“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah radhiyallahu
‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Iringilah perbuatan buruk
dengan perbuatan yang baik, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dihasankan pula oleh
asy-Syaikh al-Albani)
…Wahai saudaraku, semoga
Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita semua
Pesan-pesan mulia dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, awalnya ditujukan kepada sahabat Abu Dzar Jundub
bin Junadah al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Walaupun demikian, sebenarnya juga diperuntukkan bagi seluruh
umatnya. Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan
keilmuannya. Keseriusan perjuangannya dalam menggapai hidayah adalah contoh dan
teladan. Keteguhan beliau dalam memegang keyakinan dan kebenaran adalah figur
panutan. Beliau termasuk orang-orang pertama (as-Sabiqunal Awwalun) yang masuk
Islam.
Perjalanan jauh ia tempuh, tanpa peduli segala
resiko yang bakal terjadi, tetap beliau hadapi. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menuturkan sendiri,
“Aku adalah orang keempat dalam Islam. Ada tiga orang yang masuk Islam
sebelumku. Ketika itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku
mengatakan, “Assalamu ‘alaika, wahai Rasullullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak untuk diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad
adalah utusan Allah.” Aku pun melihat raut muka bahagia terpancar dari wajah
suci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah fitrah yang bersih. Senantiasa rindu terhadap
kebenaran, ke manapun akan dia cari. Luasnya gurun pasir, teriknya sinar
matahari, sedikitnya bekal, dan jauhnya perjalanan tidak menjadi penghalang
untuk meraih kebahagiaan hakiki.
Wahai saudaraku di Jalan Allah…
Bila sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
generasi terbaik umat ini perlu diberi wasiat dan nasihat, maka terlebih lagi
kita yang hidup di zaman yang jauh dari masa kenabian, tentu lebih
membutuhkan.
Tiga nasihat yang berharga ini adalah faktor
utama bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan di dunia yang fana ini dan di
akhirat nanti yang kekal abadi. Karena nasihat tersebut mengandung perintah,
sebagai wujud penunaian hak-hak Allah subhanahu wa
ta’ala dan hak-hak hamba-Nya. Seseorang akan dianggap
baik, bila baik dan benar hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan bagus pula
muamalahnya terhadap sesama manusia.
Nasihat pertama dan paling utama adalah
bertakwalah kepada Allah subhanahu wa
ta’aladi manapun berada.
Takwa sebagaimana didefinisikan oleh al-Imam
Umar bin Abdul Aziz v, yaitu meninggalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dan
melaksanakan apa yang Allahsubhanahu wa
ta’ala wajibkan. Lebih jelas lagi dengan yang
didefinisikan oleh al-Imam Thalq bin Habib v: “Takwa adalah sebuah amal ketaatan
kepada Allah di atas cahaya (ilmu) dari–Nya karena mengharap pahala-Nya. Serta
meninggalkan kemaksiatan kepada Allah karena takut adzab-Nya didasari atas
cahaya (ilmu) dari-Nya.”
Wahai saudaraku, rahimakumullah, ketakwaan yang hakiki
tidak bisa diperoleh tanpa didasari dengan ilmu. Dengan ilmu tersebut akan
terbedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, perintah
dan larangan. Bila takwa sudah menjadi pakaian dan perhiasan bagi kehidupan
seseorang, niscaya dia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan bantuan), orang-orang yang
meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, orang-orang yang menepati janjinya -apabila ia berjanji- dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar keimanannya dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Baqarah:
177)
Wahai saudaraku, barakallahufikum, perhatikan baik-baik
ayat Allah subhanahu wa ta’alayang mulia tersebut. Ternyata takwa bukanlah kata yang sepi dari
arti dan bukan pula pengakuan kosong tanpa konsekuensi. Takwa adalah sebuah kata
yang sangat luas dimensi cakupannya. Takwa adalah bentuk pengabdian secara
vertikal kepada Allahsubhanahu wa ta’ala, yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Bukan orang
bertakwa yang hakiki bila di hadapan orang banyak terlihat taat, sementara di
kala sepi sendiri dia bermaksiat. Juga bukan yang ketika berada di masjid,
sujud, ruku, terlihat khusyu’, sementara tatkala di pasar, di kantor, di tempat
kerja dan tempat-tampat lainya, melanggar batasan syari’at.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bertakwa
dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya Allah subhanahu wa ta’ala ditaati dan tidak
dimaksiati, disyukuri (nikmatnya) dan bukan diingkari, selalu diingat dan jangan
dilupakan (dalam situasi dan kondisi apapun, baik di saat senang dan lapang
ataupun dalam kondisi sedih dan sempit, pen.).”
Wahai saudara-saudaraku seiman… Inilah
sebagian rahasia mengapa krisis multidimensi (baik akidah, ibadah, muamalah,
moral, akhlak, dll.) yang menimpa umat ini tiada henti seolah-olah tanpa tepi.
Tindak kejahatan di tengah masyarakat semakin dahsyat, seolah tidak bisa
diakhiri. Bahkan setiap hari semakin bertambah kualitas dan kuantitas
kejelekannya. Semua ini tidak lain karena sikap takut dan takwa kepada
Allah subhanahu wa ta’ala telah menipis atau nyaris habis, melemah bahkan hampir
punah.
Wahai saudaraku, semoga kita dirahmati oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, sebenarnya janji kemuliaan dari Allah bagi orang-orang yang
bertakwa sangat melimpah, baik di dunia terlebih di akhirat. Di dunia, hidupnya
terbimbing, urusannya dipermudah, diberi rezeki dari arah yang tidak terduga nan
penuh berkah. Adapun di akhirat kelak, pahalanya melimpah, meraih naungan
ridha-Nya, di dalam al-Jannah (surga).
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi.” (Al-A’raf:
96)
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar serta memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa
di sisi Rabb mereka (disediakan) jannah yang penuh kenikmatan.” (Al-Qalam: 34)
Nasihat kedua adalah iringilah perbuatan buruk
dengan perbuatan yang baik, niscaya kebaikan tersebut akan
menghapusnya.
Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hal tersebut
terbatas pada dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar akan terhapus dengan taubat
yang tulus.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang
seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa dan kesalahan. Hal ini disebabkan
banyak faktor, di antaranya lingkungan yang jelek, dorongan hawa nafsu yang
tidak baik, dan bujuk rayu syaithan.
Wahai saudaraku, perlu diingat bahwa dosa yang
kita perbuat akan berdampak negatif terhadap rezeki, kejiwaan dan seluruh
keadaan, terlebih keimanan kita. Sungguh tiada musibah yang turun menimpa
manusia kecuali karena sebab dosa. Musibah itu pun tidak akan dicabut kecuali
dengan taubat dan istighfar.
Allah lebih menyayangi hamba-Nya daripada
sayangnya hamba terhadap dirinya sendiri. Di antara bentuk kasih sayang-Nya
bahwa dosa seorang hamba bisa dihapus dan dampak negatif dari dosa bisa dihapus
dengan kebaikan seperti shalat, sedekah, dan lain-lain jika itu dosa kecil.
Sementara dosa besar akan terhapus dengan bertaubat dan istighfar.
Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, jangan
putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang putus asa dari rahmat Allah
melainkan kaum yang kafir. Sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh
seorang hamba, karena digoda syaithan, kemudian segera bertaubat kepada Allah,
pasti dia akan mendapati-Nya Maha Pengampun lagi Penyayang. Bersegeralah untuk
memperbaiki diri dengan melakukan amal kebaikan karena satu kebaikan akan
dilipatgandakan pahalanya oleh Allah menjadi sepuluh bahkan lebih.
Nasihat ketiga adalah berakhlaklah mulia dalam
bergaul dengan sesama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
seorang yang memiliki budi pekerti yang paling baik. Segala akhlak mulia dan
perangai terpuji ada pada diri beliau. Sehingga kita diperintah untuk meneladani
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari semua sisi, Allahsubhanahu wa
ta’ala berfirman:
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu.”(Al-Ahzab: 21)
Karena akhlak mulia termasuk poros peradapan
dalam kehidupan manusia, Islam telah menjunjung tinggi kedudukan akhlak mulia
dan sangat besar perhatiannya. Banyaknya ayat dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar
akhlak mulia, adalah bukti nyata atas pentingnya hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk
menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR al-Bukhari)
Baiknya akhlak adalah bukti atas baiknya
keimanan seseorang. Pemiliknya akan memanen janji al-Jannah dan dekat tempat
duduknya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di akhirat kelak.
Sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu
berhias diri dengan akhlak yang mulia. Misalnya dengan silaturahmi, memaafkan
kesalahan sesama, rendah hati, tidak sombong, serta bertutur kata yang
lembut.
Wajah ceria ketika berjumpa dengan saudara,
diiringi dengan salam dan senyuman, akan memunculkan suasana sejuk nan penuh
keakraban, bahkan akan menebarkan kasih sayang dan menuai saling cinta dari
sesama.
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “(Di antara)
bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan
mencegah diri dari menyakiti orang lain.”
Wahai saudaraku seiman, dengan mempraktikkan
nasihat ini, kehidupan masyarakat, akan aman, serasi, harmonis, dan ketentraman
akan terwujud.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: al-Ustadz Muslim Tamam hafizhahullahu ta’ala
0 komentar:
Posting Komentar