Kita paling
tidak bisa lepas dari sifat yang satu ini. Jika memiliki harta berlebih,
handphone yang smart, yang terlihat mentereng dan mahal, pasti ingin
sekali dipamer-pamerkan. Selalu berbangga dengan harta dan perhiasan dunia,
itulah jadi watak sebagian kita.
Semoga Allah
memberikan taufik pada kita untuk merenungkan surat berikut ini.
“Bermegah-megahan telah melalaikan
kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (7) kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Saling Berbangga dengan Anak dan Harta
Inilah watak
manusia saling berbangga dengan keturunan dan harta. Lihatlah bagaimana jika
kita memiliki anak yang pintar, pasti akan dibanggakan. Begitu pula ketika kita
memiliki harta mewah, sama halnya dengan hal tadi.
Ibnu Jarir
menyebutkan tafsiran ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” dari Qotadah. Maksud ayat
tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih banyak dari keturunan si fulan,
atau keturunan A lebih unggul dari keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan
hingga mereka mati dalam keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Yang
dimaksud berbangga di sini adalah dalam harta sebagaimana tafsiran sebagian
ulama. (Lihat Tafsir Ath Thobari, 24: 599)
Ibnu Katsir
berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatan dan perhiasannya telah
melalaikan kalian dari mencari akhirat. Hal itu pun berlanjut dan baru berhenti
ketika datang maut dan ketika berada di alam kubur saat kalian menjadi penghuni
alam tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Al Hasan Al
Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta
benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 14: 442)
Harta dan Kebanggaan akan Sirna
Berbangga-bangga
seperti di atas sehingga membuat lalai dari ketaatan baru berhenti ketika
seseorang masuk ke alam kubur.
Dari
Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah
melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.”
Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah
yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan
juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Hamba berkata, “Harta-hartaku.”
Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia
kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan.
Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim no. 2959)
Dari Anas
bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Yang akan mengiringi mayit (hingga
ke kubur) ada tiga. Yang dua akan kembali, sedangkan yang satu akan
menemaninya. Yang mengiringinya tadi adalah keluarga, harta dan amalnya.
Keluarga dan hartanya akan kembali. Sedangkan yang tetap menemani hanyalah
amalnya.” (HR.
Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 2960)
Dari Anas
bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika manusia berada di usia senja, ada dua
hal yang tersisa baginya: sifat tamak dan banyak angan-angan.” (HR. Ahmad, 3:
115. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Al Hafizh
Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq menyebutkan biografi Al Ahnaf bin Qois –nama
yang biasa kita kenal adalah Adh Dhohak-, bahwasanya beliau melihat dirham di
genggaman tangan seseorang. Lantas Al Ahnaf bertanya, “Dirham ini milik siapa?”
“Milik saya”, jawabnya. Al Ahnaf berkata, “Harta tersebut jadi milikmu jika
engkau menginfakkannya untuk mengharap pahala atau dalam rangka bersyukur.”
Kemudian Al Ahnaf berkata seperti perkataan penyair,
Engkau akan menjadi budak harta jika engkau menahan
harta tersebut,
Namun jika engkau menginfakkannya, harta tersebut
barulah jadi milikmu. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 443)
Kenapa
dikatakan harta yang disedekahkan atau disalurkan sebagai nafkah itulah yang
jadi milik kita? Jawabnya, karena harta seperti inilah yang akan kita nikmati
sebagai pahala di akhirat kelak. Sedangkan harta yang kita gunakan selain
tujuan itu, hanyalah akan sirna dan tidak bermanfaat di akhirat kelak.
Sekali-kali Lihatlah Orang di Bawahmu
Suatu saat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada
Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): (1) Beliau
memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau
memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta
dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku.
...” (HR.
Ahmad, 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Pandanglah orang yang berada di
bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang
berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu
tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Al Ghozali
–rahimahullah- mengatakan, “Setan selamanya akan memalingkan pandangan manusia
pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan
padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan memiliki
harta supaya engkau dapat bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan
akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya
(yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa
rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.”
(Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Mengapa Mesti Berbangga-bangga?
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta
hanyalah titipan.
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta
yang bermanfaat jika digunakan dalam kebaikan.
Semua yang digunakan selain untuk jalan kebaikan,
tentu akan sirna dan sia-sia.
Seharusnya yang kita banggakan adalah bagaimana
keimanan kita, bagaimana ketakwaan kita di sisi Allah, bagaimana kita bisa
amanat dalam menggunakan harta titipan ilahi.
Al Qurthubi
pernah menerangkan mengenai ayat berikut ini,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7). Beliau
berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa harta kalian bukanlah miliki kalian pada
hakikatnya. Kalian hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik
harta tersebut yang sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang
ada dengan sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar
sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”
Lantas Al
Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut, “Adapun orang-orang yang beriman dan
beramal sholih di antara kalian, lalu mereka menginfakkan harta mereka di jalan
Allah, bagi mereka balasan yang besar yaitu SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi,
17/238)
Raihlah
surga Allah, raihlah jannah-Nya. Itulah yang mesti kita cari dan kita kejar.
“Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Sesungguhnya
kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Al Hasan Al
Bashri mengatakan,
“Apabila engkau melihat seseorang
mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Ya Allah,
jauhkanlah kami dari sifat sombong dan membanggakan diri dalam hal harta dan
dunia. Karuniakanlah pada kami sifat qona’ah, selalu merasa berkecukupan.
“Allahumma inni as-alukal huda wat
tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf
–menjauhkan diri dari hal haram- dan sifat ghina –hidup berkecukupan-) (HR.
Muslim no. 2721)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. (Sumber:rumasyo)
bagus tulisannya mas...makasih ya mas...
BalasHapus