Powered by mp3skull.com
Ulama fikih membahas dalam kitab al buyu’ satu pembahasan yang disebut ‘aariyah. Yang dimaksud ‘aariyah adalah pemilik barang membolehkan barangnya dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa ada upah. Istilah gampangnya, ‘aariyah artinya meminjamkan. Seperti misalnya meminjamkan laptop pada teman dan teman tersebut tidak dikenakan biaya apa-apa. Nah, orang yang enggan memberikan pinjaman pada saudaranya yang lain, padahal ia sebenarnya tidak lagi membutuhkan barang tersebut, alias ia pelit pinjamkan barang, inilah yang disebut al maa’uun. Inilah istilah yang sering kita dengar dalam surat pendek yaitu surat Al Maa’un.
Allah Ta’ala berfirman,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7). Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, al maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan al maa’uun. Sebagian berkata bahwa al maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya. Perkataan yang lebih umum tentang al maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/473).
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7). Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, al maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan al maa’uun. Sebagian berkata bahwa al maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya. Perkataan yang lebih umum tentang al maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/473).
Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari
‘Abdullah, ia berkata,
“Kami
menganggap al maa’uun di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
yang berkaitan dengan ‘aariyah (yaitu
barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk.” (HR. Abu Daud no. 1657, hasan
kata Syaikh Al Albani)
Harus Menjaga Amanat
Jika kita dipinjami barang oleh orang lain,
hendaklah kita memegang amanat tersebut dengan baik. Cara memegang amanat
tersebut adalah menjaga barang pinjaman dengan baik. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An
Nisa’: 58)
Para ulama jelaskan bahwa jika barang
pinjaman tersebut rusak, maka bukan menjadi tanggung jawab si peminjam kecuali
jika: (1) si peminjam ceroboh, atau (2) si pemilik barang memberi syarat jika
barang pinjaman tersebut rusak, maka si peminjam harus menggantinya (Lihat Al
Wajiz, Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi, 451-452). Alasannya adalah dari hadits
riwayat Abu Daud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkatakan
mengenai barang pinjaman bahwa barang pinjaman itu,
“Barang pinjaman itu sifatnya
muaddah” (HR. Abu Daud no. 3566, shahih kata Syaikh Al Albani),
yaitu jika barang pinjaman rusak maka si peminjam tidak bertanggung jawab
menggantinya kecuali jika karena salah satu dari dua alasan di atas. Mengapa
demikian? Karena akad ‘aariyah di
sini sifatnya adalah memberikan amanat pada orang lain. Sebagaimana wadi’ah
(menitipkan barang), aariyah juga semisal itu, jika rusak maka tidak menjadi
tanggung jawab si peminjam kecuali jika karena kecerobohannya.
Demikian faedah singkat yang kami peroleh
dari pelajaran kitab buyu’ (jual beli) Al Wajiz. Moga kita tidak menjadi orang
yang pelit meminjamkan kepunyaan kita pada orang lain apalagi di saat saudara
kita perlu dan bisa menjaga amanat dengan baik.
Wallahu waliyyut taufiq.
Artikel www.muslim.or.id
terimakasih kak... saya ijin kutip sedikit ya :)
BalasHapus