Khalifah Umar bin Khaththab
memperhatikan tiga laki-laki yang berada di masjid. Mereka nampak terus menerus
melakukan ibadah. Bahkan mereka rela tidak bekerja mencari nafkah demi dapat
terus beribadah di masjid. Menyaksikan pemandangan yang janggal tersebut, Umar
pun bertanya kepada mereka satu persatu, ”Dari mana engkau makan?” Maka,
laki-laki yang ditanya menjawab bahwa ia adalah hamba Allah, dan Allah-lah yang
bakal memberi rezeki untuknya.
Umar pun meninggalkan laki-laki pertama dan beralih kepada yang
lain dengan pertanyaan serupa. Maka yang ditanya pun menjawab bahwa ia memiliki
saudara yang mencari kayu bakar di gunung. Kayu itu kemudian dijual untuk makan
dan mencukupi kebutuhan dirinya. Umar pun menjawab, ”Saudaramu itu lebih banyak
ibadahnya daripada kamu.”
Selanjutnya, Umar bertanya kepada laki-laki yang ketiga dengan
pertanyaan serupa, ”Sesungguhnya manusia melihatku dan mendatangiku untuk
mencukupi kebutuhanku.” Umar segera memukulnya dan mengatakan, ”Keluarlah ke
pasar!”
Dari peristiwa di atas, kita memperoleh kejelasan mengenai
pandangan Umar yang tidak setuju dengan mereka yang sibuk melakukan ibadah,
namun justru membebani orang lain secara finansial. Ini juga selaras dengan
periwayatan lainnya, dimana Umar menyeru kepada mereka yang mengkhususkan diri
belajar al-Qur`an untuk mandiri secara finansial, ”Wahai para pembaca
al-Qur`an, tegakkan kepala kalian. Berdaganglah, telah jelas jalannya dan
janganlah kalian membebani manusia.” (Riwayat Ibnu Abi Dunya)
Tidak Bekerja Bukan Tawakkal
Umar juga menolak argumen mereka yang tidak bekerja, bahwa mereka melakukan itu karena tawakkal kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, suatu saat Umar bertemu dengan sekelompok kaum hingga beliau bertanya kepada mereka mengapa tidak bekerja. Mereka menjawab, ”Kami adalah orang-orang yang bertawakkal.” Mendengar jawaban itu Umar menjelaskan, ”Maukah kalian kuberitahu siapa yang bertwakkal? Sesungguhnya orang yang bertawakkal adalah laki-laki yang menaburkan benih di bumi, kemudian ia bertawakkal kepada Rabb-nya.”
Umar juga menolak argumen mereka yang tidak bekerja, bahwa mereka melakukan itu karena tawakkal kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, suatu saat Umar bertemu dengan sekelompok kaum hingga beliau bertanya kepada mereka mengapa tidak bekerja. Mereka menjawab, ”Kami adalah orang-orang yang bertawakkal.” Mendengar jawaban itu Umar menjelaskan, ”Maukah kalian kuberitahu siapa yang bertwakkal? Sesungguhnya orang yang bertawakkal adalah laki-laki yang menaburkan benih di bumi, kemudian ia bertawakkal kepada Rabb-nya.”
Tidak hanya mendorong umat untuk mandiri secara finansial,
bahkan lebih dari itu, mencari nafkah menurut Umar merupakan salah satu bentuk
amalan fi sabilillah. Umar menyatakan, ”Setelah Allah menjadikan seorang mati
terbunuh di jalan Allah, tidak ada yang lebih aku cintai daripada aku meninggal
dalam perjalanan untuk mencari rezeki di bumi dari kemurahan Allah.” (Riwayat
Ibnu Abi Dunya)
Tidak cukup hanya mendorong dengan nasihat, dalam Thabaqat Ibnu
Sa’ad, Umar juga ikut aktif dalam membantu umat yang memiliki keinginan untuk
mengembangkan produk. Kala itu di Bashrah ada seorang yang disebut Abu
Abdullah. Dia adalah orang pertama yang menggembala kuda di tanah terbuka di
negeri itu. Umar yang mengetahui pekerjaan Abdullah itu lalu mengirim surat
kepada Gubernur Bashrah, Abu Musa Al- As-Asy’ari agar membantu usaha Abdullah.
Umar juga berpesan kepada Abu Musa agar memperlakukan laki-laki itu dengan
baik.
Kisah lainnya juga menunjukkan bahwa Umar memiliki perhatian
yang besar terhadap aktivitas produksi. Dikisahkan bahwa suatu saat Umar
melakukan perjalanan ke Ar-Rauha’, sebuah wilayah antara Makkah dan Madinah.
Umar pun bertemu dengan seorang penggembala di gunung, hingga akhirnya beliau
membelokkan arah kendaraannya menuju si penggembala dan menyeru, ”Aku telah
melewati tempat yang rumputnya lebih lebat daripada tempatmu itu. Dan
sesungguhnya penggembala bertanggungjawab atas hewan gembalanya.” Kemudian
beliau melanjutkan perjalanan.
Bahkan diriwayat lainnya Umar terjun langsung ikut membantu
rakyatnya bercocok tanam. Disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’ A-l
Kabir bahwa suatu saat Umar mendapati Khuzaimah bin Tsabit tidak menggarap
lahannya, ”Apa yang menghalangimu menanam ladangmu?” Khuzaimah menyatakan bahwa
ia sudah tua dan umurnya tidak akan panjang lagi. Maka Umar menjawab, ”Kuatkan
tekad untuk menanaminya!” Umar lalu ikut membatu Khuzaimah bercocok tanam.
Pemerintah Mempermudah Pedagang
Kemudahan lainnya juga dinikmati para pedagang di masa itu, dimana mereka bebas berdagang di wilayah Islam dan tidak memungut pajak dari mereka. Umar sendiri memerintahkan kepada para pejabatnya agar tidak melakukan pemeriksaan terhadap para pedagang sebagaimana tercatat dalam Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Kemudahan lainnya juga dinikmati para pedagang di masa itu, dimana mereka bebas berdagang di wilayah Islam dan tidak memungut pajak dari mereka. Umar sendiri memerintahkan kepada para pejabatnya agar tidak melakukan pemeriksaan terhadap para pedagang sebagaimana tercatat dalam Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Umar juga memperhatikan usaha yang dilakukan kaum lemah, hingga
mereka bisa mandiri secara ekonomi. Ini terlihat dari tindakan beliau yang
memutuskan untuk memberi hutang dari baitul maal kepada Hindun binti Utbah yang
baru dicerai suaminya, sebagai modal untuk usaha.
Perhatian Umar terhadap pengembangan kegiatan ekonomi umat juga
tercermin dari kebijakan beliau yang memerintahkan kepada pasukan untuk memilih
tempat untuk pendirian pasar, sebagaimana disebutkan Imam At-Thabari dalam
Tarikh Umam wa Al-Mulk.
Demikian pula disebutkan Ibnu Abdi Al-Hakam dalam Al-Futuh
Al-Mishr bahwa Umar juga memerintahkan Amru bin Ash, selaku Gubernur Mesir
untuk mendirikan pasar bagi umat Islam. Dan siapa saja bisa melakukan aktivitas
jual-beli di pasar dengan bebas dan tanpa diskriminasi. Umar menyatakan, ”Bagi
pasar-pasar berlaku tradisi masjid. Barang siapa datang dahulu, ia berhak
memililh tempat yang ia sukai, hingga ia pulang ke rumahnya atau selesai
berjualan.”
Disamping mendorong umat untuk produktif, Umar juga tidak lupa
untuk mendorong mereka memahami hukum fiqih dalam bidang itu. Hingga dalam
bermuamalah, umat terhindar dari perkara yang bertentangan dengan syariat.
Diriwayatkan oleh Abdu Ar-Razzaq, ada sekelompok orang yang ikut aktif di
pasar, sedangkan mereka baru masuk Islam dan belum memahami masalah fiqih. Maka
Umar memerintahkan untuk mengeluarkan mereka. *Thoriq/Suara Hidayatullah
JANUARI 2012
0 komentar:
Posting Komentar