Al-Hamdulillah, segala piji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
keluarga dan para sahabatnya.
Setiap mukmin wajib cinta kepada Tuhannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia juga wajib
mengharapkan kecintaan dari-Nya. dan ini yang lebih penting.
Dia juga wajib yakin, hari perjumpaan dengan-Nya pasti adanya.
Yakni saat Allah memberikan balasan dari amal-amal perbuatan hamba-Nya sesudah
mereka dibangkitkan dari kuburnya. Karenanya, ia senantiasa menyiapkan segala
sesuatunya untuk perjumpaan tersebut.
"Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahfi: 110)
Maksudnya: Siapa yang berharap pahala dari Allah dan balasan baik
saat berjumpa dengan Allah Ta'ala di akhriat, maka hendaknya ia beramal yang
shalih, yaitu: amal yang sesuai dengan syariat Allah.
Syaratnya lagi, dalam beramal shalih tersebut ia hanya berharap
wajah Allah Ta'ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Keduanya ini, menurut
Ibnu Katsir, adalah rukun amal yang diterima.
Amal tersebut haruslah ikhlas untuk Allah dan benar sesuai syariat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam. (lihat
Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas).
. . . Rukun
amal yang diterima: Amal tersebut haruslah ikhlas untuk Allah dan benar sesuai
syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam. (Ibnu Katsir)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda,
"Siapa suka berjumpa dengan
Allah, maka Allah suka berjumpa dengan-Nya. dan siapa yang benci dengan Allah
maka Allah benci berjumpa dengannya." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullah berkata,
"Seorang mukmin meyakini apa yang Allah janjikan di surga bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman berupa ganjaran yang besar serta karunia yang
luas, maka iapun mencintai hal ini, dan jadilah dunia terasa ringan baginya dan
ia tidak perduli kepada dunia karena ia akan berpindah kepada surga yang lebih
baik dari dunia.
Tatkala itu iapun rindu bertemu dengan Allah, terutama tatkala
datang ajal, iapun diberi kabar gembira dengan keridhaan dan rahmat Allah,
iapun rindu berjumpa dengan Allah." (Syarah Riyaad Al-Shalihin)
Maka diantara doa Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam adalah
"Dan aku memohon kepadaMu
keledzatan memandang wajahMu, dan kerinduan untuk berjumpa denganMu."
(HR An-Nasaai, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Namun sebaliknya, orang yang lalai dari akhirat dan tidak berharap
pahala Allah saat perjumpaan dengan-Nya, ia disibukan dengan dunia dan puas
dengannya, maka Allah juga tidak suka berjumpa dengannya, tidak sudi memberikan
ampunan dan rahmat kepadanya. Allah Ta'ala menerangkan orang-orang semacam ini
dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya orang-orang
yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa
puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang
selalu mereka kerjakan." (QS. Yunus: 7)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Firman Allah Ta'ala ini mengabarkan tentang keadaan orang-orang celaka,
yaitu mereka yang kufur (ingkar) terhadap perjumpaan dengan Allah pada hari
kiamat. Tidak berharap apapun dalam perjumpaan itu. Mereka puas dengan
kehidupan dunia ini dan jiwa mereka merasa tentram terhadapnya."
Mereka itu adalah orang-orang yang tidak berharap perjumpaan
dengan Allah, bahkan berpaling darinya dan boleh jadi sampai mendustakannya.
Mereka puas dengan dunia sebagai ganti dari akhirat. Cenderung
kepada dunia dan menjadikannya sebagai tujuan hidupnya dan puncak dari cita-citanya.
Mereka mengusahakan apa saja untuk memperolehnya dan mati-matian untuk
merengguh kenikmatan dan kesenangannya dengan cara apapun.
Mereka curahkan segala obsesi, niat, pikiran dan tenaga untuknya.
Seolah-olah mereka diciptakan untuk kekal di dalamnya. Seolah-olah dunia bukan
tempat berlalu yang dijadikan tempat berbekal oleh para pemudik kepada negeri
kekekalan. (diringkaskan dari Tafsir Taisir al-Karim al-Rahman, Syaikh
Abdurrahman bin Nashir al-Sa'diy)
. . . orang
yang lalai dari akhirat dan tidak berharap pahala Allah saat perjumpaan
dengan-Nya, ia disibukan dengan dunia dan puas dengannya, maka Allah juga tidak
suka berjumpa dengannya, tidak sudi memberikan ampunan dan rahmat kepadanya. .
.
Nasib masing-masing golongan tersebut sudah dapat dirasakan saat
mereka menghadapi kematian. Orang-orang beriman yang yakin dan berharap
perjumpaan dengan Allah akan menghadapi kematian dengan kebahagiaan karena
mendapat kabar gembira dengan rahmat, keridhaan, kemuliaan, dan surga Allah
sesudah kematian.
Sebaliknya, orang-orang kafir terhadap hari perjumpaan tersebut
akan mendapat kabar buruk dengan murka dan siksa Allah yang dahsyat sehingga ia
sangat benci dengan kematian karena mengetahui apa yang akan diperolehnya
sesudah kematian.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu
'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam,
"Siapa suka berjumpa dengan
Allah, maka Allah suka berjumpa dengan-Nya. Dan siapa yang benci dengan Allah
maka Allah benci berjumpa dengannya."
Kemudian Aisyah menuturkan: "Aku
bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah itu maksudnya juga benci kematian, padahal
setiap kita membenci kematian? Lalu beliau menjawab, "Bukan seperti itu
maksudnya. Tetapi seorang mukmin apabila (menghadapi kematian) ia diberi kebar
gembira dengan rahmat Allah, keridhaan, dan surga-Nya sehingga ia suka berjumpa
dengan Allah lalu Allah suka berjumpa dengannya. Dan sesungguhnya orang kafir
apabila (menghadapi kematian) dengan siksa Allah dan kemurkaan-Nya maka Allah
ia benci berjumpa dengan allah dan Allah pun benci berjumpa
dengannya"." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam saat menghadapi kematian mengatakan, "Ya Allah aku memilih
teman tertinggi."
Menurut penuturan Aisyah, saat itu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sedang
diberi pilihan antara tetap hidup di dunia atau meninggal dan berjumpa dengan
Allah. Kemudian beliau memilih kematian karena mengutamakan akhirat daripada
dunia.
Lalu Al-Hafid Ibnul Hajar mengomentari, "Maka selayaknya meniru beliau dalam hal itu." Yakni
menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup dan lebih mengutamakannya atas dunia.
Wallahu Ta'ala A'lam. [Sumber: Badrul Tamam/voa-islam.com]
0 komentar:
Posting Komentar