“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di
luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.” (QS.
Ali Imran[3]: 118)
Tentang sebab turunnya
ayat di atas, Ibnu Abbas menjelaskan, “Ada beberapa orang kaum muslimin yang
menjalin hubungan dekat dengan beberapa orang Yahudi mengingat mereka adalah
tetangga dan orang-orang yang pernah saling bersumpah untuk saling mewarisi di
masa jahiliyyah lalu Allah menurunkan ayat yang berisi larangan menjadikan
orang-orang Yahudi sebagai teman dekat karena dikhawatirkan menjadi sebab
munculnya godaan iman. Ayat yang dimaksudkan adalah ayat di atas.” (Riwayat
Ibnu Abi hatim dengan sanad yang hasan).
Dalam ayat ini terkandung larangan keras
untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam
ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang
bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang
merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam
Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonahadalah
orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan
tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)
Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah
orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang
pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf,
1/406, lihat Tafsir al Qasimi,
2/441 cetakan Darul Hadits Kairo)
Dengan ayat ini, Allah melarang orang-orang
yang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir baik Yahudi ataupun ahlu ahwa’ (pengekor
hawa nafsu, ahli bid’ah) sebagai orang-orang dekat yang menjadi tempat bermusyawarah
dan mengadukan permasalahan.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dan dinilai
shahih oleh Hakim serta disetujui oleh adz Dzahabi. Demikian juga dinilai
shahih oleh an Nawawi, dll)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau
mengatakan, “Nilailah seseorang dengan teman dekatnya.”
Setelah itu Allah menjelaskan sebab
dilarangnya menjalin kedekatan dengan mereka. Mereka selalu mencurahkan segala
daya upaya untuk menyengsarakan kalian. Dengan kata lain, jika mereka tidak
memerangi kalian secara terang-terangan maka mereka tidak pernah kenal lelah
membuat tipu daya untuk kalian.
Ketika menjelaskan potongan ayat ini, Muqatil
bin Hayyan mengatakan, “Mereka hendak menyesatkan kalian sebagaimana mereka
telah sesat. Maka Allah melarang orang-orang beriman untuk memasukkan
orang-orang munafik dengan meninggalkan orang-orang yang beriman ke dalam rumah
atau menjadikan mereka sebagai orang dekat.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan
sanad yang hasan).
Terkait ayat ini, Abu Umamah mengatakan,
“Yang Allah maksudkan adalah orang-orang khawarij (orang yang memiliki
pemahaman mudah mengafirkan orang lain tanpa alasan yang jelas)”
Diriwayatkan bahwa Abu Musa al ‘Asy’ari
mengangkat orang Nasrani sebagai sekretaris beliau maka Khalifah Umar mengirim
surat dengan nada kasar lalu mengutip ayat di atas sebagai teguran bagi Abu
Musa.
Abu Musa pernah menghadap Khalifah Umar
dengan membawa laporan secara tertulis. Setelah disampaikan kepada Khalifah
Umar beliau merasa kagum dengan lembaran-lembaran laporan tersebut. Setelah
laporan tersebut sampai ke tangan Khalifah Umar, beliau bertanya kepada Abu
Musa, “Di manakah juru tulismu? Minta dia supaya membacakannya di hadapan
banyak orang.” “Dia tidak masuk ke dalam masjid”, jawab Abu Musa. Khalifah
bertanya, “Mengapa? Apakah dia dalam kondisi junub?” Abu Musa berkata, “Bukan,
namun karena dia seorang Nasrani.” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas
menghardik beliau seraya berkata, “Jangan dekatkan mereka kepada
kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan muliakan mereka padahal
Allah telah menghinakan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah
sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.”
Khalifah Umar juga pernah mengatakan,
“Janganlah kalian mempekerjakan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka
menghalalkan suap. Untuk menyelesaikan urusan kalian dan urusan rakyat kalian
manfaatkanlah orang-orang yang merasa takut kepada Allah.”
Dari Abu Dahqonah, ada yang berkata kepada
Khalifah Umar, “Ada seorang budak laki-laki Nasrani dari daerah Hirah yang
paling jago dalam tulis menulis dan terkenal sebagi seorang yang amanah.
Berkenankah anda seandainya dia menjadi sekretaris anda?” Dengan tegas,
Khalifah Umar menyatakan, “Jika demikian berarti aku telah menjadikan non
muslim sebagai orang kepercayaanku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang
shahih)
Ar Razi berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa
Umar menjadikan ayat ini sebagi dalil bahwa menjadikan orang Nasrani sebagi
teman dekat adalah suatu yang terlarang.” (Tafsir ar Razi, 8/216)
Ibnu Katsir mengatakan, “Riwayat dari
Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang kafirdzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis
sehingga merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-rahasia
umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada musuh, orang kafirharbi.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/398)
Dalam al Iklil, Imam
Suyuthi mengutip perkataan al Kaya Harasi, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil
bahwa meminta tolong dengan kafir dzimmi jika terkait dengan urusan kaum muslimin
adalah suatu hal yang terlarang.” (Al Iklil hal.
72)
Penjelasannya sebagaimana yang dikatakan oleh
al Qasyani, “Sesungguhnya bithonah seseorang adalah kekasih dan orang
pilihannya yang mengetahui berbagai hal rahasia yang dia miliki. Sahabat
semisal ini tidak mungkin kecuali setelah adanya kesamaan tujuan hidup, agama
dan karakter dan bersahabat karena Allah bukan karena tendensi tertentu karena
sahabat adalah satu jiwa dalam raga yang berbeda. Jika dua orang tersebut tidak
seiman maka persahabatannya tentu akan segera berantakan.” (Tafsir Al Qasimi, 2/442)
Imam Qurthubi mengatakan, “Keadaan telah
berubah total di masa kini. Yahudi dan Nasrani diangkat sebagai para juru tulis
dan orang-orang kepercayaan. Hal tersebut bahkan menjadi kebanggaan bagi para
penguasa yang kurang paham dengan agama.” Jika demikian keadaan di masa Imam
Qurthubi lalu apa yang bisa katakan untuk masa kita saat ini.
Dari Abu Said al Khudri, Nabi bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi atau mengangkat seorang
khalifah melainkan pasti memiliki dua jenis orang dekat. Ada yang mengajak dan
memotivasi untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya yang kedua malah mengajak dan
memotivasi untuk mengerjakan keburukan. Orang yang terjaga adalah orang yang
benar-benar Allah jaga.” (HR.
Bukhari dan Nasai)
Sungguh permusuhan dan sikap mendustakan
telah benar-benar nampak pada mulut-mulut mereka. Dalam hal ini, Allah
menyebutkan mulut untuk mengisyaratkan bahwa mereka pongah dalam kata-kata yang
mereka lontarkan. Artinya mereka itu melebihi orang-orang yang menyembunyikan
permusuhan sehingga permusuhan hanya nampak dalam sorot pandangan mata.
Tentang ayat ini, Qotadah mengatakan,
“Ungkapan permusuhan telah nampak jelas melalui mulut orang-orang munafik
ketika berada di hadapan orang-orang kafir yang sejalan dengan mereka. Mereka
katakan bahwa mereka berhasil menipu Islam dan umat Islam serta menyampaikan
ungkapan rasa benci terhadap orang-orang yang beriman.” Beliau juga mengatakan,
“Yang mereka sembunyikan dalam dada-dada mereka itu lebih besar dibandingkan
yang mereka nampakkan dengan lisan mereka.” (Riwayat Thabari dengan sanad yang
hasan)
Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh
tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi
musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan
Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah
membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal
mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh
memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam
kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu
menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan
dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang
disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan
yang dinampakkan dengan mulut.
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar