Telah banyak
buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan
dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun
hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, yaitu dalam
rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat
dan ghibah.
Imam Nawawi
rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan beberapa perkara :
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan beberapa perkara :
Dalam rangka
memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi
nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut
ini.Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin
(orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan
yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa
menjadi wajib hukumnya.
Dan di
antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali
perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan
kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau
dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk
terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia
menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya
dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di
antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi
majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka
dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat
negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli
bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah
nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena
terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad,
dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya
bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan
baik.
Dan di
antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang
ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang
ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang
yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk
memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya
dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui
ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai
dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya
agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak
bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah
beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat
ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits
yang shahih, di antaranya adalah:
Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk
masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq 'Alaih] [2]
Dan dari
Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta,
sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.”
Dan dalam
riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.”
Kalimat
tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari
bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian
(safar).” [3]
Syaikh Salim
Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus
Shalihin: ”Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian:
Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan
diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim
Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point
dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang
beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah,
dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran
dalamnya.
Asy Syaukani
berkata.
“Dan saya
berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum
berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah
mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap
individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka
pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat
tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang
mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas
yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil
maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa
yang Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh
Salim) berkata pula:
“Apa yang
disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia
memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya:
[a]. Bahwa
kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan
tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada
asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
[b]. Bahwa
kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan
batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal
perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat,
maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia
menjadi orang yang melampaui batas.
Dan apa yang
disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat
yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan
kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim
Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya
berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran
dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu
kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain
bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya
tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara
karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang
membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh
Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya,
“Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk
ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan
barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi
munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih
kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian
orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia
keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut
nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang
tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat
demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor
apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang
mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah
tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan
yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan
pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah
berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh
syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam
kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan
perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam
rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah,
penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai
beliau berkata:
“Maka
apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan
oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang
demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila
menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai
kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di
hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api
yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan
kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya
ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu,
baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang
pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka
seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk
perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan
RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai
beliau berkata:
“Apabila tujuannya
adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan
dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan
tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar
seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Mengapakah
orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ?
Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu
batil, meskipun seratus syarat.”[11]
“Mengapakah
orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya
aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan
batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
“Mengapakah
orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa
tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu
bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan
menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.”
Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi
wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka
bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai
beliau berkata:
“(Yang
kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan
orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya
orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik
dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana
Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit,
ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya
mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),”
maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu
secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai
beliau berkata:
“Dan di
antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien
dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais
ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa
yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.”
Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak
memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita”
dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka
beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu
memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti
ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk
juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak
kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi
dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal
ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang
berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa,
para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu
lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dien itu
nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada
para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka
berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan
dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam
satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan
yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila
demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik
khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang
berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan
Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai
seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata,
‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin
Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si
fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka
kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan
bercacat?!”
Begitu pula
misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka
dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat
dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin
sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau
cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang
membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan
i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah
maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia
menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya
dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di
mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak
kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya
mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar
musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka
hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun
nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka
sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
“Sesunggguhnya
Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia
melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah
berfirman dalam kitabNya.
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid : 25]
Maka Allah
memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang
memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
“Dan
cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan: 31]
Dan Al-Kitab
dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia
menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum
memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai
pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan
musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok
tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
“Berjihadlah
(melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
kepada mereka.” [At-Taubah
:73]
Apabila
orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu
manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah
Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita
telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan
pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila
mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia
terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah
orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka
bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi
Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah
orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala
berfirman.
“Jika mereka
berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali
kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah
barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada
orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah : 47]
Maka
menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang
mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang
mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada
bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya
peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka
dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan
bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan
bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien,
padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan
mereka.
Oleh karena
itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat,
dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal
zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid [17] yang
telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah
tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan
dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila
diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria
dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang
benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh
mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah
mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan
padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian
dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila
diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana
diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin
Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan
orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya,
seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe
seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila
seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk
orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan
apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk
berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini,
kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan
agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka
barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti
bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu
pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda.
“Macam-macam
hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang
mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di
surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan,
maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan
perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah
Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan dusta
adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam
Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda.
“Penjual dan
pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah
melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan
menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam
jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang
sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian
orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang
baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat
kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang
berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan
ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah,
termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak
menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang
membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai
mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas
apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya
mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut
merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi
saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib
kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau
begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan
dia.” (Wallahul Musta’an.)
Foot Note
[1].
Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2]. Ibid,
no. 1539
[3]. Ibid,
no. 1541
[4].
Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5]. Ibid,
Juz 3, hal. 35-36
[6]. Ibid,
Juz 3, hal.35-36
[7]. Ibid,
Juz 3, hal.46
[8]
“Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama’Al-Islami” hal.58
[9].
Ar-Ruuh, hal 357-358
[10].
Majmu’Fatawa juz 28 hal.225
[11].
Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563)
dari Aisyah.”
[12].
Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab Al-I’tisham
(7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati.”
[13].
Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062)
dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5).”
[14]. Majmu
Fatawa, juz 28, hal 229
[15].
H.R.Muslim
[16].
Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was
Shilah (2564/33-34) dan H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143).”
[17]. Dari
ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi cambuk bagi kita semua selaku
penuntut ilmu untuk serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah yang
sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat menimbang dan menilai
ijtihad-ijtihad para ulama dalam masalah tertentu yang seringkali mereka
berbeda pendapat di dalamnya, lalu kita berusaha mentarjihnya berdasarkan ilmu
yang benar bukan berdasarkan hawa nafsu. Di antara buku-buku yang dinasehatkan
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah kepada para penuntut
ilmu untuk mempelajarinya berkenaan dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah
bagi dien yang mulia ini adalah :
1. I’lamul
Muwaqi’in oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah
2. Irsyadul
fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah
3. Tahshilul
ma’mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah
(Nasehat
mengenai masalah ini dapat didengar dari kaset beliau yang berjudul “Tidak
Berta’ashub”)
[18]. H.R.
Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315),
kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu’atul Fatawa, juz 14 hal. 399)
[Disalin
dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama,
Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC
JKTM]
Al-Hafizh
Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram
berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu
bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih
dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang
ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan
nasihat.
Hal ini
sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada
seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau
bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi
saudara-saudaranya.”
Dan juga
sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha
ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun
Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm
adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan
demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu.
Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat
diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)
———–
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kejelekan Muawiyah dan Abu jahm,
perhatikan! hal ini dmaksudkan demi kemaslahatan yang lebih besar pada diri
fathimah binti qais radhiyallahu ‘anhum.
Imam Nawawi
menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh
syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara
ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
1.
Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai
wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan
menganiaya saya dengan cara demikian.”
2. Meminta
bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar
kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan
demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya.
Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia
tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
3 Meminta
fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku
menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah
menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan
mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan
demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4
Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka
menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini
diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib
karena kebutuhan umat terhadapnya.
5
Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan
dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak,
merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang
disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang
lainnya.
6 Untuk
memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih
populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma
(yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila
diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan
lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama
(lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99.
penerbit Darul Bashirah)
Imam Nawawi
menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari
‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang
meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah
dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi
berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya
mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari
‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari)
Laits bin
Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk
kalangan orang munafiq.”
3. Hadits
fathimah bintu qais diatas
4. Kami
pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh
suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan,
maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang
yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau
bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka
orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau.
Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin
Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah
mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau
berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan
kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
http://www.radioassunnah.com
0 komentar:
Posting Komentar