Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun
Shalat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang
tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam
sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak
membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna
dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan
hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan
para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al
Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu
Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat
paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau
pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar
maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan
mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda,
“(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah
As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al
Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush
Shalihin cet.
Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan
Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
Artinya: “Aku berlindung
kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung
kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya
kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan
dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian
sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan
umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
“Demi kemuliaan-Mu
sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih
(yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan
demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali
orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz
(meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan
kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah
kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir
kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada
syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
“Dan jauhkanlah aku dan
anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini
menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam
hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang
yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia
ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh
Allah di dalam ayat yang artinya,
“Dan demikianlah Kami
jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan
manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain
ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112)
(Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul
‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
Artinya: “Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai
bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah
artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah
adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja
yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah
adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa
cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di
antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah
memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala
sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada
hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka
inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang
akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak
bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
Artinya: “Segala puji
bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah
karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya
yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.
Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang
diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi
dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian
semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian
yang sempurna.
Makna
dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing
dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai
macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki
kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin.
Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun
yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi
dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan
mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan
menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka
dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka
berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari
sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul
‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya
pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua
makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua
meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya.
Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang
mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
Artinya: “Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah.
Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama
yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada
Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al
A’raaf: 180)
Setiap
nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada
Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin
terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3)
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah
adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk.
Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi
penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun
Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah.
Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil
(penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil
yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan
keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh
sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka
menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah
akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta
para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang
tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al
Wasithiyah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu
ta’ala).
Allah
Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan
Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya
sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna
sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat
makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri
makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang
tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya
telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak
mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat
yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah
ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai
diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung
sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi
kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
Artinya: “Yang Menguasai
pada hari pembalasan.”
Maalik
adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk
memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga
yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka.
Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah
kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau
pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah
hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan
sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak
sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu
semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka
semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala
kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah
tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir
Rahman, hal.
39).
Makna Ayat Keempat
Artinya: “Hanya kepada-Mu
lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan
ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek
kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami
menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang
menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.
Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak
menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta
tolong kepada selain-Mu.
Ibadah
adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa
perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang
tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari
perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu
dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka
itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah
itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban,
bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari
pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan
dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata
isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum
isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum
sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah
ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau
pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu
merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia
adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak
ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah
hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas).
Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan
kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari
ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari
Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak
mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan
perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu
tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
Artinya: “Tunjukilah Kami
jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah,
bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim
yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan
jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada
Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran
dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan
tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah
menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan
meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus
ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam.
Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan
merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh
sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang
dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan
do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
Artinya: “Yaitu jalannya
orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para
pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan
ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang
diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik,
mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya,
selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai
tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang
akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam.
Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan
menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga
dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini
merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam
dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan
panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
Artinya: “Bukan jalannya
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang
yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak
mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan
orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara
kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan
semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada
kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan
kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan
menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat
yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang
tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al
Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan
ayat Rabbil
‘alamiin terkandung
makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal
perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di
dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid
uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan
sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya
sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah
mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu
benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang
berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak
maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain
itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash
shirathal mustaqiim. Sebab
jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada
bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya
amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid
diin. Karena
pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik
kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan,
karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat
ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan
terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini
oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang
benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa
sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash
shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan
penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun
penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu
memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna
keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata.
Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di
dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir
Rahman, hal.
40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat
paling agung di dalam Al Quran.
Ya
Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah
kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
***
Penyusun:
Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar