Allah l berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia:
“Setiap jiwa pasti akan merasakan mati.” (Ali Imran: 185)
Demikianlah, tidak ada yang hidup kekal di muka bumi ini. Semua akan kembali kepada-Nya. Kehidupan di dunia ini fana, tidak abadi, sebagaimana sifat dunia sendiri yang akan berakhir dengan kehancuran. Setelah itu kehidupan berpindah pada keabadian, yaitu kehidupan akhirat, bisa jadi di surga dan bisa jadi di neraka. Na’udzubillah min nar! (Kita berlindung kepada Allah l dari neraka!).
Kapan hal itu terjadi? Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Dia yang di atas. Akan tetapi, itu pasti terjadi. Sesuatu yang pasti terjadi berarti dia dekat….
Ada sebuah nasihat bak mutiara bertaburan dalam masalah ini, dari seorang alim yang mulia yang telah mendahului kita kembali ke negeri keabadian di penantian alam barzakh, Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin, semoga Allah l merahmati beliau, melapangkan beliau di dalam kuburnya, dan memberikan cahaya kepada beliau. Beliau t mengingatkan, “Bertakwalah kalian kepada Allah l dan perbanyaklah mengingat mati serta persiapkan diri kalian untuk menghadapi mati dengan melakukan amal saleh, sebelum kematian menjemput kalian dengan tiba-tiba. Ketika itu tidak ada tempat untuk lari dan tidak bisa melepaskan diri.
Ambillah pelajaran dari hari-hari dan malam-malam yang ada, karena waktu-waktu yang berlalu merupakan perbendaharaan untuk beramal dan merupakan kadar ajal yang akan berlalu seluruhnya dan akan hilang dengan cepat. Ketahuilah, setiap waktu, bahkan setiap kedipan mata, akan mendekatkan kalian kepada negeri akhirat serta menjauhkan kalian dari dunia yang kalian huni saat ini. Oleh karena itu, janganlah kalian tertipu dan menunda-nunda kesempatan. Semarakkanlah waktu-waktu yang tersisa dengan ketaatan kepada Al-Maula (Allah l). Giatlah melakukan amal-amal saleh. Hal itu lebih pantas dan lebih utama bagi kalian.
Sungguh, amal-amal saleh adalah teman di dalam kubur, karena apabila seorang hamba meninggal dunia maka yang mengantarnya ke kuburnya ada tiga. Yang dua kembali, sedangkan yang satu tetap bersamanya. Keluar bersamanya menuju kuburnya: keluarga, harta, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedangkan yang tetap menemaninya hanyalah amalnya1. Bila amalnya adalah amal saleh, sungguh dia sebaik-baik teman. Apabila sebaliknya, sungguh kerugian yang nyata kan menyertai.
Beruntunglah orang yang tahu keberadaan akhirat lalu dia mengidamkannya dan menukar dunianya guna meraih akhiratnya. Dia mengetahui hakikat dunia, hingga dia pun tidak mempertautkan hatinya dengan dunia dan tidak condong kepadanya.
Sungguh merugi orang yang tertipu dengan dunia hingga dia cenderung kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Dia sama sekali tidak menoleh akhiratnya dan tidak melakukan usaha untuk meraih keberuntungan di sana.
Bagaimana mungkin seorang yang berakal bisa senang tersibukkan dengan remukan dan serpihan yang fana daripada kenikmatan yang kekal abadi?
Bagaimana dia bisa ridha berlomba-lomba meraih dunia dan meninggalkan berlomba-lomba meraih surga-surga yang penuh kenikmatan? Bersamaan dengan itu, apabila dia berlomba untuk dunia saja, niscaya akan luput darinya dunia dan akhirat. Justru apabila dia berupaya untuk akhiratnya, dia akan beroleh dunia dan akhirat.
Umar ibnu Abdil Aziz2 t dalam khutbahnya yang terakhir mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Kalian tidaklah diciptakan dengan sia-sia dan ditinggalkan begitu saja3. Sungguh kalian punya tempat kembali yang Allah l tetapkan guna memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Nya. Sungguh merugi orang yang keluar dari rahmat Allah l yang luasnya meliputi segala sesuatu dan diharamkan dari surga yang seluas langit-langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu, tadinya kalian berada di tulang sulbi orang-orang yang telah tiada, dan orang-orang yang masih tinggal/tersisa akan mewarisi sepeninggal kalian. Demikianlah, hingga kalian dikembalikan kepada sebaik-baik Zat yang mewarisi. Setiap hari, pagi dan petang, kalian mengantarkan seseorang kepada Allah l, karena sungguh telah datang kematiannya dan telah ditetapkan ajalnya. Kalian mengantarkannya dan memasukkannya dalam belahan bumi, tanpa beralaskan bantal maupun hamparan. Telah terlepas segala hubungan. Dia telah berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Kini, dia berdiam dalam tanah dan menghadap kepada hisab. Dia tidak lagi membutuhkan harta yang ditinggalkannya, karena yang sekarang dibutuhkannya adalah amal-amalnya yang telah lalu. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah l, wahai hamba-hamba Allah l, sebelum datang kematian kepada kalian. Aku mengucapkan kalimat-kalimat ini kepada kalian dalam keadaan aku tidak mengetahui ada seorang pun yang lebih banyak dosanya daripada diriku. Akan tetapi, aku memohon ampun kepada Allah l dan bertaubat kepada-Nya.”
Selesai berucap demikian, Umar ibnu Abdil Aziz t mengangkat ujung rida’nya dan menangis hingga tersedu-sedu. Kemudian beliau turun dari mimbar dan setelahnya tidak pernah kembali ke mimbar tersebut hingga beliau meninggal dunia. Semoga rahmat Allah l atas beliau.
Allah l berfirman:
“Dan berilah perumpamaan kehidupan dunia kepada mereka, yaitu seperti air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, adapun amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
Wallahu ta’ala a’am bish-shawab. (Dinukil dari kitab adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, 6/173—175)
Demikianlah, tidak ada yang hidup kekal di muka bumi ini. Semua akan kembali kepada-Nya. Kehidupan di dunia ini fana, tidak abadi, sebagaimana sifat dunia sendiri yang akan berakhir dengan kehancuran. Setelah itu kehidupan berpindah pada keabadian, yaitu kehidupan akhirat, bisa jadi di surga dan bisa jadi di neraka. Na’udzubillah min nar! (Kita berlindung kepada Allah l dari neraka!).
Kapan hal itu terjadi? Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Dia yang di atas. Akan tetapi, itu pasti terjadi. Sesuatu yang pasti terjadi berarti dia dekat….
Ada sebuah nasihat bak mutiara bertaburan dalam masalah ini, dari seorang alim yang mulia yang telah mendahului kita kembali ke negeri keabadian di penantian alam barzakh, Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin, semoga Allah l merahmati beliau, melapangkan beliau di dalam kuburnya, dan memberikan cahaya kepada beliau. Beliau t mengingatkan, “Bertakwalah kalian kepada Allah l dan perbanyaklah mengingat mati serta persiapkan diri kalian untuk menghadapi mati dengan melakukan amal saleh, sebelum kematian menjemput kalian dengan tiba-tiba. Ketika itu tidak ada tempat untuk lari dan tidak bisa melepaskan diri.
Ambillah pelajaran dari hari-hari dan malam-malam yang ada, karena waktu-waktu yang berlalu merupakan perbendaharaan untuk beramal dan merupakan kadar ajal yang akan berlalu seluruhnya dan akan hilang dengan cepat. Ketahuilah, setiap waktu, bahkan setiap kedipan mata, akan mendekatkan kalian kepada negeri akhirat serta menjauhkan kalian dari dunia yang kalian huni saat ini. Oleh karena itu, janganlah kalian tertipu dan menunda-nunda kesempatan. Semarakkanlah waktu-waktu yang tersisa dengan ketaatan kepada Al-Maula (Allah l). Giatlah melakukan amal-amal saleh. Hal itu lebih pantas dan lebih utama bagi kalian.
Sungguh, amal-amal saleh adalah teman di dalam kubur, karena apabila seorang hamba meninggal dunia maka yang mengantarnya ke kuburnya ada tiga. Yang dua kembali, sedangkan yang satu tetap bersamanya. Keluar bersamanya menuju kuburnya: keluarga, harta, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedangkan yang tetap menemaninya hanyalah amalnya1. Bila amalnya adalah amal saleh, sungguh dia sebaik-baik teman. Apabila sebaliknya, sungguh kerugian yang nyata kan menyertai.
Beruntunglah orang yang tahu keberadaan akhirat lalu dia mengidamkannya dan menukar dunianya guna meraih akhiratnya. Dia mengetahui hakikat dunia, hingga dia pun tidak mempertautkan hatinya dengan dunia dan tidak condong kepadanya.
Sungguh merugi orang yang tertipu dengan dunia hingga dia cenderung kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Dia sama sekali tidak menoleh akhiratnya dan tidak melakukan usaha untuk meraih keberuntungan di sana.
Bagaimana mungkin seorang yang berakal bisa senang tersibukkan dengan remukan dan serpihan yang fana daripada kenikmatan yang kekal abadi?
Bagaimana dia bisa ridha berlomba-lomba meraih dunia dan meninggalkan berlomba-lomba meraih surga-surga yang penuh kenikmatan? Bersamaan dengan itu, apabila dia berlomba untuk dunia saja, niscaya akan luput darinya dunia dan akhirat. Justru apabila dia berupaya untuk akhiratnya, dia akan beroleh dunia dan akhirat.
Umar ibnu Abdil Aziz2 t dalam khutbahnya yang terakhir mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Kalian tidaklah diciptakan dengan sia-sia dan ditinggalkan begitu saja3. Sungguh kalian punya tempat kembali yang Allah l tetapkan guna memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Nya. Sungguh merugi orang yang keluar dari rahmat Allah l yang luasnya meliputi segala sesuatu dan diharamkan dari surga yang seluas langit-langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu, tadinya kalian berada di tulang sulbi orang-orang yang telah tiada, dan orang-orang yang masih tinggal/tersisa akan mewarisi sepeninggal kalian. Demikianlah, hingga kalian dikembalikan kepada sebaik-baik Zat yang mewarisi. Setiap hari, pagi dan petang, kalian mengantarkan seseorang kepada Allah l, karena sungguh telah datang kematiannya dan telah ditetapkan ajalnya. Kalian mengantarkannya dan memasukkannya dalam belahan bumi, tanpa beralaskan bantal maupun hamparan. Telah terlepas segala hubungan. Dia telah berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Kini, dia berdiam dalam tanah dan menghadap kepada hisab. Dia tidak lagi membutuhkan harta yang ditinggalkannya, karena yang sekarang dibutuhkannya adalah amal-amalnya yang telah lalu. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah l, wahai hamba-hamba Allah l, sebelum datang kematian kepada kalian. Aku mengucapkan kalimat-kalimat ini kepada kalian dalam keadaan aku tidak mengetahui ada seorang pun yang lebih banyak dosanya daripada diriku. Akan tetapi, aku memohon ampun kepada Allah l dan bertaubat kepada-Nya.”
Selesai berucap demikian, Umar ibnu Abdil Aziz t mengangkat ujung rida’nya dan menangis hingga tersedu-sedu. Kemudian beliau turun dari mimbar dan setelahnya tidak pernah kembali ke mimbar tersebut hingga beliau meninggal dunia. Semoga rahmat Allah l atas beliau.
Allah l berfirman:
“Dan berilah perumpamaan kehidupan dunia kepada mereka, yaitu seperti air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, adapun amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
Wallahu ta’ala a’am bish-shawab. (Dinukil dari kitab adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, 6/173—175)
Catatan Kaki:
1 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik z, dari Rasulullah n, beliau n bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Ada tiga hal yang mengikuti mayat (ke kuburannya): keluarga, harta, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang tetap bersamanya hanya satu. Keluarga dan hartanya akan kembali (pulang meninggalkannya), dan yang tetap bersamanya adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2 Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Abdil Aziz bin Marwan ibnul Hakam bin Abil Ash al-Qurasyi al-Umawi al-Madani kemudian al-Mishri (tadinya tinggal di Madinah kemudian pindah ke Mesir, red.). Beliau adalah seorang imam, hafizh, allamah, mujtahid, ahli ibadah, seorang khalifah yang zuhud dan pemimpin yang adil. Ibunya adalah Ummu Ashim bintu Ashim bin Umar ibnul Khaththab z. (Siyar A’lamin Nubala’, 5/114—115)
3 Allah l berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)
“Apakah kalian menyangka Kami menciptakan kalian hanyalah dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mukminun: 115)
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Ada tiga hal yang mengikuti mayat (ke kuburannya): keluarga, harta, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang tetap bersamanya hanya satu. Keluarga dan hartanya akan kembali (pulang meninggalkannya), dan yang tetap bersamanya adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2 Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Abdil Aziz bin Marwan ibnul Hakam bin Abil Ash al-Qurasyi al-Umawi al-Madani kemudian al-Mishri (tadinya tinggal di Madinah kemudian pindah ke Mesir, red.). Beliau adalah seorang imam, hafizh, allamah, mujtahid, ahli ibadah, seorang khalifah yang zuhud dan pemimpin yang adil. Ibunya adalah Ummu Ashim bintu Ashim bin Umar ibnul Khaththab z. (Siyar A’lamin Nubala’, 5/114—115)
3 Allah l berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)
“Apakah kalian menyangka Kami menciptakan kalian hanyalah dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mukminun: 115)
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
0 komentar:
Posting Komentar