingkan masa depannya, maka dia pun membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun membenci pertemuan dengannya." (HR. Bukhari 6026)
Sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam:
"Maka tidak ada sesuatupun yang lebih dicintai daripada masa depannya,"
maksudnya: masa depan setelah mati.
Imam Muslim dan An-Nasa'i telah mengeluarkan hadits dari jalan Syuraih bin Hani', dia berkata: "Maka aku mendatangi Aisyah, lalu aku berkata aku mendengar sebuah hadits, bila hal itu benar, maka binasalah kita, lalu dia menyebutkan dengan berkata: "Tak ada seorangpun dari kita, kecuali pasti membenci kematian," maka berkatalah Aisyah: "(Hadits ini maksudnya) bukanlah seperti yang kamu fahami, tetapi (maksudnya) bila mata sudah terbelalak, dada sudah tersengal, dan kulit sudah merinding, hal-hal tersebut terjadi ketika sekarat."
Al-Khathabi berkata: "Bertemu punya beberapa arti. Di antaranya melihat, atau bangkit, seperti firman Allah,
"Orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah."
Makna lainnya adalah 'kematian', seperti firman Allah,
"Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Allah, maka waktu pertemuan Allah itu pasti datang."
Dan firman-Nya:
"Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, pasti akan menemuimu."
Dan pertemuan dengan Allah dalam hadits tersebut bukanlah kematian, berdasarkan dalil hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam dalam riwayat lain, "Mati bukanlah pertemuan dengan Allah." Akan tetapi karena kematian merupakan jalan menuju pertemuan dengan Allah, maka mati sering diungkapkan "bertemu dengan Allah."
Berkata Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, "Maksud hadits ini bukanlah membenci kematian dengan kedahsyatannya, karena hal tersebut hampir-hampir dirasakan oleh semua orang, akan tetapi yang tercela dari hal itu adalah mengutamakan dunia dan cenderung kepadanya serta membenci berpindah menuju Allah dan negeri akhirat."
Beliau berkata lagi: "Di antara hal yang menjelaskan tersebut adalah bahwa Allah Ta'ala mencela satu kaum yang mencintai dunia .
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan ridha dengan kehidupan dunia dan merasa tenang dengan dunia…"
An-Nawawi berkata: "Makna hadits ini adalah bahwa cinta dan benci menurut syari'at adalah yang teralami pada waktu sekarat pada saat tidak diterima lagi taubat, ketika dibuka dan ditampakkan bagi orang yang sekarat apa-apa yang akan dialaminya. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa membenci kematian pada waktu sehat harus dirinci. Maka barangsiapa yang membenci kematian karena lebih mengutamakan kehidupan dibanding memperhatikan nasib setelah mati berupa kenikmatan akhirat maka dia tercela. Dan barangsiapa yang membenci kematian karena takut mendapat siksa karena merasa amalnya kurang dan belum mempersiapkan bekal untuk itu, dalam arti belum menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, belum melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diwajibkan, maka orang seperti ini ma'dzur (dimaafkan), tetapi bagi orang seperti ini harus segera menyiapkan bekal sehingga ketika kematian mendatanginya, dia tidak membenci kematian itu, bahkan mencintainya karena mengharapkan pertemuan dengan Allah setelah itu. Di dalam hadits ini kita tahu bahwa Allah Ta'ala tidak akan terlihat oleh seorang pun dari kalangan orang-orang yang masih hidup. Hal itu (melihat Allah) hanya akan teralami oleh orang mukmin setelah mati, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam:
"Kematian itu bukan pertemuan dengan Allah."
Adalagi hadits yang lebih jelas dari hal ini, yaitu di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Usamah secara marfu' dalam hadits yang panjang.
Di dalamnya dikatakan:
"Ketahuilah, bahwa kalian tidak akan melihat Rabb kalian (Allah) sampai kalian mati."
Adapun bertemu dan melihat Allah pada hari kimat, maka hal didasarkan pada banyak dalil.
Di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, karena mereka melihat kepada Rabb mereka." (Al-Qiyamah: 22-23)
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa manusia berkata:
"Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?" Beliau menjawab: "Apakah kalian berdesak-desakan ketika melihat bulan pada malam purnama di saat tidak ada awan di bawahnya?" Mereka menjawab: "Tidak, ya Rasulullah?" Beliau berkata: "Apakah kalian pun berdesak-desakan ketika melihat matahari di saat tidak ada awan?" Mereka menjawab: "Tidak." Beliau berkata: "Maka sesungguhnya kalian akan melihat-Nya seperti itu." (HR. Bukhari 764).
Kita mohon kepada Allah agar Dia menemui kita dalam keadaan Dia ridha kepada kita dan semoga shalawat tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
Dalil-dalil syariat dari kitab dan sunnah Nabi telah menunjukkan bahwa Allah Subhana wa Ta'ala berada di atas langit-Nya, bersemayam di atas Arsy-Nya dengan cara bersemayam yang layak bagi kemuliaan dan keagungan-Nya, sebagaimana Allah berfirman:
"Allah yang Rahman, Istiwa (bersemayam) di atas Arsy."
Untuk lebih rinci lihat lagi pertanyaan no. 992.
Adapun tentang pertemuan dan melihat Allah, maka pertemuan dengan Allah akan terjadi setelah mati pada hari kiamat. Demikian pula dengan melihat-Nya tidak akan terjadi, kecuali pada hari kiamat.
Adapun pertemuan dengan Allah yang terjadi setelah mati, maka hal ini diterangkan dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari: Bab siapa yang mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya.
Dari Ubadah bin Shamit dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam, beliau berkata:
"Barangsiapa yang mencintai pertemuan dengan Allah, Allah pun mencintai pertemua dengannya, dan barangsiapa yang membenci pertemuan dengan Allah, Allah pun membenci pertemuan dengannya." Maka berkatalah Aisyah atau salah seorang istrinya: "Kita semua membenci kematian." Beliau menjawab: "Bukan begitu, akan tetapi seorang mukmin apabila akan didatangi oleh kematian, dia akan digembirakan dengan keridhaan Allah dan kemulian-Nya, maka tidak ada sesuatupun yang lebih dia cintai daripada masa depannya, lalu dia pun mencintai pertemuan dengan Allah dan Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Adapun orang kafir apabila dia akan didatangi kematian, dia diberi kabar tentang adzab Allah dan siksanya, maka tidak ada yang lebih dia benci dibandingkan masa depannya, maka dia pun membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun membenci pertemuan dengannya." (HR. Bukhari 6026)
Sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam:
"Maka tidak ada sesuatupun yang lebih dicintai daripada masa depannya,"
maksudnya: masa depan setelah mati.
Imam Muslim dan An-Nasa'i telah mengeluarkan hadits dari jalan Syuraih bin Hani', dia berkata: "Maka aku mendatangi Aisyah, lalu aku berkata aku mendengar sebuah hadits, bila hal itu benar, maka binasalah kita, lalu dia menyebutkan dengan berkata: "Tak ada seorangpun dari kita, kecuali pasti membenci kematian," maka berkatalah Aisyah: "(Hadits ini maksudnya) bukanlah seperti yang kamu fahami, tetapi (maksudnya) bila mata sudah terbelalak, dada sudah tersengal, dan kulit sudah merinding, hal-hal tersebut terjadi ketika sekarat."
Al-Khathabi berkata: "Bertemu punya beberapa arti. Di antaranya melihat, atau bangkit, seperti firman Allah,
"Orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah."
Makna lainnya adalah 'kematian', seperti firman Allah,
"Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Allah, maka waktu pertemuan Allah itu pasti datang."
Dan firman-Nya:
"Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, pasti akan menemuimu."
Dan pertemuan dengan Allah dalam hadits tersebut bukanlah kematian, berdasarkan dalil hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam dalam riwayat lain, "Mati bukanlah pertemuan dengan Allah." Akan tetapi karena kematian merupakan jalan menuju pertemuan dengan Allah, maka mati sering diungkapkan "bertemu dengan Allah."
Berkata Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, "Maksud hadits ini bukanlah membenci kematian dengan kedahsyatannya, karena hal tersebut hampir-hampir dirasakan oleh semua orang, akan tetapi yang tercela dari hal itu adalah mengutamakan dunia dan cenderung kepadanya serta membenci berpindah menuju Allah dan negeri akhirat."
Beliau berkata lagi: "Di antara hal yang menjelaskan tersebut adalah bahwa Allah Ta'ala mencela satu kaum yang mencintai dunia .
Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan ridha dengan kehidupan dunia dan merasa tenang dengan dunia…"
An-Nawawi berkata: "Makna hadits ini adalah bahwa cinta dan benci menurut syari'at adalah yang teralami pada waktu sekarat pada saat tidak diterima lagi taubat, ketika dibuka dan ditampakkan bagi orang yang sekarat apa-apa yang akan dialaminya. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa membenci kematian pada waktu sehat harus dirinci. Maka barangsiapa yang membenci kematian karena lebih mengutamakan kehidupan dibanding memperhatikan nasib setelah mati berupa kenikmatan akhirat maka dia tercela. Dan barangsiapa yang membenci kematian karena takut mendapat siksa karena merasa amalnya kurang dan belum mempersiapkan bekal untuk itu, dalam arti belum menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, belum melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diwajibkan, maka orang seperti ini ma'dzur (dimaafkan), tetapi bagi orang seperti ini harus segera menyiapkan bekal sehingga ketika kematian mendatanginya, dia tidak membenci kematian itu, bahkan mencintainya karena mengharapkan pertemuan dengan Allah setelah itu. Di dalam hadits ini kita tahu bahwa Allah Ta'ala tidak akan terlihat oleh seorang pun dari kalangan orang-orang yang masih hidup. Hal itu (melihat Allah) hanya akan teralami oleh orang mukmin setelah mati, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam:
"Kematian itu bukan pertemuan dengan Allah."
Adalagi hadits yang lebih jelas dari hal ini, yaitu di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Usamah secara marfu' dalam hadits yang panjang.
Di dalamnya dikatakan:
"Ketahuilah, bahwa kalian tidak akan melihat Rabb kalian (Allah) sampai kalian mati."
Adapun bertemu dan melihat Allah pada hari kimat, maka hal didasarkan pada banyak dalil.
Di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, karena mereka melihat kepada Rabb mereka." (Al-Qiyamah: 22-23)
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa manusia berkata:
"Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?" Beliau menjawab: "Apakah kalian berdesak-desakan ketika melihat bulan pada malam purnama di saat tidak ada awan di bawahnya?" Mereka menjawab: "Tidak, ya Rasulullah?" Beliau berkata: "Apakah kalian pun berdesak-desakan ketika melihat matahari di saat tidak ada awan?" Mereka menjawab: "Tidak." Beliau berkata: "Maka sesungguhnya kalian akan melihat-Nya seperti itu." (HR. Bukhari 764).
Kita mohon kepada Allah agar Dia menemui kita dalam keadaan Dia ridha kepada kita dan semoga shalawat tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasalam.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
0 komentar:
Posting Komentar