Adapun manusia, apabila Rabbnya
mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia akan berkata
: “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya (Allah) mengujinya, lalu
membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata :
“Rabbku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian), … (QS. al-Fajr / 89 : 15-16).
PENJELASAN
AYAT
Kenikmatan
dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan hari kebangkitan (orang-orang
kafir). Mereka berjuang siang dan malam demi kesuksesan duniawi semata!.
Limpahan kekayaan dalam pandangan mereka merupakan pertanda kemuliaan hidup dan
sumber martabat. Dan sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan dan kehidupan
ekonomi yang sulit di mata mereka menjadi petunjuk kehinaan. Sekali lagi, itu
dalam pandangan orang-orang materialis yang lazim disebut dengan maddiyyun (jamak dari katamaddi) dalam bahasa Arab.
SALAH
SATU SIFAT BAWAAN MANUSIA DAN ORANG KAFIR
Atas dasar
itu, sebagian Ulama mengatakan bahwa melalui ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan salah satu sifat orang
kafir dan musyrik saat menerima limpahan harta dan tatkala kekurangan materi
dan terhimpit kesulitan ekonomi.[1] Sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa
itu merupakan sifat bawaan setiap manusia yang bersumber dari sifat jahl (kebodohan, ketidaktahuan tentang
hakekat masalah) dan Zhulm (kezhaliman).[2]
Allah Ta’ala berfirman : Adapun
manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya
kesenangan, maka dia akan berkata : “Rabbku telah memuliakanku”.
Pada ayat
ini, Allah Ta’ala mengingkari manusia yang memiliki
keyakinan jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan
dari Allah Ta’ala bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian
adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allah Ta’ala,[3] dan menguak apakah ia bersabar atau
berkeluh kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat. [4]Hal ini seperti firman
Allah Ta’ala : Apakah
mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu
(berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?
Tidak sebenarnya mereka tidak sadar (QS. al-Mukminun / 23 : 55-56).
Sebaliknya
pada ayat berikutnya : Adapun bila Rabbnya (Allah)
mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan),
maka dia berkata : “Rabbku menghinakanku”
Tatkala
Allah Ta’ala menguji
manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut
merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima.
Imam
al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang
kafir, “Kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak
sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang”.[5]
KEKAYAAN
BUKAN PERTANDA KEMULIAAN, KEKURANGAN BUKAN PERTANDA KEHINAAN
Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan kekayaan dan
kekurangan yang meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan
atau kerendahan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Namun, itu semua
merupakan ujian dan cobaan yang Allah Ta’ala berikan kepada umat manusia yang tidak
lepas dari takdir dan qodho-Nya.
Perhatikan
firman Allah Ta’ala berikut : Katakanlah
: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui” (QS.
Saba / 34 : 36)
Allah Ta’ala memberikan kekayaan kepada orang yang
Dia Ta’ala cintai
dan orang tidak Dia Ta’ala cintai, menyempitkan rezeki orang yang
Dia Ta’ala cintai dan orang yang tidak Dia Ta’ala cintai.
Pada ketentuan-ketentuan Allah ini terdapat hikmah yang luhur lagi sempurna
yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak
menyadarinya.
Sedangkan
firman Allah Ta’ala : kaalan adalah bentuk kata bantahan guna
menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan dan tidak
seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada orang-orang yang mengukur
segala sesuatu dengan materi. Dalam kata ini terdapat unsur meluruskan
pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan menahan rezeki tidak
terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun penghinaan baginya. Akan tetapi,
itu semua merupakan ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya.[6]
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Masalahnya tidak seperti
yang ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti
pandangan yang kedua. (Sebab) Allah Ta’ala memberikan kekayaan kepada orang yang
Allah Ta’ala cintai
dan yang tidak Allah Ta’ala cintai, menyempitkan rezeki pada orang
yang AllahTa’ala cintai dan yang tidak Dia Ta’ala cintai. Landasan dalam masalah ini
iala ketaatan kepada Allah Ta’ala dalam dua kondisi tersebut. Jika
berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat itu, bila mengalami
kekurangan, hendaknya bersabar”.[7]
Syaikh
‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kekayaan dan
kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allah Ta’ala dan ujian untuk menguji pada
hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja yang bersyukur dan bersabar,
kemudian Allah Ta’ala akan membalasnya dengan pahala yang
besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka
akan dibalas dengan siksa pedih”.[8]
Sementara
itu, Syaikh ‘Athiyyah Salim rahimahullah juga berkata, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia Ta’alamemberi
dan menahan (pemberian) sebagai ujian bagi seorang hamba”.[9]
Perhatikan
firman Allah Ta’ala berikut : Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan (QS.
al-Anbiya / 21 : 35).
Dan juga
firman Allah Ta’ala : Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar (QS.
al-Anfal / 8 : 28).
Sebagaimana
menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak mengenakkan), Allah Ta’ala juga menguji manusia dengan kenikmatan.
PENTINGNYA
INTROSPEKSI DIRI
Seorang
Mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah Ta’ala berupa kekayaan, ia akan mensyukuri
Rabbnya, dan ia memandang itu murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan
Allah terhadap dirinya, bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang berhak. Dan
sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rezeki seret, seorang
Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala seraya berintropeksi diri, “Kejadian
ini tiada lain karena dosa-dosaku. Allah Ta’ala tidak sedang menghinaku dan tidak
sedang menganiaya diriku.”
Dalam dua
ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari saat menerima
limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya. Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allah Ta’ala memberiku rezeki berlimpah? Apa ayng
dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya. Mengapa Allah Ta’ala mengujiku dengan kekurangan harta dan
penyakit? Pastilah Allah Ta’ala menghendaki agar aku bersabar.
Jadi,
hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi tersebut. Sikap
demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat buruknya, kebodohan dan aniaya.
Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan
keadilan Allah SWT[10]. Manusia pun harus
tetap memuji Allah Ta’ala dalam kedua kondisi tersebut.[11]
PELAJARAN
DARI AYAT
Pandangan
materialisme berasal dari kaum kafir.
Pandangan
materialisme bersumber dari hubbun dun-ya (cinta dunia).
Pandangan
materialisme bukan pandangan baru, sebab pandangan ini sudah bercokol pada hati
kaum musyrikin Quraisy sejak 14 abad lalu. Bahkan pandangan ini juga telah ada
pada umat-umat zaman dahulu.
Allah Ta’ala membenci kekufuran dan kufur nikmat.
Allah Ta’ala mencintai perbuatan syukur.
Pentingnya
introspeksi diri dalam semua keadaan.
Pentingnya
mendalami Islam karena akan mengenalkan kebenaran dan hakekat seluruh perkara. Wallahu
a’lam
Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
[1] Jami’ul Bayan an Ay al-Qur’an, Imam ath-Thabari 15/227, Al-Jami
li Ahkamil Qur’an, Imam
al-Qurthubi 20/47,Tatimmatu
Adhwaul Bayan, Syaikh
‘Athiyyah Salim 9/217, Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakr al-Jazairi, 2/1471.
[2] Taisirul Karimir Rahman, Syaikh as-Sa’di, hlm. 1009, Tafsir
juz ‘Amma, Syaikh
al-‘Utsaimin hlm. 200.
[3] Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir 8/398.
[4] Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/621.
[5] Al-Jami li Ahkamil Qur’an 20/47.
[6] Taisirul Karimir Rahman hlm. 1009, Tatimmatu
Adwaul Bayan 9/217, Aisarut
Tafasir 2/1471.
[7] Tafsir
al-Qur’anil ‘Azhim 8/398.
[8] Taisirul Karimir Rahman hlm. 1009.
[9] Tatimmatu Adhwaul Bayan 9 / 217.
[10] Tafsir Juz ‘Amma hlm. 201.
[11] Jami’ul Bayan an Ay al-Qur’an 15 / 229.
0 komentar:
Posting Komentar