001 Surat Al-Fatihah سورة الفاتحة - القارىء أحمد ال
Powered by mp3skull.com
Makna bacaan Ta’awwudz
Makna bacaan Basmalah
Makna Ayat Pertama
Makna Ayat Kedua
Makna Ayat Ketiga
Makna Ayat Keempat
Makna Ayat Kelima
Makna Ayat Keenam
Makna Ayat Ketujuh
Powered by mp3skull.com
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab
(Al Fatihah).” (HR.
Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al
Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits tersebut, “Tidak lengkap”.
Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik,
Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama
berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak
sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran
sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari
menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata;
Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat
paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani
(tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR.
Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah
dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah
dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam
urusan agama maupun duniaku.” Syaitan
selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka
jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan
Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di
dalam Al Quran,
“Demi kemuliaan-Mu sungguh
aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang
diberi anugerah keikhlasan).” (QS.
Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari
jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah
ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena
menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik
tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam
kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik
sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
“Dan jauhkanlah aku dan
anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan
menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan
kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang
berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia.
Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
“Dan demikianlah Kami
jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan
manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain
ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini
seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.”Meminta
barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan
pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka
berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah,
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak
diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah
hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian
banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah
memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala
sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada
hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka
inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang
akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak
bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan,
hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb
seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena
sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak
pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan
Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh
seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa
cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang
tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan
pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam
bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada
mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah
bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang
jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan
pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan
mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan
menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka
dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka
berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam
semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu
semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha
kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta
kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun
dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di
saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan,
hal. 20).
Makna Ayat Kedua
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah
nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah
memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah
dengan menyebutnya.” (QS.
Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu
beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1)
Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan
sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga
terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang
yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di
tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat
sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka
selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan
Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi
tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan
pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam
ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi
pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan
makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah
adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan
kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena
disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian
pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna.
Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan
sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada
Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu
adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan
nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini
Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di
dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang
Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
Artinya: “Yang Menguasai pada hari
pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa.
Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di
bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan
menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala
sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian
awal ayat ini boleh dibacaMaalik (dengan
memanjangkan mim) atau Malik (dengan
memendekkan mim). Maalik maknanya
penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah
hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan
sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak
sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu
semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka
semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala
kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah
tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami
beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah
dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan
di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan
mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya
pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah.
Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini
adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta
tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang
tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap
sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah
memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan
sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta
dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di
antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan
atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau
meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah
alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya
kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata,
“Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu
yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih
mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah
kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju
kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk
kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara
kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan
ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara
inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah
setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya
adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam
melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan
dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan
dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman,
hal. 39).
Makna Ayat Kelima
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang
lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan
berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang
lurus.” Jalan
lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang
berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya.
Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut
dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan
lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan
seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah
untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu
do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai
macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap
insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang
dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan
do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman,
hal. 39).
Makna Ayat Keenam
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang
yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di
dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang
yang shiddiq/jujur dan
benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di
dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah
keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja
yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan
meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan
mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam
yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi
perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita
kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah
nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita
pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang
yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui
kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi
dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan
kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah
orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan
motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat
ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh
orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihatAisarut Tafaasir,
hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah
merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam
surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga
macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid
rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti
mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung
makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk
beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung
makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah
dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat
kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita
adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang
berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak
maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah
kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim.
Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada
bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya
amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti
amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa
balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin
adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung
penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara
merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum
Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang
benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa
sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada
seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua
pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan
yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga
mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi
Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam
ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin (disadur
dari Taisir Karimir Rahman,
hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka
tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di
dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat.
Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar