Banyak
orang mengeluh, berkeluh kesah dan sedih meratapi dirinya lantaran ia merasa
tidak seperti orang lain yang “sukses” di dunia ini.
Sehingga, ia merasa dunia begitu sempit dan tidak lagi menyisakan ruang
kebahagiaan. Rizki yang ia usahakan tak kunjung didapatkan sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan tidak cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kesejahteraan yang didambakan baginya baru sebatas mimpi dan
angan-angan yang entah akan tercapai atau tidak di masa mendatang …
Beban
mental yang ditanggung oleh kondisi emosional seperti ini tidak jarang
menimbulkan tekanan yang berujung pada pesimisme. Apalagi di saat angan-angan
melebihi batas kemampuan, manusia menjadi sangat rentan terserang stress hingga
berperilaku menyimpang. Tidak jarang, situasi itu membuat ia seolah menjustifikasi
pelanggaran. Ia merasa terjepit dan harus berbuat nekad demi memenuhi
keinginannya.
Perilaku
kriminal dan kasus amoral di masyarakat sering terjadi pada orang-orang yang
menginginkan kebahagian -menurut cara pandangnya, namun miskin kemampuan untuk
mendapatkannya dengan jalan yang halal. Akhirnya, rasa tanggungjawabnya sebagai
makhluk yang mulia pun terpaksa ia gadaikan demi kebahagian yang ia cari …
Sisi Lain Kehidupan
Berbeda
dari yang sebelumnya, di sisi kehidupan yang lain, ada manusia yang memang
Allah beri keluasan. Kesuksesannya dalam hidup yang serba materialis
memudahkannya untuk mewujudkan berbagai keinginan. Tanpa harus bersusah payah,
kesenangan demi kesenangannya ia lakukan. Tanpa perlu bekerja keras, keinginan
demi keinginannya ia puaskan.
Namun,
sayang sekali berjuta keinginan yang menjejali hatinya tidak pernah habis.
Alih-alih memberinya kepuasan, keinginan yang kerap ia turuti itu ternyata
malah kian mendesak-desak. Saat ia merasa kepuasan itu belum didapatkannya, ia
semakin berani berbuat apa saja.
Akibatnya,
kemampuan berpikir secara jernih dan kekuatan melihat kebaikan kian terkikis.
Ia tidak berdaya membendung perasaan yang telah dikuasai oleh nafsu ‘beringas’nya.
Tidak cukup dengan yang halal, ia tidak segan meluluskan keinginannya walau pun
harus melabrak batas-batas kehalalan. Akhirnya, kerusakan demi kerusakan
terjadi karena ulahnya yang terus mengikuti hawa nafsu. Allah berfirman,
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturut hawa nafsunya,
maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS
Maryam [19]: 59)
Bertahan dalam Arus Fitnah
Begitulah
kecenderungan manusia dalam lika-liku perjalanan mengisi hidupnya. Nilai
kebaikan (ibadah) yang menjadi tujuan manusia diciptakan, seringkali tergerus
budaya hawa nafsu yang menyesatkan, memupus kebaikan, membutakan mata hati,
merendahkan harga diri dan menelantarkan kebenaran. Apalagi ditengah arus
fitnah yang semakin kencang dan beragam godaan yang semakin banyak jumlahnya,
ketahanan untuk berpegang teguh pada prinsip kebenaran biasanya akan melemah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensinyalir,
“Sesungguhnya setelah
kalian ada zaman yang disebut zaman kesabaran, sabar pada zaman itu seperti
memegang bara api.” (HR.
Abu Daud)
Hanya
manusia yang dirahmati Allah yang akan tampil menjadi manusia kuat dan sabar,
mampu berjalan dengan perkasa melawan gelombang fitnah, menepis bisikan busuk
dan menghancurkan pilar-pilar kesesatan yang menghalanginya untuk sampai pada
kemuliaan. Dengan semangat iman, ia tidak mendambakan kehinaan yang dibungkus
dengan kebahagiaan sesaat. Dengan jiwa yang besar, ia tidak rela menjual
kemuliaannya demi secuil kesenangan yang terlihat menjanjikan. Sebab yang ia
harapkan adalah janji Allah, bukan janji hawa nafsunya yang hina. Sebab yang ia
inginkan adalah kebahagian ukhrawi, bukan kebahagiaan duniawi yang sementara.
Menikmati Karunia Allah dalam Batas yang
Halal
Allah
sama sekali tidak melarang manusia mencari kehidupan dunianya. Dunia tempat
manusia hidup adalah karunia yang Allah halalkan atas setiap hamba-hamba-Nya.
Nikmat yang sangat banyak dan keutamaan-Nya yang begitu melimpah itu merupakan
pemberian-Nya bagi manusia dan makhluk-makhluk lain yang telah diciptakan-Nya.
Allah menciptakan sekaligus memberikan rizki bagi kehidupan ciptaan-Nya.
“Dia-lah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.“ (Al-Baqarah:
29)
Allah
menciptakan apapun yang ada di bumi untuk manusia. Agar manusia dapat mengambil
manfaat darinya. Agar manusia dapat mempertahankan hidupnya. Agar manusia dapat
berfikir dan mengambil pelajaran bahwa semua itu adalah hujjah yang sangat
jelas atas keagungan Penciptanya. Untuk kemudian manusia mau menghambakan
dirinya hanya kepada sang Penciptanya itu, Allah ‘azza wa
jalla.
“Dan
Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Al-Jatsiah:
13)
Allah
pun menganjurkan manusia untuk tidak melupakan nasib dunianya. Pundi-pundi
keutamaan Allah di muka bumi itu boleh manusia cari dan nikmati. Syaratnya hal
itu dilakukan pada sesuatu yang tidak Allah haramkan dan dengan cara yang
halal. Syaratnya manusia juga bersyukur kepada Allah, karena tidak ada satu
nikmat pun di dunia ini melainkan dari Allah, Rabbul ‘alamin.
“Makan
dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di
muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS Al-Baqarah: 60)
Penting Untuk Direnungkan
Kemurahan
Allah yang begitu luas tersebut seharusnya membuat manusia semakin merasa
kerdil di hadapan-Nya. Jika Allah yang memberinya semua itu, patutkah kemudian
manusia durhaka kepada-Nya? beribadah kepada selain-Nya? pantaskah manusia
berlaku sombong? Berbuat sesuatu yang Allah haramkan? Melanggar
batasan-batasan-Nya?
Wallâhu ‘alam wa shallallâhu ‘alâ
nabiyyinâ Muhammad.
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa
Gunarsa, Lc (Alumni Universitas Al Azhar Mesir)
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar