Ada sebuah amalan doa
istighfar yg kami dengar, mengapa dinamakan sayyidul istighfar?
Jawab:
Bismillah was shalatu
was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dzikir sayyidul istighfar disebutkan dalam hadis dari Syaddad bin
Aus Radhiyallahu
anhu, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Sayidul Istighfâr (pemimpin istighfar) adalah
seseorang hamba mengucapkan,
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا
عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ
بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
ALLAHUMMA
ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA
WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA’TU ABÛ`U LAKA
BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ
DZUNÛBA ILLÂ ANTA
(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku
adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji
balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan
perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu,
maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyebutkan keutamaan sayyidul istighfar,
مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل
أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ
وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ
“Barangsiapa
mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari
itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya
di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi,
maka ia termasuk penghuni surga. (Muttafaq
alaih).
Mengapa Disebut Sayyidul Istighfar (istighfar terbaik)?
Dzikir ini disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidul istighfar,
yang artinya pemimpinnya istighfar. Dan yang namanya pemimpin, berarti dia
lebih unggul dibandingkan yang lainnya.
Imam al-Bukhari menyebutkan lafal
istighfar ini dalam judul bab di kitab shahihnya,
باب أَفْضَلِ الاِسْتِغْفَارِ
“Bab, Istighfar yang paling utama.”
Menunjukkan bahwa Imam Bukhari menilai
ini adalah lafazh Istighfar terbaik.
Jika kita perhatikan makna dari
istighfar ini, ada banyak ungkapan yang menunjukkan kerendahan diri kita di
hadapan Allah dan pengagungan kepada Allah semata. Kita merendahkan diri kita
sebagai hamba, dengan memuji Allah yang Maha Sempurna sifat-Nya.
Kita akan melihat lebih dekat,
[1] Allahumma anta rabbii, laa ilaaha illaa
anta, khalaqtanii
[اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ
خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ]
– Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada
tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah yang telah menciptakanku,
dan aku hamba-Mu…
Demikianlah kalimat pembuka dzikir ini…
dibuka dengan pengakuan bahwa kita adalah hamba, dan Allah yang menciptakan kita,
artinya Dialah yang memiliki kita dan mengatur kita. Hamba yang lemah sedang
menghadap kepada Pemiliknya, satu-satunya yang bisa mengampuni dosanya.
(Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’I, 8/280).
[2] Wa ana ‘ala ahdika wa wa’dika
mas-tatha’tu
[وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ]
“Aku menetapi perjanjian untuk taat
kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku”
Hamba yang lemah ini menyatakan bahwa
dirinya tetap setiap dengan janjinya kepada rabnya, janji untuk selalu tunduk dan
taat kepada-Nya, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, semaksimal
kemampuan hamba. Disertai keyakinan akan janji yang Allah berikan kepadanya,
bahwa siapa yang taat akan mendapatkan surga. Sehingga dia beribadah dengan
semangat husnudzan kepada Allah, bahwa Dia akan memberikan balasan atas
ketaatan hamba-Nya.
[3] A-‘udzu bika min syarri maa shana’tu
[أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ]
“Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan
perbuatanku.”
Hamba mengakui setiap maksiat dan
kedurhakaan murni karena kejahatan kita, artinya tidak kita nisbahkan kepada
yang lain, apalagi kepada Allah. Dan hamba menyadari setiap maksiat itu akan
mendatangkan keburukan baginya dunia dan akhirat, sehingga hamba hanya bisa
berlindung kepada Allah dari potensi keburukan itu.
[4] Abuu-u laka bi ni’matika ‘alayya
[أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ]
“aku mengakui nikmat-Mu kepadaku”
Pengakuan hamba bahwa semua kelebihan
yang dia miliki, murni dari Allah, bukan dari hasil jasanya, bukan pula dari
kemampuannya, tapi murni dari Allah, sehingga hamba tidak ujub dengan nikmat
itu.. namun meskipun demikian, hamba tidak pandai bersyukur, sehingga masih
sering menggunakan semua nikmat itu untuk durhaka kepada-Mu..
[5] Wa abuu-u bi dzambii
[وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ]
“aku mengakui semua dosa-dosaku”
Hamba mengakui banyak dosanya yang dia
lakukan dengan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Hamba terjerumus ke
dalamnya, meskipun bisa jadi hamba tidak menyukainya, akan tetapi hamba tidak
mampu untuk melepaskan diri dari dosa tersebut.
[6] Faghfir-lii fa innahuu laa yaghfirud
dzunuuba illaa anta
[فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
إِلاَّ أَنْتَ]
“Karena itu, ampunilah aku, sebab tidak
ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”
Ampunilah semua dosa hamba, sebanyak apapun
dosa itu.. meskipun Allah tidak membutuhkan hamba-Nya.
Karena tidak ada yang dapat mengampuni
dosa selain Allah… sehingga kepada siapa lagi harus harus minta ampunan untuk
dosa hamba, jika Allah tidak berkenan mengampuni hamba…
Subhanallah… banyak sekali pengakuan hamba akan kelemahan dirinya
dan peng-agungan hamba kepada Rabnya.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz
Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar