Powered by mp3skull.com
Didalam surat Al An’am Allah Ta’ala menyebutkan sepuluh
wasiat agar seorang terjaga akidah atau keyakinannya dari penyimpangan dan agar
terbimbing kehidupan sebuah keluarga dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at,
hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al An’am: 151-153)
Ayat-ayat yang mulia ini telah di nyatakan oleh sahabat
Abdulloh bin Mas’ud dalam pernyataannya: Barangsiapa ingin membaca lembaran
Rasululloh yang padanya ada setempel beliau hendaknya membaca ayat-ayat
tersebut.
Dan yang dimaksud dengan padanya ada setempel beliau bahwa
ayat-ayat ini hukum-hukumnya tetap dan tidak ada ayat yang menghapus
hukum-hukumnya.
Tiga ayat tersebut masing-masing darinya diakhiri dengan
firmanNya:
“Demikianlah Allah
memerintahkan berwasiat kepada kalian”. Hal ini sebagai penegasan tentang
mendalamnya nilai dari wasiat ini dan bahwa ini adalah wasiat yang datangnya
dari Allah yang dengannya akan menjadi lurus kehidupan manusia dan dengannya
akan menjadi baik perkara dunia dan perkara agama.
Dalam ayat ke 151 dari surat Al An’am ini Allah berfirman:
Disini Allah memerintahkan NabiNya untuk meminta dari manusia
agar mereka mau mendengar apa yang Allah haramkan atas mereka, bahwa hak untuk
menghalalkan dan mengharamkan hanya milik Allah semata bukan hak setiap orang
atau tokoh agama. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal
dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”(QS. An Nahil: 116)
Dengan ini apa yang diharamkan oleh orang-orang jahiliah dari
binatang ternak dan semisalnya maka sesungguhnya hal itu tidak haram, karena
pengharaman mereka adalah mengada-ada bukan dari Allah.
Adapun sepuluh wasiat yang berkaitan dengan hal-hal yang
diharamkan oleh Allah adalah sebagai berikut:
Wasiat pertama: Untuk
tidak menyekutukan Allah (berbuat syirik). Karena kesyirikan adalah pokok
segala yang diharamkan dan induk segala dosa. Berkata sahabat Ibnu Mas’ud, Aku
bertanya kepada Rasululloh tentang dosa apa yang paling besar? Beliau menjawab:
Kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Kesyirikan adalah dosa yang Allah tidak akan mengampuninya
bila seorang tidak bertobat darinya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(QS. An Nisa: 48)
Sesungguhnya, terbebasnya keyakinan dari noda kesyirikan dan
kemurnian iman merupakan jalan keselamatan dan pondasi kokoh yang agama ini
dibangun diatasnya. Bila keyakinan seorang tidak lepas dari kesyirikan maka
amalan seperti apapun tidak akan berguna meski nampak baik secara lahiriah.
Telah datang berita gembira dari Nabi bagi orang yang mati dalam keadaan bersih
dari berbagai persekutuan bersama Allah dalam ibadah. Nabi bersabda:
“Telah datang kepadaku
Jibril, lalu ia memberi berita gembira kepadaku bahwa barangsiapa dari umatmu
mati dalam keadaan ia tidak menyekutukan sesuatupun dengan Alloh maka dia akan
masuk surga.”[Muttafaqun ‘alaihi]
Allah Ta’ala telah melarang segala bentuk kesyirikan, apakah
yang berkaitan dengan ibadah yaitu dengan memberikan peribadatan kepada selain
Allah, atau yang berkaitan Sifat Allah dengan memberikan sifat ketuhanan kepada
makhluk, atau kesyirikan yang berkaitan dengan perbuatan Allah. Seperti
meyakini pada sebagian makhluk bahwa ia mampu untuk mengatur alam semesta,
memberi rejeki, menyembuhkan penyakit dan semisalnya.
Wasiat kedua: adalah
keharusan berbuat baik terhadap kedua orang tua dan haramnya berbuat durhaka
kepada mereka. Durhaka kepada kedua orang tua dan menyakiti mereka dalam bentuk
apapun dan sekecil apapun adalah perkara yang diharamkan Allah. Sebagaimana
firmanNya:
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS. Al Isro’: 23)
Coba anda cermati ayat ini bagaimana Allah mengiringkan
keharusan menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan perintah
untuk berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan tentang tingginya
kedudukan orang tua serta dorongan untuk berbakti kepada mereka. Al Qur’an Al
Karim telah mengulang-ulangi penjelasan tentang berbakti kepada kedua orang tua
sebanyak tujuh kali sebagai penekanan agar seorang muslim senantiasa berpegang
teguh dengan perangai yang mulia ini terhadap kedua orang tuanya. Demikian pula
Rasululloh telah menekankan hal itu sebagaimana dalam riwayat Ibnu Mas’ud dia
berkata: “Wahai Rasululloh, amalan apa yang paling dicintai oleh Allah? Beliau
menjawab: Sholat pada waktunya. Aku bertanya, kemudian apa? Beliau menjawab:
Berbakti kepada kedua orang tua, aku bertanya: kemudian apa? Beliau menjawab:
Berjihad dijalan Allah.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dalam salah satu haditsnya beliau bersabda (yang artinya):
“Keridhoan Allah terletak pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan Allah
terletak pada kemurkaan kedua orang tua.” [Hr. Attirmidzi dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban]
Wasiat ketiga: Larangan
membunuh anak. Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan
kepada mereka.”(QS. Al An’am: 151)
Setelah Allah berwasiat kepada para anak agar berbakti kapada
kedua orang tuanya maka disini Allah berwasiat kepada para bapak untuk berbuat
baik terhadap anak. Yang demikian agar bangunan keluarga berdiri diatas kuatnya
pondasi saling mencintai dan hubungan yang baik. Perlu diketahui bahwa keluarga
adalah batu pertama untuk berdirinya suatu bangunan masyarakat. Dan dikarenakan
agama Islam ini sangat antusias dalam pembentukan masyarakat yang kuat dan
saling erat berhubungan maka Islam mengarahkan perhatiannya kepada membangun
keluarga diatas pondasi saling mencintai. Diperintahnya setiap anggota keluarga
untuk menunaikan hak kepada yang lainnya dan melaksanakan tugas yang
diembannya. Allah berpesan kepada para bapak dan ibu agar memperhatikan
anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan bagus. Termasuk dosa (besar) bila
seorang tidak memperhatikan keadaan mereka. Nabi bersabda:
“Cukup seorang (dikatakan)
melakukan dosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [Hr. Abu Daud]
Berkata Ibnu Mas’ud: Aku berkata: Wahai Rasululloh, dosa apa
yang paling besar? Beliau menjawab kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal
Dia yang menciptamu. Aku berkata: kemudian apa? Beliau bersabda: Kamu membunuh
anakmu karena takut diberi makan bersamamu (takut fakir). Aku bertanya: lalu
apa? Beliau menjawab: Kamu berzina dengan isteri tetanggamu. Lalu Rasululloh
membaca ayat:
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa
(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia
akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,”(QS. Al Furqon: 68-69)
Membunuh anak dalam bentuk apapun diharamkan. Ayat dalam
surat Al An’am 151 menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang jahiliah dahulu
dimana mereka membunuh anak-anak mereka dikarenakan fakir, sebagaimana
disebutkan dalam surat yang lain bahwa orang-orang jahiliah juga membunuh
anak-anak mereka karena khawatir terhadap masa depan yang sulit dan fakir.
Allah Ta’ala berfriman:
“Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki
kepada mereka dan juga kepadamu.”(QS. Al Isro’: 31)
Sebagaimana pula disebutkan dalam Al Qur’an tentang sebagian
kekejaman orang-orang jahiliah dimana mereka membunuh anak-anak perempuan karena
khawatir mendapat celaan. Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila bayi-bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh,”(QS. Attakwir: 8-9)
Padahal, diantara nikmat Allah yang diberikan kepada
hamba-hambaNya adalah nikmat berupa anak-anak dan cucu. Allah Ta’ala berfriman:
“Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?”(QS. An Nahl: 72)
Dan diantara bentuk mengkufuri nikmat adalah tidak
memperhatikan terhadap hak-hak anak dan mendhalimi mereka dengan pembunuhan
atau yang lainnya terlebih jika hal yang mendorong untuk melakukan itu adalah
takut fakir, padahal Allah telah menjamin rejeki hamba-hambaNya. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan tidak ada suatu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,”(QS. Hud: 6)
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Rahul Qudus
(Jibril) telah meniup pada hatiku bahwa suatu jiwa tidak akan mati sampai
sempurna ajalnya dan mengambil rejekinya secara penuh.” [Hr. Abu Nu’aim fil hilyah dan dishohihkan Al Albani dalamshohih Al Jami’]
Wasiat keempat: Larangan
mendekati perbuatan keji (seperti zina) baik yang nampak atau tersembunyi.
Wasiat yang mulia ini tentunya memiliki tujuan agar masyarakat muslim itu
bersih dari kebobrokan moral dan kekejian. Supaya menjadi sebuah masyarakat
yang bersih luar dalamnya. Dan kekejian yang dimaksud adalah dosa-dosa besar,
namun bisa di maksudkan disini secara lebih khusus adalah perbuatan zina. Al
Qur’an Al Karim telah menyebutkan tentang haramnya perbuatan-perbuatan keji
secara berulang-ulang baik yang nampak ataupun tersembunyi. Allah Ta’ala
berfirman:
“Katakanlah: “Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.”(QS. Al A’rof: 33)
Wasiat kelima: Tidak
membunuh jiwa yang di larang untuk di bunuh.
Allah telah menjaga jiwa manusia sehingga tidak boleh seorang
melenyapkan nyawa orang lain tanpa ada kebolehan dari syariat Allah. Nabi
bersabda:
“Tidak halal darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan
bahwa aku (Muhammad) adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari
tiga (sebab): orang yang sudah menikah dia berzina, membunuh jiwa (maka)
dibalas dengan dibunuh dan yang murtad dari agamanya yang menyelisihi jama’ah
(kaum muslimin).” [Hr. Al Bukhari dan Muslim]
Hadits ini jelas bahwa ada tiga golongan yang boleh bagi
penguasa untuk membunuh mereka yaitu: Seorang yang melakukan perzinaan padahal
dia sudah menikah, seorang yang membunuh orang lain dengan sengaja maka dia
dikishosh (dihukum balas) dengan di bunuh dan yang ketiga adalah yang murtad
dari agama Islam..
Larangan dari membunuh manusia tidak hanya terbatas terhadap
kaum muslimin namun juga orang yang bukan muslim yang dalam ikatan perjanjian.
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):“Barangsiapa membunuh orang
(kafir) yang dalam ikatan perjanjian (dengan muslimin) maka ia tidak akan
mencium baunya surga.” [Hr. Al Bukhari]
Sungguh agama Islam sangat keras tentang larangan membunuh
jiwa tanpa hak, pelaku pembunuhan menurut islam merupakan kejahatan yang luar
biasa jahatnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal
ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.”(QS. An Nisa: 93)
Nabi juga bersabda dalam suatu haditsnya (yang artinya): “Lenyapnya dunia lebih ringan
menurut Allah ketimbang membunuh seorang mukmin tanpa hak…” [Hr. Ibnu Majah dan lain-lainnya]
Wasiat keenam: Tidak
mencaplok harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia
dewasa.”(QS. Al An’am: 152)
Ini merupakan wasiat Allah yang mulia yang mengharuskan
seorang untuk memperhatikan dan menjaga anak yatim beserta hartanya. Dan
seorang anak di katakan yatim bila bapaknya meninggal dunia sementara anak itu
belum baligh.
Allah Ta’ala melarang dari mendekati harta anak yatim dengan
tujuan yang tidak baik, tentunya lebih keras lagi larangan dari mencaplok harta
anak yatim. Dibolehkannya mengambil harta anak yatim bila orang tersebut adalah
yang mengembangkan harta anak yatim, maka boleh baginya untuk mengambil
sewajarnya sebagai upah dari jerih payahnya dalam merawat dan mengembangkan
harta anak yatim. Orang yang ditugasi merawat harta anak yatim hendaknya
melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya dengan tidak mendholimi hartanya sampai
anak yatim itu baligh dan bisa menjaga hartanya sendiri. Allah Ta’ala
berfirman:
“Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya.”(QS. An Nisa: 6)
Namun hal ini bukan berarti boleh bagi seorang untuk
mendholimi harta anak yatim setelah dia baligh. Karena harta anak yatim setelah
dia baligh itu sama kehormatannya seperti kehormatan harta-harta selainnya dari
kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengharamkan perbuatan mendholimi
seorang muslim dalam segala keadaannya. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Setiap muslim terhadap
muslim yang lainnya itu haram (terjaga) kehormatannya, hartanya dan darahnya.” [Hr. Muslim]
Islam telah memperhatikan terhadap anak yatim dan mengajak
untuk menjaganya dan memperhatikan kondisinya serta mengancam dari
mendholiminya dan mencaplok hartanya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”(QS. An Nisa: 10)
Demikianlah balasan bagi orang yang tidak memiliki sifat
belas kasihan terhadap anak yatim yang sangat membutuhkan belaian kasih sayang
setelah bapaknya meninggal dunia. Betapa bengisnya hati seorang yang tega
menyakiti perasaan anak yang lemah seperti itu. Bukankah seharusnya seorang itu
iba dan menaruh perasaan kasih sayang terhadapnya sehingga terdorong untuk
menyantuninya dan merawatnya? Rasulullah bersabda (yang artinya): “Saya beserta
orang yang mengasuh anak yatim berada disorga seperti ini.” Beliau berisyarat
dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya. [Hr. Al Bukhari dll]
Wasiat ketujuh: Tidak
curang dalam menakar dan menimbang. Allah berfirman:
“Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS. Al An’am: 152)
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman untuk
menegakkan keadilan dalam transaksi jual beli mereka yaitu dengan jujur dalam
menakar dan menimbang, demikian pula agar mereka berlaku adil dalam segala
hubungan diantara mereka. Sehingga seorang tidak menuntut yang lebih dari
haknya dan tidak pula mengurangi hak orang lain. Sungguh binasanya umat-umat
itu disebabkan oleh kedholiman yang mereka lakukan. Nabi Shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): “Hati-hatilah kalian dari
berbuat dholim karena kedholiman adalah kegelapan pada hari kiamat.” [Hr. Muslim]
Allah Ta’ala juga telah menghabarkan bahwa orang-orang yang
curang dalam menakar dan menimbang bagi mereka adzab yang pedih, sebagaimana
dalam firmanNya:
“Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifin: 1-3)
Dahulu, kaumnya Nabi Syu’aib dibinasakan oleh Allah karena
mereka berbuat dhalim atau curang dalam menakar dan menimbang. Allah Ta’ala
berfirman dengan menyebutkan ucapan Nabi Syu’aib terhadap kaumnya:
“Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”(QS. Asy Syu’aro: 181-183)
Pesan dari Allah kepada manusia untuk berlaku jujur dalam
menakarkan dan menimbangkan hak-hak orang agar para hamba tahu bahwa aktifitas
mereka selalu di pantau oleh Allah. Agar mereka tahu bahwa baiknya keadaan
mereka tatkala berpegang dengan petunjuk Allah sedangkan kebinasaan tatkala
mereka berpaling dari perintah Allah. Adapun lanjutan friman
Allah:
“Kami tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”(QS. Al An’am: 152)
Maka ini adalah kemudahan dari Allah terhadap para hambaNya.
Karena menjaga kejujuran atau keadilan yang mutlak yang tidak pernah keliru
dalam menakar dan menimbang terkadang sulit terwujud. Oleh karena itu, seorang
punjual atau pedagang hendaknya mencurahkan segala upayanya untuk terwujudnya
ketepatan dalam hal takaran dan timbangan. Bila kemudian setelah dia usaha
untuk jujur namun terjadi kekeliruan maka dia tidak berdosa karena Allah tidak
membebani seorang diatas kemampuannya.
Wasiat kedelapan: Yaitu agar berkata yang jujur. Allah
berfirman:
“Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu),”(QS. Al An’am: 152)
Maksudnya adalah: Apabila kalian mengatakan suatu perkataan
yang sifatnya memutuskan atau menghukumi atau suatu persaksian atau meluruskan
suatu perkara maka hendaknya ucapan kalian itu bersumber dari kebenaran dan
keadilan, tanpa cenderung kepada hawa nafsu atau menyimpang karena suatu
manfaat tertentu. Yang demikian karena kebenaran lebih berhak untuk diikuti.
Pada wasiat ini Allah meminta dari kita agar kita selalu
bersama kejujuran dalam segala ucapan, seperti apapun hubungan kita dengan
orang yang kita bersaksi untuknya atau kita hukumi atasnya.
Sungguh, diantara faktor terpenting seorang tidak jujur dalam
memberikan persaksian dan keputusan adalah pengaruh kekerabatan , harapan
mendapat kemanfaatan baginya atau terhindarnya dari suatu mudhorrot. Demikian
pula faktor ambisi mencari kedudukan disisi penguasa atau takut terhadap
penguasa.
Oleh karena itu, wasiat ini adalah suatu bentuk wasiat dari
Alloh untuk mendidik diri seorang muslim agar selalu menetapi kebenaran, dan
berdiri di sisi kebenaran seperti apapun menggodanya ambis-ambisi sesaat yang
terpampang dihadapan. Nabi bersabda (yang artinya): Demi Dzat yang jiwa Muhamad
di tanganNya (Demi Alloh) , seandainya Fatimah puteri Muhamad itu mencuri
niscaya (Nabi) Muhamad (bapaknya) akan memotong tangannya .
Al Quran Al karim telah menggariskan keadilan yang mulia ini
didalam surat Annisa ayat 135 yaitu:
“Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.”
Wasiat kesembilan: Menetapi perjanjian terhadap Allah. Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan penuhilah janji Allah.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,”(QS. Al An’am: 152)
Segala yang Allah perintahkan hambaNya untuk menjalankannya
atau apa yang dilarang untuk melakukannya demikian pula apa yang Allah
wasiatkan, ini semua harus dijaga. Karena kita semua adalah hamba Allah yang
harus tunduk terhadap peraturanNya.
Allah Ta’ala telah berjanji dengan memberikan pahala kepada
orang yang melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, sebagaimana
firmanNya:
“Hai orang-orang yang
beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi
kamu jika kamu mengetahuinya,niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. Itulah
keberuntungan yang besar.”(QS. Ash Shof: 10-12)
Inilah janji dari Allah bagi yang beriman dan berjihad di
jalanNya, bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya kedalam
surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Orang yang senantiasa menetapi
perjanjian terhadap Allah adalah orang-orang yang benar-benar memiliki akal
fikiran dimana ia tahu tentang maslahat dirinya. Allah Ta’ala berfirman:
“Hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi
janji Allah dan tidak merusak perjanjian,”(QS. Ar Ra’du: 19-20)
Wasiat kesepuluh: Hanya menempuh jalan Allah yang lurus. Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al An’am: 153)
Jalannya Allah adalah agamaNya yang dengannya Allah mengutus
para rasulNya, yaitu agama Islam. Wajib atas manusia untuk mengikuti agama ini
karena ia yang akan mengantarkan kepada surga. Adapun jalan selain islam maka
akan menyimpangkan seorang dari surga dan mengantarkan kepada kebinasaan.
Jalan yang lurus adalah apa yang ditempuh oleh Nabi Muhammad,
para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam beragama. Inilah satu-satunya
jalan yang benar dalam beragama, maka barangsiapa mencari jalan kebenaran
selain jalan mereka maka dia tidak akan sampai kepada tujuan. Adapun
jalan-jalan kebatilan maka begitu banyaknya sebagaimana tersebut dalam hadits
riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah menggaris suatu garis (yang lurus) dengan
tangannya kemudian beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Inilah jalan Allah yang
lurus.”
Lalu beliau menggaris disebelah kanan dari kiri dari garis
itu garis-garis yang banyak lalu beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jalan-jalan ini tidak ada
darinya jalan kecuali padanya ada syithon yang mengajak kepadanya.”
Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat:
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”(QS. Al An’am: 153)
Demikianlah Allah tutup wasiat-wasiat yang mulia dengan
wasiat ini sebagai penekanan bahwa berpegang teguh dengan wasiat-wasiat
sebelumnya merupakan jalan yang lurus yang mengantarkan orang yang
menjalankannya kepada keselamatan dan kesuksesan didunia dan di akhirat.
[Disarikan dari Mudzakkiroh fittafsir
dan Al washoya Al ‘Asyr dari fatawa Asy Syaikh Ibnu Utsaimin]. (Sumber: assalafiyah kebumen)
0 komentar:
Posting Komentar