Surat An Nuur terdiri atas 64 ayat, dan
termasuk golongan surat-surat Madaniyah. Dinamai An Nuur yang berarti Cahaya,
diambil dari kata An Nuur yang terdapat pada ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah
menjelaskan tentang Nuur Ilahi, yakni Al Quran yang mengandung
petunjuk-petunjuk bagi dan rahmat seluruh alam. Arti dari Surat An-Nuur
ayat 39 sebagai berikut “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.
Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya”. Dalam ayat ini Allah mengisahkan kisah
orang-orang kafir terkait dengan amal perbuat yang mereka kerjakan selama di
dunia. Allah menggunakan metode amtsal yang berarti permisalan dalam
menyampaikan ayat ini. Syekh Natsar Asy-Sa'di menuliskan “Hadzani
matsalani”, yang artinya yaitu “ini
adalah 2 permisalan (tentang orang-orang kafir)”.
Al-amtsal adalah salah satu metode Allah dalam menjelaskan
beberapa ayat-ayat di dalam Al-Quran. Metode Al-Amtsal ini menjadi metode yang
sangat penting bagi para ulama dalam membahas tafsir dan memberikan perhatian
yang besar terhadap metode ini. Hal ini dikarenakan Allah menjelaskan
perkara-perkara yang besar seperti hal-hal yang berkaitan dengan keimanan,
keislaman, orang-orang munafik menggunakan metode ini dengan membuat sebuah
perumpamaan-perumpamaan. Contohnya firman Allah, pada Surat ke Al-Hasyr ayat
21, ”Kalau
sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”.
Dalam ayat diatas, Allah memberikan gambaran tentang kedahsyatan
Al-Quran, sampai-sampai sendainya Al-Qur'an itu diturunkan ke gunung yang
besar, maka gunung itu akan hancur. Di lain sisi, ketika Al-Qur'an ini
diturunkan kepada manusia, ada beberapa dari mereka yang justru berpaling dari
Al-Quran sehingga manusia yang secara fisik adalah tersusun dari daging dan
tulang, hati-hati mereka menjadi justru semakin keras melebihi kerasnya batu.
Padahal, gunung yang tersusun atas batuan-batuan keras saja Allah gambarkan
akan hancur seandainya Allah menurunkan Al-Quran kepadanya.
Al-Imam Ibnu Qoyyim membuat buku khusus yang membahas mengenai
permisalan-permisalan yang ada dalam Al-Quran dengan judul bukunya “Al-Amtsal
fil Qur'an”, sehingga dengan permisalan-permisalan itu,
harapannya seseorang akan dapat mengambil pelajaran-pelajaran, kaidah-kaidah
yang sangat banyak yang terkandung pada suatu ayat. Yang tentunya ini akan
didapatkan bagi orang-orang yang berakal yang menggunakan akalnya dengan cara
yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-'Ankabuut ayat 43 “Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu”. Salah
seorang sahabat yang bernama Amr-Ibnul Ash sampai berkata demikian, “Saya
menghafal dan memahami dari Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam lebih dari
1000 permisalan”.
Untuk mengetahui apakah dalam sebuah ayat terdapat suatu amtsal
atau tidak dapat ditandai dengan adanya huruf “Kaf” yang
berarti seperti, atau “Al-Mitsl”, yang menunjukkan suatu permisalan. Tetapi
juga ada beberapa yang tidak menggunakan kata “Kaf” maupun“Al-Mitsl”.
Hal ini bisa diketahui dengan penelaahan yang lebih mendalam terhadap ayat-ayat
yang terkait.
Orang-orang kafir yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah
orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada agama samawi. Arti dari agama
samawi itu sendiri adalah agama yang berasal dari wahyu. Sedangkan ada juga di
dunia ini yang merupakan agama budaya, yakni agama ciptaan manusia itu sendiri.
Dan mereka orang-orang kafir meyakini bahwa mereka mengikuti ajaran para Nabi.
Akan tetapi ketika mereka dituntut untuk beriman dan mengilmuinya, mereka malah
justru berpaling. Sehingga di sini orang kafir adalah orang-orang yang
menisbahkan kepada agama samawi akan tetapi mereka berpaling untuk mengimani
dan mengilmui Al-Quran dan As-Sunnah.
Allah membuat permisalan terhadap amalan mereka, amal-amal yang
mereka sangka adalah amalan yang dirasa bisa mendekatkan diri meraka kepada
Allah. Allah mengatakan bahwa perbuatan mereka yang dilakukan meski dengan niat
yang baik dan tulus, amalan tersebut seperti layaknya fatamorgana yang ada
ditanah yang datar. Dimana orang-orang haus itu menyangka bahwa di sana ada air
dan berangan-angan ingin mengambil air tersebut. Sama halnya ketika manusia
nanti berada di padang mahsyar mereka, tidak beralas kaki, tidak berkhitan,
dan tidak memakai pakainan, sehingga Aisyah pun sempat bertanya kepada
Rasulullah “Apakah
nanti mereka tidak saling melihat satu sama lain ?”. Dan Rasul pun
menjawab “Tidak
mungkin, karena pada saat itu ada permasalahn yang sangat besar yang sedang
melanda diri mereka, yang mereka inginkan saat itu hanyalah agar mereka selamat
dari permasalahan yang besar tersebut”.
Sama seperti ketika orang-orang haus terdorong untuk mendatangi
tempat berair, dan ketika dia mendatangi fatamorgama tersebut, orang haus itu
tidak ia dapati apapun. Hal ini menggambarkan bahwa apa-apa yang mereka
(orang-orang kafir) kerjakan selama didunia itu seakan-akan terlihat baik dan
itu tidak akan mendapatkan balasan apapun dari Allah. Seandainya mereka
melakukan kebaikan dengan tulus ikhlas, maka kebaikan itu akan dicatat akan
sebagai kebaikan pula. Seperti dalam masalah muammalah, ada orang-orang kafir
yang amalnya justru lebih baik dari pada orang-orang muslim itu sendiri. Akan
tetapi ketika mereka di hari kiamat nanti, mereka mengangka itu suatu kebaikan
bagi mereka, tetapi sekali lagi Allah menggambarkan itu sebagai suatu
fatamorgama belaka. Maka ketika mereka mendatanginya, mereka tidak mendapatkan
suatu apa-apa. Amalan mereka akan Allah datangkan dijadikannya debu-debu yang
bertaburan.
Uraian di atas juga bisa ditarik kesimpulan bahwa
kebaikan-kebaikan mereka (orang-orang kafir) juga akan dicatat. Kebaikan mereka
akan dicatat selama mereka melakukan dengan niat yang tulus ikhlas. Apakah
nanti itu dibalas dengan pahala atau tidak, ini tergantung dari akhir kehidupan
orang tersebut. Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam bersabda bahwa “
Amal tergantung dari akhirnya”. Artinya
apabila seseorang melakukan suatu tindak kebaikan, belum tentu akan dibalas
oleh Allah, tetapi akan dicatat. Ketika orang kafir itu akhirnya masuk islam,
maka islam itu akan menghapus kejelekan-kejelekan mereka. Hal yang sama juga
berlaku pada orang beriman, amalan mereka juga akan dicatat. Tergantung
bagaimanakah hidup di akhirnya. Ketika mereka mati dalam kondisi keimanan, maka
kebaikan itu akan mendapatkan balasan yang baik pula, akan tetapi ketika mereka
mati dalam keadaan murtad, maka mereka tidak akan pernah mendapatkan balasan
kebaikan atas amalannya selama didunia. Mereka orang-orang kafir mendapatkan
apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Amal-amal mereka menjadi amalan yang
sia-sia. Allah Maha cepat perhitungannya. Inilah salah satu bentuk keadilan
Allah. Imam Syafii dalam bukunya “Ar-Risalah”, menjelaskan bagaimana
ketika orang islam menunaikan ibadah haji kemudian ia murtad, akan tetapi
kemudian ia masuk islam lagi. Di buku tersebut akan dijawab apakah mereka harus
haji lagi atau tidak setelah kemurtadannya.
Surat An-Nuur ayat 40, “Atau seperti gelap
gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak
(pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada
diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. Ini
adalah dua permisalan yang disebutkan oleh Allah. Yang pertama adalah seperti
amalan orang-orang kafir itu fatamorgama. Di ayat selanjutnya digambarkan
seperti kegelapan yang berlapis-lapis. Kegelapan yang dikarenakan karena
kekufurannya, yang dikarenakan oleh kejahilannya dan kegelapan oleh
subhat-subhat yang ada pada mereka. Mereka menyangka itu adalah kebaikan
padahal itu adalah suatu tindak kebatilan. Firman Allah dalam surat Al-Kahfi
ayat 103-105. “Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat
Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-
amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka
pada hari kiamat”.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari dua perumpamaan pada kedua
ayat ini adalah kekufuran itu salah satunya disebabkan karena Al-I'rab,
berpaling dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam. Maka
ketika ada satu perintah dari Al-Quran atau Hadits. Janganlah terburu-buru
untuk menafikkan, seandainya belum mampu untuk melaksanakannya. Artinya kita
akui saja itu sebagai suatu kelalaian karena kita belum melakukan perintah
tersebut. Ketika kita sudah sampai menolaknya, maka kita akan mencari
pembenarannya, dan tidak tanggung-tanggung pembenaran itu mencari alasan dari
Al-Quran dan Hadits dengan cara disangkut-sangkutlan seadanya.
Al-Quran dan Hadits adalah sumber sebagai dasar hukum dalam islam
dan kedudukan diantara keduanya adalah sejeajar, tidak bisa dipisahkan. Tidak
bisa dikatakan hadits itu adalah sumber kedua dari hukum islam. Sumber hukum
islam itu adalah Al-Quran dan Hadits yang merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Karena Al-Quran dan Al-Hadits mempunyai suatu fungsi. Hadits
sebagai penjelas hal-hal yang bersifat umum di dalam Al-Quran atau sebagai
penguat hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. Dan Hadits itu adalah
berdiri sendiri di dalam menetapkan hukum. Maksudnya adalah ketika ada
hukum-hukum yang belum tercantumkan dalam Al-Qur'an tertapi Hadits Nabi
sallallahu’alaihi wassalam telah menetapkannya. Ada kisah seorang wanita yang
sedang berdialog dengan Abdullah Ibnu Mas'ud. Beliau berkata bahwa Rasulullah
sallallahu’alaihi wassalam melaknat orang yang ditatto dan yang menatto.
Kemudian wanita itu menolak bahwa itu tidak ada dalam Al-Quran. Lalu berkatalah
Ibnu Mas'ud “Apakah
Anda pernah mendengan firman Allah yang artinya Ikuti apa yang datang dari
Rasul dan apa yang Rasul larang maka tinggalkanlah”. Itu
yang ada dalam Al-Quran meskipun tidak merinci secara detail. Akan tetapi ada
kaidah dasar disana. Ketika seseorang belum bisa menjalankan apa yang Allah
perintahkan dan belum bisa menghindari apa yang Allah larang, aggap saja itu
sebagai suatu kelalaian. Khalid bin Walid berkata bawasannya, tidak ada yang
lebih menyibukkan diriku dari membaca Al-Quran, kecuali untuk berjihad. Alasan
yang seperti ini diterima karena beliau tidak sempat membaca Al-Quran
dikarenakan sedang berjihad.
Ada orang yang beranggapan bahwa semua agama itu memiliki
kesempatan yang sama untuk masuk syurga. Menggambarkan seperti jeruji-jeruji
roda yang mengarah pada satu poros. Mengarah pada satu tujuan yang sama.
Selanjutnya penyebab kekufuran tu dikarenakan seseorang mengikuti subhat. Subhat
adalah kebatilan yang disamarkan yang akhirnya hampir nampak seperti kebaikan.
Hikmah lain yang bisa diambil dari kedua ayat ini, bawasannya baiknya niat
tidak menunjukkan benarnya amal, jika amal tersebut tidak mengikuti tuntutan
rasul.
Wallahu a'lamu bishowab.
(Sumber: Buletin Annaba)
0 komentar:
Posting Komentar