MUROTTAL SURAT AN NISSA
Powered by mp3skull.com
Penulis:
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit
kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan
kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam
dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’.
Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian
dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai
ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita,
karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam
surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut
Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang
berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka
dengan ayat:
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan
oleh RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang
satu, Allah Subhanahu
wa Ta’ala menciptakan
pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan
bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan
pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565,
566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang
rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang
paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan
jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang
namun padanya ada kebengkokan.” (HR.
Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. AllahSubhanahu
wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan
berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas
kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan
dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi
agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan
yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya),
maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita
saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih
dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang
firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anhamenjawab, “Wahai
anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang
turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan
kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa
berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya
kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi
perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa
diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi
wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan,
‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
ayat:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Dan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam ayat yang
lain:
“Sementara kalian ingin menikahi mereka
(perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh
perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si
perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang
menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya
kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena
keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya
enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim
no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang
firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
Dan
mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa
kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam
Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang
berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam
harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka
menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut
berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk
menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki
selainnya.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang
wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat
berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang
kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara
lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran.
Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah
dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam
Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat
demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang
kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan
ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan
mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena
walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada
perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan
oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan
Adh-Dhahhak bin Muzahimrahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan
pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada
salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan
cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain
telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu
‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas,
As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula
ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim,
2/317)
Bila seorang lelaki khawatir
tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk
hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana
pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam
pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang
kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka
makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari
harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta
peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya
lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap
bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan,
“Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli
warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi
wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau
mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak
terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini
dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk
menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka
dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana
diwarisinya harta benda. (Al-Jami’
li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya
mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang
pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki
mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh
bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah
tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar
dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga
pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim,
2/160)
6. Suami diperintah untuk
berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan
mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap
mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai
kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka
engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. AllahSubhanahu
wa Ta’ala berfirman dalam
hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
telah bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara
kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci
istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan
tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka
maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65),
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahberkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai
mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek,
bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan)
(bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan
hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari
istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri
dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi
kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhumatentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri
(yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan
yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir,
2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang
mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha
(senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR.
Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang
suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu
perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang
disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia
seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau
bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak
boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian
dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali
sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap
wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena
penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu
kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian
(bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu),
putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri
dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan
kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang
berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi
jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka
tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi
istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di
atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah
yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam,
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam
pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh
mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini
jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam,
Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang
menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi,
namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami
persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang
memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
Footnote:
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah
saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008,
Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari
http://www.asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar