Mengapa surat al-Ikhlas senlai sepertiga
al-Quran, dan apa maksudnya?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Keterangan bahwa surat al-Ikhlas senilai sepertiga
al-Quran bersumber dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Di suatu malam, ada seorang sahabat yang mendengar
temannya membaca surat al-Ikhlas dan diulang-ulang. Pagi harinya, sahabat ini
melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan nada sedikit
meremehkan amalnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
surat al-Ikhlas itu senilai sepertiga al-Quran.”
(HR. Bukhari 5013 dan Ahmad 11612).
Dalam hadis lain, dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat,
“Sanggupkah kalian membaca sepertiga al-Quran
dalam semalam?”
Mereka bertanya, ‘Bagaimana caranya kita membaca 1/3
al-Quran?’
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
“Qul huwallahu ahad senilai sepertiga
al-Quran.” (HR. Muslim 1922).
Makna al-Ikhlas 1/3 al-Quran
Dalam al-Quran, ada 3 pembahasan pokok:
[1] Hukum, seperti ayat perintah, larangan, halal, haram,
dst.
[2] Janji dan ancaman, seperti ayat yang mengupas tentang
surga, neraka, balasan, termasuk kisah orang soleh dan kebahagiaan yang mereka
dapatkan dan kisah orang jahat, berikut kesengsaraan yang mereka dapatkan.
[3] Berita tentang Allah, yaitu semua penjelasan mengenai
nama dan sifat Allah.
Karena surat al-Ikhlas murni membahas masalah tauhid,
bercerita tentang siapakah Allah Ta’ala, maka kandungan makna surat ini menyapu
sepertiga bagian dari al-Quran.
Kita simak keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Senilai
sepertiga al-Quran” dipahami sebagian ulama sesuai makna dzahirnya. Mereka
menyatakan, bahwa surat al-Ikhlas senilai sepertiga dilihat dari kandungan
makna al-Quran. Karena isi Quran adalah hukum, berita, dan tauhid. Sementara
surat al-Ikhlas mencakup pembahasan tauhid, sehingga dinilai sepertiga
berdasarkan tinjauan ini. (Fathul
Bari, 9/61)
Penjelasan kedua,
Bahwa isi quran secara umum bisa kita bagi menjadi 2:
[1] Kalimat Insya’ (non-berita): berisi perintah,
larangan, halal-haram, janji dan ancaman, dst.
[2] Kalimat khabar (berita): dan berita dalam al-Quran
ada 2:
[a] Berita tentang makhluk: kisah orang masa silam, baik
orang soleh maupun orang jahat.
[b] Berita tentang khaliq: penjelasan tentang siapakah
Allah, berikut semua nama dan sifat-Nya.
Mengingat surat al-Ikhlas hanya berisi berita tentang
Allah, maka surat ini menyapu sepertiga makna al-Quran.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
Surat al-Ikhlas senilai 1/3 al-Quran, karena isi al-Quran
ada 2: khabar dan Insya’. Untuk Insya’ mencakup perintah, larangan, dan perkaran
mubah. Sementara khabar, di sana ada khabar tentang kkhaliq dan khabar tentang
ciptaan-Nya. Dan surat al-Ikhlas hanya murni membahas khabar tentang Allah.
(Fathul Bari, 9/61)
Pahalanya Senilai Membaca 1/3 al-Quran
Allah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya memberikan
pahala ibadah kepada hamba-Nya dengan nilai yang beraneka ragam. Ada ibadah
yang diberi nilai besar dan ada yang dinilai kecil. Sesuai dengan hikmah Allah.
sehingga, umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang usianya relatif
pendek, bisa mendapatkan pahala besar tanpa harus melakukan amal yang sangat
banyak.
Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi oleh
Allah lailatul qadar, yang nilainya lebih baik dari pada 1000 bulan. Ada juga
masjidil haram, siapa yang shalat di sana dinilai 100.000 kali shalat. Kemudian
surat al-Ikhlas, siapa membacanya sekali, dinilai mendapatkan pahala membaca
1/3 al-Quran.
Dan Allah Maha Kaya untuk memberikan balasan apapun
kepada hamba-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Senilai dalam Pahala BUKAN Senilai dalam Amal
Kami ingatkan agar kita membedakan antara al-Jaza’ dengan
al-ijza’.
Al-jaza’ artinya
senilai dalam pahala yang dijanjikan
Al-Ijza’ artinya
senilai dalam amal yang digantikan.
Membaca surat al-Ikhlas mendapat nilai seperti membaca
1/3 al-Quran maknanya adalah senilai dalam pahala (al-Jaza’). Bukan senilai
dalam amal (al-Ijza’).
Sehingga, misalnya ada orang yang bernadzar untuk membaca
satu al-Quran, maka dia tidak boleh hanya membaca surat al-Ikhlas 3 kali,
karena keyakinan senilai dengan satu al-Quran. Semacam ini tidak boleh. Karena
dia belum dianggap membaca seluruh al-Quran, meskipun dia mendapat pahala
membaca satu al-Quran.
Sebagaimana ketika ada orang yang shalat 2 rakaat shalat
wajib di masjidil haram. Bukan berarti setelah itu dia boleh tidak shalat
selama 50 puluh tahun karena sudah memiliki pahala 100.000 kali shalat wajib.
Benar dia mendapatkan pahala senilai 100.000 kali shalat,
tapi dia belum disebut telah melaksanakan shalat wajib selama puluhan tahun
itu.
Berbeda dengan amal yang memenuhi al-Ijza’, seperti
jumatan, yang dia menggantikan shalat dzuhur. Sehingga orang yang shalat
jumatan tidak perlu shalat dzuhur. Atau orang yang tayammum karena udzur, dia
tidak perlu untuk wudhu, karena tayammum senilai dengan amalan wudhu bagi orang
yang punya udzur.
Syaikhul Islam mengatakan,
Al-Quran, dibutuhkan manusia keterangan mengenai
perintah, larangan, dan semua kisahyang ada, meskipun tauhid menjadi kajian
paling penting dari semua itu. Ketika seseorang butuh untuk mengetahui perintah
dan larangan dalam masalah perbuatan, dan butuh
untuk merenungi setiap kisah, janji dan ancaman, maka kajian lainnya
tidak bisa menutupi kebutuhan dia pada
itu semua. Kajian tauhid tidak bisa menggantikan kajian perintah dan larangan,
demikian pula masalah kisah, tidak bisa menggantika perintah dan larangan atau
sebaliknya. Namun semua yang Allah turunkan bermanfaat bagi manusia dan
dibutuhkan mereka semua.
Lalu beliau mengatakan,
Jika seseorang membaca surat al-Ikhlas, dia mendapat
pahala senilai pahala sepertiga al-Quran. Namun bukan berarti pahala yang dia
dapatkan sepadan dengan bentuk pahala untuk ayat-ayat Quran yang lainnya.
Bahkan bisa jadi dia butuh bentuk pahala dari memahami perintah, larangan, dan
kisah al-Quran. Sehingga surat al-Ikhlas tidak bisa menggantikan semua itu. (Majmu’
al-Fatawa, 17/138).
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
Konsultasisyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar