Penulis : Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari,
Lc
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`:
36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang
mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu
berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang
akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak
punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah
Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah
As-Sulamiradhiyallahu ‘anhu berkata:
Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallammenjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim,
menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya
sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul
Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini
dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk
memotivasi silaturahim. Karena NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak
menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan
yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet.
Darul Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib
Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ
– الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya
beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di
dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada
kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “AllahSubhanahu
wa Ta’ala memerintahkan
hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk
dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya,
dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah,
lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya.
Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun
makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat,
kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan
(kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki
kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada
yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk
beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai
skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu
wa Ta’ala mengatakan:
“Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak.”
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia,
tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka
berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka,
memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung
tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan
perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada
kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak
berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
“(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi
semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan
dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan.
“(Dan kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih
kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk
kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan
menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik
mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
“(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak
mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk
perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu
mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk
melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai
dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik
di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
“Tetangga yang jauh.”
Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini,
tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan
bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah,
shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga
tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
“(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga
yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman
secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup
teman di rumah, di perjalanan, serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada
hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya,
menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang
bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia
sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama
pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.
“(Dan kepada) ibnu sabil.”
Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun
tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia
berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya
atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan
menemaninya agar tidak kesepian.
“(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan.
Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak
membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal
yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu
wa Ta’aladan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang
indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut,
dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap
perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah
orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, teperdaya dengan
dirinya dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong….”
Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencintai orang
yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
“…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan
menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh
hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka
memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan
perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslimdari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melengkapi perintah
untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di
antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga adalah balasan
bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
“Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”
Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk
menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah
kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada
bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan
perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan
berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga
menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak
mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus
Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberitahukan:
“Orang-orang itulah1 yang
mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat
mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima
shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan
penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid
Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:
“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah,
beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku
dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan
shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)
2. Shadaqah
kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabiyullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
“Shadaqah kepada orang miskin itu
satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan
penyambung silaturahim.” (HR.
At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban
menshahihkannya)
3. Orang yang
menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang ingin dilapangkan
rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk
bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara
ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat
kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat
Ar-Ra’d ayat 25:
“Orang-orang yang merusak janji
Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang
itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam
hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliauShallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga, orang
yang memutuskan.”
Sufyan
Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam
riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali
silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan
buta dan tuli
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah kiranya jika kamu
berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim
kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya
telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim,
sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan
makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan
mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari
diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan
menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim
mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah
bila kalian mau:
“Maka apakah kiranya jika kamu
berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim
kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya
telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]
3. Orang yang
memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada dosa yang pantas untuk
disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan
(hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan
silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43)
no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah
no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar
Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya.
Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah
setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan
saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak
mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang
sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang
yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan
kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah
bin ‘Amrradhiyallahu ‘anhuma, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bukanlah penyambung adalah orang
yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus
rahimnya, dia menyambungnya.” {HR.
Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan
sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga
tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang
yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih
dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang
tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang
yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi
pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang
menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu
a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar
Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat
jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh
AllahSubhanahu wa Ta’ala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan
itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam
hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: Ada seseorang
berkata kepada Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai
kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik
kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap
mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan,
maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan
Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa
tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah:
8)
‘Allamatul
Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahumenjelaskan: “Artinya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kalian dari kebaikan,
silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian
dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak
mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari
rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka
dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Abul Fida`
Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan:
“Ibuku datang dalam keadaan masih
musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku
datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik
kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat
baiklah kepada ibumu’.” (HR.
Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7)
no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang
disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang
memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap
agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada
orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita
tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.
Wallahul hadi ila sawa`is sabil.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=725
0 komentar:
Posting Komentar