Jimat Menurut Islam
Bagi masyarakat Indonesia jimat bukan sesuatu yang asing.
Dari rakyat kecil sampai orang kaya pun menggunakannya. Mereka gantungkan
urusan mereka kepada jimat. Sebagai agama yang telah sempurna, Islam telah
menerangkan kepada kita bagaimana menyikapinya.
Pengertian Jimat
Jimat adalah segala sesuatu
yang diyakini menjadi sebab datangnya manfaat atau hilangnya kesulitan, namun
bukan merupakan sebab yang dibolehkan oleh syari’at (baik secara syar’i atau
qodari) (At-Tamhid
lisyarhi Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Shalih
bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh). Secara syar’i berarti ditunjukan oleh dalil
yang benar (Al-Qur’an atau Hadits shahih) sedangkan secara qodari berarti
terbukti secara ilmiah. Jadi, benda yang dijadikan jimat tidak harus yang
bernuansa mistis dan ngeri, namun sebuah gelas dapat menjadi jimat jika
diyakini menjadi sebab dapat menyembuhkan penyakit. Contoh jimat yang tersebar
meluas di Indonesia antara lain: jimat penglaris, rajah, susuk, dan lain-lain.
Dalil Umum Pelarangan Jimat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu
Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul menyebut jimat dengan
kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang
menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat kemusyrikan”
(HR. Ahmad, shahih).
Dalil dari Al-Qur’an adalah
firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka
menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang
kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?.
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang
yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38). Dari ayat ini dapat
disimpulkan bahwa berhala yang disembah oleh kaum musyrikin diyakini oleh
mereka sebagai sebab untuk mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesulitan.
Akan tetapi berhala-berhala tersebut bukanlah sebab yang boleh dimanfaatkan
menurut syari’at, dan juga mereka tidak mampu untuk memenuhi sedikit pun
perkara yang diminta. Begitu pula orang yang menggunakan jimat, mereka
menjadikannya sebab yang tidak dibolehkan oleh syari’at.
Macam dan Hukum Jimat
Jimat dibagi menjadi dua
macam, yaitu jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau do’a-do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
jimat yang bukan berasal dari keduanya. Adapun hukum jimat yang bukan berasal
dari Al-Qur’an atau do’a Nabi, maka termasuk ke dalam kemusyrikan. Tergolong ke
dalam syrik kecil jika seseorang meyakini jimat tersebut hanya sebagai
sebab/sarana, namun tetap meyakini hanya Allah yang maha kuasa untuk
menghilangkan bahaya dan mendatangkan manfaat. Dapat termasuk ke dalam syirik
besar (yang mengeluarkan dari Islam) jika meyakini jimat tersebutlah dengan
sendirinya yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesusahan tanpa meyakini
adanya kekuasaan Allah dalam memberikan pengaruh dari sebab yang diambil (Majmu’ Fatawa Wa Rasail karya
Syaikh Utsaimin).
Sedangkan jimat yang berasal
dari Al-Qur’an, maka terdapat perselisihan diantara para ulama apakah hal
tersebut diperbolehkan atau tidak. Alasan diperbolehkannya karena Al-Qur’an
bukan termasuk makhluk melainkan Kalamullah. Namun yang lebih tepat adalah
pendapat yang melarang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat. Hal tersebut
didasarkan atas beberapa alasan: (1) Keumuman dalil pelarangan jimat dan tidak
ada dalil lain yang mengkhususkan bolehnya hal tersebut; (2) Dapat menyebabkan
penghinaan terhadap Al-Qur’an karena dibawa ke tempat najis dan kotor; (3) Demi
menutup jalan-jalan kemusyrikan, yaitu perbuatan menggantungkan selain
Al-Qur‘an sebagai jimat; (4) Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah
yang membolehkan hal tersebut (Haasyiatu Kitabi at-Tauhid karya
Syaikh Abdurrahman bin Qaasim). Jadi kesimpulannya seluruh bentuk jimat adalah
terlarang dalam syari’at Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an atau selain
Al-Qur’an.
Jimat bukan sarana yang diizinkan
syari’at
Pembahasan mengenai jimat
sangat erat kaitannya dengan pembahasan kaidah pengambilan sebab. Karena
orang-orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebagai sebab agar
tercapai keinginannya. Padahal tidak sembarang sebab boleh ditempuh menurut
syari’at. Kesalahan dalam pengambilan sebab dapat menjerumuskan seseorang ke
dalam kemusyrikan. Terdapat tiga kaidah yang harus dipahami dalam mengambil
sebab (At-Tauhid
Al-Muyassar karya ‘Abdullah
Al-Huwaili) :
1. Sebab yang diambil harus
terbukti secara syar’i atau qodari
Suatu sebab terbukti secara
syar’i berarti terdapat dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits,
yang menunjukkan bolehnya pengambilan sebab tersebut. Walaupun secara akal, hal
tersebut belum terjangkau. Contohnya adalah cara menangkal racun pada bejana
yang terjatuhi lalat yaitu dengan mencelupkan seluruh badannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila lalat
jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah
satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya”
(HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa mencelupkan tubuh lalat
yang masuk ke dalam bejana berisi cairan merupakan sebab yang diizinkan secara
syar’i karena berdasarkan hadits yang shahih.
Sedangkan suatu sebab dapat
terbukti secara Qodari berarti sebab tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah
dan akal dapat menjangkaunya. Atau dengan kata lain, sebab dan akibat yang
ditimbulkan memiliki hubungan rasional. Seperti orang yang lapar, akan
mengambil sebab makan sehingga ia dapat kenyang, atau orang yang ingin pergi ke
masjid untuk sholat berjamaah, maka ia berjalan kaki dari tempat tinggalnya.
2. Tidak boleh bersandar
kepada sebab
Setelah sebab yang diambil
terbukti secara syar’i atau Qodari, maka selanjutnya kita tidak boleh bersandar
kepada sebab yang telah diambil. Karena hal ini menunjukkan sifat kurangnya
tawakal kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kuasa
yang dapat menciptakan segala sesuatu. Allah Ta’alaberfirman (yang
artinya) “Katakanlah:
Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah : 51).
3. Meyakini
bahwa sebab hanya dapat berpengaruh dengan izin dari Allah dan tidak dengan
sendirinya
Seorang Muslim harus meyakini
bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, hanya dapat terjadi atas izin
dari Allah Ta’ala. Begitu pula berpengaruhnya sebab, hanya dapat
terjadi dengan izin dari Allah Ta’ala. Misalnya
seorang pasien yang berobat ke dokter, kemudian dokter memberikan obat
tertentu. Setelah obat tersebut diminum, penyakit yang dialami si pasien
menjadi sembuh. Maka sesungguhnya yang memberikan kesembuhan adalah Allah Ta’ala, bukan dokter
atau obat. Dokter dan obat hanya sebagai sebab kesembuhan
pasien tersebut. Maka seorang muslim harus memiliki keyakinan seperti ini,
terhadap seluruh sebab yang dia ambil.
Seseorang yang menggunakan
jimat, berarti ia telah melanggar kaidah yang pertama, karena jimat merupakan
sebab yang tidak diizinkan baik secara syar’i maupun qodari. Bahkan sebagian
dari mereka (pengguna jimat) melanggar kaidah kedua dan ketiga. Mereka setelah
menggunakan jimat, kemudian bersandar kepada jimat tersebut. Seolah-olah dengan
tidak adanya jimat maka musibah akan melanda mereka. Yang lebih disayangkan
lagi sebagian orang yang meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya dapat
menolak bahaya. Keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang harus dihindari,
karena bertentangan dengan tauhid kepada AllahTa’ala serta dapat
mengeluarkan seseorang dari Islam.
Pembagian bentuk penyandaran kepada
selain Allah Ta’ala
Manusia dalam menyandarkan
dirinya kepada sebab, dibagi menjadi tiga macam (Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabi
at-Tauhid, karya Syaikh Utsaimin).
Pertama, yang meniadakan
tauhid dari pokoknya. Yaitu jika seseorang
bergantung kepada sebab yang tidak mungkin dapat memberikan pengaruh sedikit
pun, serta ia menyandarkan dirinya dengan penyandaran yang sempurna. Contohnya
adalah orang yang meminta kepada kuburan wali untuk dihilangkan kesusahannya, kemudian
ia menyandarkan diri kepada kuburan tersebut dan meyakini kuburan tersebut yang
akan menghilangkan kesulitannya. Orang ini telah terjatuh pada perbuatan syirik
akbar yang mengeluarkan dari Islam. Karena kuburan tidak memiliki pengaruh
sedikitpun (tidak berkuasa) untuk menghilangkan kesulitan.
Begitu pula, jika sebab yang
diambil termasuk ke dalam perbuatan syirik akbar, maka ia akan terjatuh dalam
syirik akbar karena sebab yang diambil. Walaupun ia berkeyakinan Allah lah yang
memberikan pengaruh dari sebab yang diambil. Sebagaimana kaum musyrikin yang
diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya) “Dan orang-orang
yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar :3). Ayat ini
menunjukkan bahwa keyakinan orang-orang musyrikin dalam menyembah berhala
adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, tidak meyakini berhala
tersebut yang dapat menghilangkan kesusahan mereka. Namun keyakinan mereka
berupa mengesakan Allah dalam Rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah), tidak
cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam, tapi mereka harus mengesakan
Allah pula dalam hal ibadah. Mereka termasuk orang musyrik karena mengambil
sebab dengan perbuatan kemusyrikan.
Kedua, yang meniadakan
kesempurnaan tauhid. Yaitu jika seseorang
bergantung kepada sebab yang diizinkan syari’at dengan tidak mengingkari bahwa
Allah yang memberikan pengaruh terhadap sebab tersebut. Contohnya adalah orang
yang sakit kemudian berobat kepada dokter. Namun ia menyandarkan kesembuhan
dirinya kepada dokter bukan kepada Allah, walaupun ia tidak mengingkari bahwa
Allah-lah yang memberikan kesembuhan kepadanya. Maka orang tersebut telah
terjatuh pada syirik kecil karena bersandar kepada sebab, bukan kepada yang
menciptakan sebab, yaitu Allah Ta’ala.
Ketiga, yang tidak
meniadakan tauhid sedikit pun. Yaitu seseorang
mengambil suatu sebab yang diizinkan syari’at, dengan menyandarkan pengaruh
sebab tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa sebab berasal dari Allah dan
hanya dapat berpengaruh atas kehendak-Nya. Jenis yang ketiga inilah yang
seharusnya diamalkan oleh setiap mukmin yang bertauhid kepada Allah Ta’ala. Karena sikap
seperti inilah yang menunjukkan adanya tawakal pada diri seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Andaikan kalian
tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada
kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut
kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (HR.
Tirmidzi, Hasan shahih).
Terakhir, marilah kita berdo’a
kepada Allah untuk dijauhkan dari pengaruh jimat dan juga bentuk kemusyrikan
yang lain. Serta memohon hidayah kepada Allah untuk dicukupkan hati ini dengan
syari’at Allah Ta’ala sehingga tidak merasa
butuh dengan sesuatupun di luar syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia
tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan
kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia
tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah
tetapkan baginya. Barangsiapa yang (menjadikan) akhirat tujuan utamanya maka
Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup
(ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan
rendah (tidak bernilai di hadapannya)“ (HR. Ibnu Majah, shahih)
[Ndaru Triutomo*]
*Penulis adalah alumni Ma’had
al-‘Ilmi, staf pengajar Ma’had Umar Bin Khattab, aktif mengelola MTI-Cyber, dan
sedang menyelesaikan studi di Fakultas Biologi UGM (At Tauhid edisi VII/15)
0 komentar:
Posting Komentar