Pesawat Super Jet-100 SUKHOI Yang Jatuh di Gunung Salak (Foto:Tribune)
(Oleh: Ustadz Abdullâh bin Taslîm
Al-Buthoni)
Sebagai hamba Allâh Ta'ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini
tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun
kesenangan. Hal itu merupakansunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.
Allâh Ta'ala berfirman:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya),
dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan (Qs al-Anbiyâ’/21:35)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang
dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur
dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.[1]
KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN BERTAKWA KEPADA
ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha
Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan
hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah
seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.
Allâh Ta'ala berfirman:
Hai orang-orang beriman, penuhilah
seruan Allâh dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang
memberi (kemaslahatan)[2] hidup bagimu (Qs al-Anfâl/8:24)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan
yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan
Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Maka, barang siapa tidak
memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik) meskipun fisiknya hidup,
sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah
kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallâhu
'Alaihi Wasallam secara lahir maupun batin”[3].
Allâh Ta'ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada
Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia)
sampai kepada waktu yang telah
ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang
yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)”(Qs Hûd/11:3)
yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)”(Qs Hûd/11:3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh
mengatakan:
“Dalam ayat-ayat ini Allâh Ta'alamenyebutkan bahwa Dia akan memberikan
balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan
(kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat. [4]
SIKAP SEORANG MUKMIN DALAM MENGHADAPI
MASALAH
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta'ala, memiliki
kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya
di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa.
Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta'ala membuat dia yakin
bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'ala berlakukan untuk dirinya maka itulah
yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâh Ta'ala akan memberikan balasan kebaikan
baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan
oleh Allâh Ta'ala dalam firman-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang
menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang
beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam)
hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah
tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta'ala, kemudian dia bersabar dan
mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta'ala), disertai (perasaan) tunduk
berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta'ala tersebut, maka Allâh Ta'ala akan
memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang
menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa
jadi Allâh Ta'ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang
lebih baik baginya.”[5]
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang
menimpanya.
Meskipun Allâh Ta'ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan
bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun
orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh
Ta'ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin
meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh
mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam
(menjalankan agama) Allâh Ta'ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb(mengharapkan
pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka
miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah
tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan)
tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah
tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun
mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran
hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).
Sungguh Allâh Ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang
artinya:
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu
menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula),
sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak
mereka harapkan”
(Qs an-Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan
tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan
kedekatan dengan Allâh Ta'ala."[6]
HIKMAH COBAAN
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan
semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan
menghayati hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta'ala jadikan dalam setiap ketentuan
yang terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi
hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan
yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk
menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh
Ta'ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan
membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka)
kepada Allâh Ta'ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap ini, Allâh Ta'ala akan semakin melipatgandakan balasan
kebaikan baginya, karena Allâh Ta'ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan
persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah
hadits qudsi yang artinya:
1.Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat
pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada
hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan
maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan
derajatnya di sisi Allâh Ta'ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan
penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan
kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta'ala[9]
2.Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk
menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya,
karena Allâh Ta'alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya
dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]
Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa)
kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia
mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya,
dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan
baginya.”[11]
Allâh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk
menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh
Ta'ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah
keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh
Ta'ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal
abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga
kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia,
maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya
akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12]
Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam :
3.”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang
melakukan perjalanan.”[13]
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku)
sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.[7]
Maknanya: Allâh Ta'ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan
persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya
sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba
tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta'ala.[8]
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
PENUTUP
Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim
rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal
jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah
ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya
seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta'ala takdirkan bagi
dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“Dan Allâh Ta'ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat
seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah
rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari
kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi
dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta'ala), yang
berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh
beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang
paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta
paling tenang jiwanya.
Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang
beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa
perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami)
prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami
(segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).
Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat)
beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti
dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]
(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)
0 komentar:
Posting Komentar