Muhammad bin Hatim Warraq Al-Bukhari 
rahimahullah menceritakan, “Aku bermimpi melihat Bukhari berjalan di belakang 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali Nabi mengangkat telapak kakinya 
maka Abu Abdillah (Bukhari) pun meletakkan telapak kakinya di situ.” (Hadyu 
Sari, hal. 656).
Nama dan nasabnya
Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640).
Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya yaitu Isma’il sudah meninggal sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Ghinjar dan Al-Lalika’i menceritakan bahwa ketika kecil kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh (lihat Hadyu Sari, hal. 640).
Sanjungan para ulama kepadanya
Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) adalah lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Ahmad bin Hanbal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan : Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646).
Abu Mush’ab rahimahullah (di dalam cetakan tertulis Abu Mu’shab, sepertinya ini salah tulis karena dalam kalimat sesudahya ditulis Abu Mush’ab, pent) Ahmad bin Abi Bakr Az Zuhri mengatakan, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) adalah lebih fakih dan lebih mengerti hadits dalam pandangan kami daripada Ahmad bin Hanbal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik (lebih senior daripada Imam Ahmad, pent) dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan : Kedua orang ini sama dalam hal hadits dan fiqih.” (Hadyu Sari, hal. 646).
Qutaibah bin Sa’id rahimahullah mengatakan, 
“Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum 
pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti 
Muhammad bin Isma’il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para 
sahabat.” (Hadyu Sari, hal. 646).
Muhammad bin Yusuf Al Hamdani rahimahullah 
menceritakan : Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus perceraian dalam 
keadaan mabuk, lalu masuklah Muhammad bin Isma’il ke ruangan tersebut. Seketika 
itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hanbal, Ishaq 
bin Rahawaih, dan Ali bin Madini yang telah dihadirkan oleh Allah untuk menjawab 
pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada Bukhari (Hadyu Sari, hal. 
646).
Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, 
“Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin 
Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647).
Bundar Muhammad bin Basyar rahimahullah 
mengatakan tentang Bukhari, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman 
kami.” (Hadyu Sari, hal. 647).
Hasyid bin Isma’il rahimahullah menceritakan : 
Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. 
Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang 
seorang pemimpin para fukaha.” (Hadyu Sari, hal. 647).
Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Sahih 
Muslim, murid Imam Bukhari- mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak 
ada orang yang seperti dirimu.” (Hadyu Sari, hal. 650).
Kekuatan hafalan Imam Bukhari dan 
kecerdasannya
Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan : Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?”. Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab akupun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits yang lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’. Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar.’. Menangapi cerita Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?”. Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640).
Muhammad bin Abi Hatim Warraq Al Bukhari menceritakan : Aku mendengar Bukhari mengatakan, “Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis (kuttab).” Aku berkata kepadanya, “Berapakah umurmu ketika itu?”. Dia menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari Kuttab akupun bolak-balik menghadiri majelis haditsnya Ad-Dakhili dan ulama hadits yang lainnya. Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’. Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar.’. Menangapi cerita Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?”. Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640).
Hasyid bin Isma’il menceritakan : Dahulu 
Bukhari biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masayikh 
(para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah 
mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu 
kamipun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa 
memiliki lebih banyak hadits daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku 
hadits-hadits yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan 
catatan-catatan hadits tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadits yang lain 
lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dia membacakan hadits-hadits itu semua 
dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus 
membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya 
(Hadyu Sari, hal. 641).
Muhammad bin Al Azhar As Sijistani rahimahullah 
menceritakan : Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan 
Bukhari juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada 
orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia 
tidak mencatat?”. Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan 
menulisnya berdasarkan hafalannya.” (Hadyu Sari, hal. 641).
Suatu ketika Bukhari rahimahullah datang ke 
Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin 
menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang 
telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan 
matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian 
seratus hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 
10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara 
mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan maka Bukhari 
menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh 
orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut 
satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits 
yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang 
tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya 
masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu 
hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan 
Bukhari dan tingginya kedudukan beliau (lihat Hadyu Sari, hal. 652).
Muhammad bin Hamdawaih rahimahullah 
menceritakan : Aku pernah mendengar Bukhari mengatakan, “Aku hafal seratus ribu 
hadits sahih.” (Hadyu Sari, hal. 654). Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku 
menyusun kitab Al-Jami’ (Sahih Bukhari, pent) ini dari enam ratus ribu hadits 
yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya 
sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” (Hadyu Sari, hal. 656).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan 
bahwa apabila Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan, dan pendengarannya 
sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat 
di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya (lihat Hadyu Sari, hal. 
650).
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas 
jasa-jasa beliau dengan sebaik-baik balasan dan memasukkannya ke dalam Surga 
Firdaus yang tinggi. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang 
dapat melanjutkan perjuangannya dalam membela Sunnah Rasulullah shallallahu 
‘alaihi wa sallam dan menyebarkannya kepada umat manusia. Wa shallallahu ‘ala 
Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 
‘alamin. - offlineabumushlih
 

 
 
 
 
 

0 komentar:
Posting Komentar