Iyadh
bin Himar Al-Mujasyi’i ia berkata, pada suatu hari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallamberkhutbah seraya bersabda,
“Penghuni surga itu ada tiga; pertama, penguasa yang adil, jujur,
dan mendapat taufik, kedua, seorang yang penyayang dan perhatian kepada setiap
kerabat, ketiga, seorang muslim yang suci, pandai menjaga diri, dan memiliki
keluarga….”
(HR. Muslim)
Dari
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu ia berkata, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Macam-macam
umat diperlibatkan keapdaku; aku melihat seorang Nabi beserta sekelompok orang
pengikutnya, aku melihat seorang Nabi beserta seorang laki-laki
pengikutnya, aku melihat seorang Nabi tanpa ditemani seorang pengiku pun,
kemudian diperlihatkan kepadaku sekelompok orang dengan jumlah yang amat
banyak, maka aku berakta, ‘Ini adalah umatku.’ Kemudian dikatakan, ‘Ini adalah
Musa dan umatnya. Tapi, lihatlah ke atas.’ Seketika terlihat sekelompok umat
dengan jumlah yang amat banyak. Kemudian dikatakan, ‘Lihatlah ke arah yang
lain.’ Seketika terlihat sekelompok umat dengan jumlah yang amat banyak.
Kemudian dikatakan, ‘Ini adalah umatmu.’ Bersama mereka 70.000 orang masuk ke
dalam surga tanpa melalui prosesi hisab dan siksa.” Kemudian Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu masuk, lalu para shahabat berbicara
panjang lebar tentang sabda Nabi tadi. Kemudian mereka berkata, ‘Siapakah
mereka yang masuk surga tanpa melalui prosesi hisab dan siksa?’ Sebagian
mereka berkata, ‘Barangkali mereka yang menyertai Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam.’ Sebagian yang lain berkata, ‘Barangkali mereka yang dilahirkan dalam
keadaan Islam, dia tidak pernah menyekutukan Allah.’ Mereka menyebutkan banyak
hal. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar kembali (dari kamar
beliau) menemui mereka, lalu beliau berkata, ‘Apa yang kalian perbincangkan?’
Mereka pun memberitahukan kepada beliau tentang apa yang mereka perbincangkan
antarmereka. Lalu beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak
berobat dengan menggunakan kayy, tidak minta diruqyah (ruqyah yang tidak
syar’i), tidak bertathayyur (pesimis karena melihat pertanda buruk), dan hanya
kepada Allah mereka bertawakkal.’ Kemudian ‘Ukkasyah bin Mihshan Al-Asadi
berdiri seraya berkata, ‘Apakah saya termasuk bagian dari mereka, wahai
Rasulullah?’ Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. ‘Kamu adalah
termasuk bagian dari mereka!’ Lalu sebagian shahabat yang lain (Sa’ad bin
‘Ubadah) berkata, ‘Apakah saya bagian dari mereka, wahai Rasulullah?’
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kamu telah didahului oleh
Ukkasyah’.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berkaitan
dengan maksud tawakkal di dalam hadis di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tawakkal adalah
kondisi hati yang timbul atas pengetahuannya terhadap Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
percaya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirian dalam mencipta,
mengatur, menghilangkan madharat, mendatangkan manfaat, memberi, memboikot
pemberian, dan apa yang Dia kehendaki bisa terwujud meskipun manusia tidak
menghendakinya, sedangkan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terwujud meskipun
manusia menghendakinya. Dengan begitu, ia bersandar sepenuhnya kepada AllahSubhanahu
wa Ta’ala,
menyerahkan segala hal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa tenang bersama-Nya,
percaya sepenuhnya kepada-Nya, yakin bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan
mencukupinya berdasarkan rasa dan sikap tawakkal kepada-Nya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang memenuhi kebutuhan orang yang tawakkal itu, tidak ada sesuatu yang
terjadi di luar kehendak-Nya, baik manusia menginginkannya maupun menolaknya.
Kondisi orang yang tawakkal itu seperti kondisi anak kecil di hadapan kedua
orang tuanya, dalam perihal sesuatu yang ia niatkan, baik motivasi atau
larnagan, maka kedua orang tua itu menanggung sepenuhnya. Perhatikanlah hati
anak itu tidak pernah terbesit untuk bersandar kepada selain kedua orang
tuanya, dan menahan hasratnya untuk menyampaikan apa yang ia niatkan kepada
kedua orang tuanya. Begitu juga kondisi orang yang tawakkal. Barangispa yang
memiliki sikap seperti iu dalam berinteraksi dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mencukupinya.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
“Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (Ath-Thalaaq: 3)
Dari
Sahal bin Sa’ad ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang menjamin (menajga) lisan dan kemaluannya, maka aku menjaminnya untuk masuk
jannah.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Dari
Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang oleh Allah dijaga dari kejelekan lisan dan kemaluannya, maka ia akan masuk
jannah’.”
Dari
Mu’adz bin Jabal ia berkata,
“Aku
pernah bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Pada
suatu pagi aku berada di dekat Nabi, sementara kami sedang berjalan kaki, lalu
aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, beritahulah saya tentang pekerjaan yang bisa
memasukkan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka.’ Beliau bersabda, ‘Kamu
telah bertanya kepadaku tentang sesuatu yang agung. Sungguh sedikit orang yang
dimudahkan oleh Allah untuk bertanya tentang hal itu. (Amal itu adalah) kamu
menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, melaksanakan shalat
menunaikan zakat, shiyam pada bulan Ramadhan, berhaji ke Baitullah.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Maukah
kamu jika aku memberitahumu tentang pintu-pintu kebaikan? Shiyam itu adalah
perisai, sedangkan sedekah dapat menghapus dosa, sebagaimana air dapat
memadamkan api, serta shalat seseorang pada kesunyian malam (qiyamul lail).’ Kemudian beliau membaca firman
Allah Ta’ala, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang
mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorangpun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.’ (QS. As-Sajdah: 16-17). Beliau kemudian bersabda, “Maukah
kamu jika aku memberitahumu tentang penghulu segala sesuatu, tiang segala
sesuatu, dan puncak segala sesuatu?’ Aku berkata, ‘Dengan senang hati, wahai
Rasulullah.’
“Pokok segala urusan adalah Islam, pilarnya adalah
shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Beliau bersabda, ‘Maukah kamu
jika aku memberitahumu raja dari seluruh itu?’ Aku berkata, ‘Dengan senang
hati, wahai Nabi Allah.’ Kemudian Rasulullah memegang mulut Mua’adz seraya
bersabda, ‘Jagalah (tahanlah) mulutmu seperti ini.’ Aku berkata, ‘Wahai Nabi
Allah, apakah kami akan disiksa karena kata-kata yang kami ucapkan?’ Beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ibumu merasa kehilangan kamu, (celakalah) wahai
Mu’adz. Tidaklah manusia dicebloskan ke dalam neraka dengan diseret di atas
wajah atau dahinya kecuali disebabkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh mulut
mereka’.”
Sumber:
Belaian Bidadari di Alam Mimpi, Syaikh ‘Isham Hasanain, Pustaka At-Tibyan,
Cetakan 1 2008
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar