Tadabbur Surat Al-Fajr [89]
DEMI
WAKTU FAJAR*
Mukaddimah: Waktu yang Penting
Menurut
jumhur mufassirin Surat Al-Fajr diturunkan
Allah di Makkah setelah Surat Al-Lail([1]).
Dinamakan demikian karena dibuka dengan sumpah Allah yang menggunakan waktu
fajar([2]).
Surat ini memuat tiga pokok tema besar: pertama, setelah
bersumpah Allah mengisahkan tentang umat terdahulu yang mendustakan para
utusan-Nya serta menjelas-kan kondisi tragis yang menimpa mereka sebagai akibat
dari sikap sombong dan pembangkangan mereka. Kedua, surat ini
membicarakan sunnah (hukum)
Allah yang ada di dunia ini. Yaitu cobaan yang akan dijalani setiap manusia,
dari kesenangan atau kesulitan; kelapangan atau kesempitan hidup, kemiskinan
dan tabiat manusia yang sangat mencintai harta dan dunia. Ketiga,
surat ini ditutup dengan pembicaraan tentang hari akhir dengan berbagai macam
perniknya([3]).
Jika dalam surat al-Ghasyiah dibahas dan ditengarai penduduk neraka atau
penghuni surga, maka dalam surat ini juga ada perbedaan antara an-nafs
al-muthma`innah (jiwa yang tenang) dengan jiwa yang buruk yang
selalu mengajak pada keburukan. Pada saat berpisah dengan jasad terjadi
perbedaan yang mendasar.
SUMPAH-SUMPAH ALLAH
Dalam
surat ini Allah membukanya dengan sumpah dengan menggunakan waktu fajar. “Demi
fajar” (QS. 89: 1)
Yang
dimaksud di dini adalah fajar yang sesungguhnya. Karena kita mengenal ada dua
jenis fajar. Yaitu fajar kadzib dan fajar
shadiq. Dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang shadiq. Yaitu
waktu shubuh. Dinamakan demikian karena ia membuyarkan waktu malam, dan dengan
datangnya fajar maka malam segera berakhir. Allah juga menggunakan nama lainnya
untuk bersumpah, yaitu seperti yang terdapat dalam surat at-Takwir ayat 18, “Dan
demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing” (QS. : 18). Dan ini
terjadi setiap hari, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah,
Mujahid, Abu Shalih dan as-Suddy([4]).
Dengan sumpah ini tentu fajar merupakan suatu waktu yang diistimewakan Allah.
Di dalamnya kita memulai kehidupan. Di dalamnya kita diwajibkan bersujud dan
shalat pada-Nya. Di dalamnya rizki-rizki Allah dibagikan.
Kemudian
Allah bersumpah “Dan demi malam yang sepuluh”
(QS. 89: 2).
Menurut
sebagian para pakar tafsir yang dimaksud di sini adalah 10 hari pertama di
bulan Dzulhijjah([5]).
Sebagian lagi ada yang menafsirkannya dengan 10 hari terakhir di bulan Ramadhan([6]) karena
di dalamnya terdapat malam lailatul qadar. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud
di sini adalah 10 hari pertama bulan Muharam karena di dalamnya terdapat hari
Asyura([7]),
hari ketika Musa as dan Bani Israel diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun.
Allah menenggelamkan Fir’aun bersama bala tentaranya.
Kemudian
Allah melanjutkan sumpah-Nya. “Dan yang genap dan yang ganjil”
(QS. 89: 3)
Ada
banyak pendapat yang menafsirkan sumpah ketiga ini. Sebagian ulama
menafsirkannya dengan hari Arafah dan Hari Idul Adha. Sebagian lagi mengatakan
bahwa genap menunjukkan makhluk Allah dan witir mengisyaratkan penciptanya (khâliq).
“al-watru”
dalam ayat ini dibaca fathah wawu-nya
sebagaimana bacaan jumhur qurra`. Yaitu
bacaan kabilah Quraisy. Sedang bacaan yang menggunakan kasrah pada huruf wawu adalah
bacaan kabilah Tamim([8]).
Ala kulli hal, dua bilangan di atas
digunakan manusia dalam kehidupannya. Dan Allah bersumpah dengan hal yang tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Karena manusia, demikian juga
makhluk-Nya masuk dalam bilangan tersebut. Genap atau ganjil.
Keempat
kalinya Allah bersumpah. Kali ini dengan mengulangi menyebut waktu malam. “Dan
malam bila berlalu” (QS. 89: 4)
Malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah
sebagaimana waktu malam yang setiap hari kita lalui dan selalu diakhiri dengan
terbitnya fajar. Meskipun ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud di sini
adalah malam Idul Adha.
Keempat
hal yang dipergunakan Allah dalam bersumpah sangat menarik untuk diperhatikan.
Terlebih penegasan untuk memperhatikannya dalang setelah Allah bersumpah dengan
keempat hal tersebut. “Pada yang demikian itu terdapat
sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal” (QS.
89: 5)
1.
Waktu Fajar
2.
Sepuluh malam
3.
Bilangan ganjil dan genap
4.
Waktu malam bila berlalu.
Pertama Allah bersumpah dengan fajar, waktu
yang dimuliakan Allah. Kemudian Sepuluh malam mengindikasikan jumlah dan waktu.
Bahwa di antara malam-malam yang dilalui manusia setiap hari pasti ada sebagian
waktu yang dimuliakan Allah. Yaitu sepuluh malam yang dipakai bersumpah dalam
ayat ini terlepas dari perbedaan ulama mengenai maksud dari malam-malam
tersebut. Inti dari pembatasan ini adalah bahwa ada waktu-waktu tertentu yang
diistimewakan Allah. Manusia yang cerdas akan menggunakannya dengan baik.
Menginvestasikan waktunya untuk bekal masa depannya. Kemudian bilangan genap
dan ganjil mengindikasikan adanya pasangan dalam kehidupan manusia. Ini adalah
sunnah Allah. Allah menciptakan sebagian besar ciptaan-Nya secara berpasangan.
Selain itu dengan bilangan ini seolah Allah juga mengingatkan bahwa manusia
berada dalam batasan dua jenis bilangan tersebut. Maka gunakanlah waktu dengan
sebaik-baiknya.
Bila malam telah sirna dan hari berganti
terang. Ini akan bermakna jika kita mau memikirkannya secara mendalam. Bahwa
kegelapan akan selalu berganti dengan cahaya yang terang. Menandakan bahwa
tiada kekekalan dalam kehidupan dunia. Maka bersabarlah dan teruslah berusaha.
Akan datang setelah malam cahaya yang dinanti-nantikan manusia, waktu ia akan
menggunakannya bekerja. Sebaliknya, kelelahan bekerja akan sirna bila waktu
malam datang. Saat sebagian besar manusia menggunakannya untuk beristirahat.
Demikianlah, Allah memberikan karunia
kepada manusia berupa waktu. Tapi waktu tersebut selalu ada batasnya. Hanya
orang cerdaslah yang bisa memanfaatkan waktu yang diberikan Allah dengan baik.
Dan menjadi tabiat serta karakteristik waktu adalah selalu berputar dan tidak
pernah berhenti sejenak pun.
Kisah-Kisah Kaum Terdahulu
“Apakah
kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (yaitu)
penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum
pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain”.
(QS. 89: 6-8)
Kaum
Ad adalah kaum Nabi Hud as. Keturunan Ad bin Ash bin Iram bin Sam bin Nuh.
Penamaan ini menggunakan penamaan kakek moyang mereka. Yaitu orang-orang yang
terkenal kuat. Yang menjadikan kota Iram sebagai kota yang sangat me-nakjubkan.
Mereka menjadikannya pusat peradaban. Maka mereka bangun gedung-gedung yang
menjulang tinggi dan kokoh yang tidak dijumpai di manapun saat itu. Kota Iram([9]) mereka
sulap dengan gemerlap dan kemegahan yang luar biasa. Orang-orang yang
menyaksikannya akan langsung tahu ketinggian peradaban mereka. Namun,
ketinggian peradaban dan kekuatan fisik mereka tidaklah berarti jika mereka
mendus-takan ajaran Allah swt. Nabi Hud yang diutus untuk mengingatkan mereka dan
menun-jukkan jalan hidayah, mereka dustakan. Padahal sebelumnya mereka mengenal
Hud sebagai saudara yang baik serta terpercaya. Tetapi setelah Hud mendakwahi
mereka dengan risalah yang dibawanya dari Allah, sikap mereka berbalik
memusuhinya. Maka, Allah musnahkan mereka. “Adapun kaum ‘Ad maka mereka
telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah
menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus
menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan
seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah lapuk” (QS. 69:
6-7)
Kekuatan fisik dan ketinggian peradaban tak mampu menolong mereka untuk
menghalangi dan menghindarkan dari murka Allah yang murka-Nya tiada terbendung
oleh siapa dan apapun.
“Dan
kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah” (QS. 89: 9)
Adapun kaum Tsamud yang datang setelah Kaum ‘Ad musnah, tidaklah pandai
mengambil pelajaran dan ibrah dari peristiwa dan sejarah keangkuhan serta
kesombongan. Mungkin karena mereka memiliki fisik yang kuat mereka bahkan mampu
memahat gunung-gunung batu dan kemudian menjadikannya sebagai hunian yang asri
dan nyaman([10]).
Nikmat dan karunia yang sangat dahsyat ini tidaklah dibalas dengan kesyukuran
dan perilaku yang baik. Hati mereka membatu. Jika mereka bisa memahat dan
mengukir batu, tidaklah demikian hati mereka yang menjadi keras melebihi batu.
Hal ini pun tercermin dari keangkuhan mereka ketika meminta Nabi Shalih untuk
menunjukkan mukjizat Allah dan tanda kerasulannya. Mereka meminta batu-batu
yang ada di hadapan mereka bisa mengeluarkan seekor unta. Dan setelah mukjizat
ini benar-benar terjadi. Unta yang dipesankan oleh Nabi Shalih supaya tak
disakiti, dengan sengaja mereka sembelih. Hanya sekedar untuk menyelisihi
perintah dan petuah sang nabi. Maka, hati dan watak orang-orang yang membatu
seperti ini memang sangat laik jika kemudian diadzab oleh Allah([11]).
“Dan
kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak. Yang berbuat sewenang-wenang dalam
negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu”.
(QS. 89: 10-12)
Demikian
juga contoh ketiga yang Allah ceritakan dalam surat ini. Fir’aun, bukanlah
orang pertama yang angkuh dan sombong yang kemudian mematut-matutkan diri
sebagai Tuhan padahal ia sangat ringkih dan penakut. Betapa ia lebih laik untuk
disebut sebagai penakut. Karena ia sangat menakuti dan mencemaskan seorang bayi
laki-laki dari kalangan Bani Israel. Hanya karena satu bayi laki-laki itu saja,
ia kemudian mengerahkan segala kekuatan dan pengaruhnya untuk membunuh ribuan
manusia dan sebagian besar adalah anak-anak kecil yang tak berdaya. Melawan
tentaranya dengan persenjataan lengkap. Dan ketika kekhawatirannya menjadi
nyata ia kemudian gelap mata. Untuk menutupi ketakutannya ini kemudian ia
kumpulkan semua rakyatnya dan dengan congkak ia kemudian “…. berkata:
Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”. (QS. 79: 24)
Ia memang memiliki pasukan yang sangat
banyak dan kuat. Ia juga bisa membangun peradaban yang terus diingat
orang-orang yang hidup setelahnya. Karena ia memiliki para teknokrat yang
brilian yang dikomandoi Haman. Juga para ekonom dan akademisi serta kalangan
profesional yang lain serta futurolog-futurolog, peramal dan para tukang sihir
yang semuanya menopangnya menjadikan Mesir menjadi salah satu negara yang
disegani saat itu. Tapi mengapa ia kerahkan semua kelebihan-kelebihan itu untuk
memerangi Musa, anak tirinya yang hidup dan tumbuh dewasa di istananya. Yang
para pengikutnya adalah kumpulan orang-orang lemah. Hanya karena Musa membawa
risalah pengesaan dan penghambaan kepada Allah swt. Ia kejar Musa dan kaumnya,
Bani Israel hingga perbatasan darat dengan laut merah. Pertolongan Allah pun
datang. Musa membelah laut dengan tongkatnya. Fir’aun pun segera menyusulnya.
Namun, Allah lebih cepat mengembalikan Laut Merah menjadi seperti semula.
Fir’aun dengan segala kekuatan pasukan dan semua keangkuhannya tenggelam. Tak
mampu menghadapi tentara Allah yang kali ini bernama air.
Adapun
pasak-pasak yang dimaksud di sini adalah yang disediakan untuk menyiksa
orang-orang yang membangkang. Jumlahnya empat digunakan untuk mengikat kaki dan
tangan dan terdapat diberbagai tempat dan dijaga oleh tentara-tentara Fir’aun
yang kejam. Sebagaimana yang dituturkan Imam al-Alusy([12]).
“Karena
itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar mengawasi” ([13]).
(QS. 89: 13-14)
Orang-orang yang diberi kenikmatan seperti
di atas dan kemudian tidak mau bersyukur. Tidak juga bersedia mengindahkan
peringatan Allah melalui utusan-utusan-Nya. Maka, adzab Allah lebih tepat untuk
mereka. Dan Allah terus mengawasi mereka dari waktu ke waktu. Namun, mereka
tidak juga melakukan perubahan.
Kemuliaan dan Kehinaan
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata: Tuhanku
meng-hinakanku”. (QS. 89: 15-16)
Inilah standar kebanyakan manusia dalam
menilai Allah. Betapa pendeknya pandangan mereka. Kesalahan persepsi ini
didasarkan pada beberapa penilaian:
1.
Membatasi rizki Allah hanya berbentuk materi yang bisa dilihat
dengan kasat mata, padahal rizki Allah sangat luas. Selain berbentuk materi
rizki Allah bisa berupa: kesehatan, ilmu, ketenangan jiwa dan sebagainya
2.
Standar kemuliaan tidaklah dilihat dari materi yang ada pada
seseorang. Demikian juga bahwa kehinaan tidaklah selamanya melekat pada orang
miskin yang tak berharta. Tak sedikit orang kaya yang hina di mata sesamanya
juga dalam pandangan Allah swt karena perilakunya yang buruk. Juga tidak
sedikit orang miskin yang mulia karena akhlak dan kualitasnya.
3.
Ujian Allah disikapi dengan prasangka buruk. Padahal seharusnya
karunia Allah yang dianugerahkan mesti disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik.
Bila ada yang tidak sesuai dengan kehendak, maka sabar adalah sebaik-baik bekal
dalam menghadapinya. Karena pada hakikatnya kekayaan dan kemiskinan adalah
ujian Allah pada manusia dengan kondisi yang berbeda-beda.
Dengan persepsi yang salah tentang rizki
ini akan berdampak pada sikap dan perilaku manusia. Mereka menjadi kikir dan
sangat mencintai dunia. Secara lebih spesifik Allah menggambarkannya sebagai
berikut:
Pertama,
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim” (QS.
89: 17)
Penyimpangan pertama yang terjadi akibat salah persepsi mengenai rizki dan
harta adalah menyia-nyiakan anak yatim dan menerlantarkan mereka. Padahal anak
yatim yang miskin secara fisik dan psikis itu perlu dilindungi dan disayangi.
Kedua,
“Dan
kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. 89: 18)
Rasa kikir ini berlanjut dengan tidak mau memberi makan kepada fakir miskin. Bah-kan
ia menganjurkan kepada orang lain untuk melakukan hal tersebut. Keburukan
tabiat dan perilakunya membuatnya juga berusaha membentuk komunitas yang buruk.
Yaitu komunitas yang menginginkan kekayaan hanya digenggam di tangan beberapa
orang saja, supaya mereka bisa mengendalikan segalanya dengan harta. Apa yang
mereka inginkan –dalam pandangan mereka- pasti selalu bisa didapatkan dengan
harta dan uang.
Ketiga,
“Dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang
bathil)” (QS. 89: 19)
Yang lebih buruk dari dua hal tersebut adalah perbuatan memakan harta warisan.
Ini adalah orang yang paling buruk. Ia memakan harta yang tidak menjadi haknya,
kemudian harta yang dimakannya tersebut adalah hak saudaranya([14]). Ia
melakukan dua penyim-pangan sekaligus. Penyimpangan harta dan penyimpangan
ukhuwah. Terlebih penggunaan kata “ta’kuluna” yang
berarti memakan mengindikasikan kerakusan untuk dinikmati sendiri dan
memperturutkan syahwat perut tanpa peduli kondisi dan hak saudaranya.
Ibnu Zaid mengatakan: tambahan kata “lamma” ini untuk
menguatkan kerakusannya. Ia memakan tanpa memperdulikan apakah yang dia makan
itu halal atau haram, sehingga ia kehilangan rasa malu([15]).
Keempat,
“Dan
kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan” (QS. 89: 20)
Kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan
yang didasarkan atas sifat kikir di atas jika tidak dilawan maka akan
mengkristal. Pada saat sudah menjadi watak maka seseorang akan benar-benar
sulit melepaskan diri dari materi. Saat itu ia benar-benar sangat mencintai
dunia dengan kecintaan yang berlebihan yang akan menghancurkan-nya. Tidakkah
cukup kisah Qarun menjadi cermin atas petaka yang diakibatkan oleh kecintaan
yang berlebihan terhadap dunia?
Imam
al-Qurthuby menafsirkan kecintaan ini maksudnya adalah kecintaan yang
berlebihan dalam mengumpulkan harta serta tidak menunaikan haknya dengan
sedekah dan zakat([16]).
Berhentinya Kecintaan Pada
Dunia
“Jangan
(berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah
Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. 89: 21-22)
Keniscayaan yang tak bisa dihindari oleh manusia dan semua yang bernafas adalah
menjumpai kematian. Bila ia mati, maka ia dipisah paksa dengan dunia yang
sangat dicintainya. Sebelumnya ia tak sadar bahwa sikap salahnya tersebut kelak
akan menghancurkannya. Karena kematian bukalah akhir dari segalanya. Nantinya,
saat semua manusia dibangkitkan kembali dari matinya. Allah mendatangi mereka
semua untuk meminta pertanggungjawaban. Para malaikat berbaris, ditugaskan
Allah menjadi panitia pengurusan hari akhir.
“Dan
pada hari itu diperlihatkan neraka jahannam; dan pada hari itu ingatlah
manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya” (QS.
89: 23)
Saat semua tersingkap barulah orang-orang yang lalai tersadar. Panasnya neraka
sudah terasakan, dan mereka segera mengingat kesalahan demi kesalahan yang
dilakukan. Penyesalan dan mengingat hal yang demikian pada saat itu tidaklah
berguna. “Dia mengatakan: Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan
(amal saleh) untuk hidupku ini” (QS. 89: 24). Karena penyesalan di
saat yang demikian menjadi sia-sia dan akan semakin membuat mereka menderita.
Penderitaan di atas penderitaan. Fisik dan jiwa merana karena salah memilih
sikap di dunia.
“Maka
pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada
seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya” (QS. 89: 25-26)
Dzat yang serba maha hari itu terlihat dengan jelas kekuasaan-Nya. Orang yang
tadinya beriman dan yakin akan kebesaran dan kekuasaan-Nya akan semakin puas.
Dan orang yang mengingkari-Nya pada hari itu terpaksa mengakuinya dengan
berjuta penyesalan. Karena murka dan azdab-Nya sangat pedih dan menyakitkan.
Tiada yang sanggup menghindar dari siksaaan-Nya. Tidak pula ada yang sanggup
menghalangi-Nya untuk berbuat apa saja. Semua hijab telah dibuka. Karena hari
itu adalah hari pembalasan. Selesailah hari perjuangan dan amal. Hanya tinggal
menunggu hasil dan ganjarannya saja.
Jiwa yang Tenang
“Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam
surga-Ku”. (QS. 89: 27-30)
Adapun
orang-orang beriman yang memiliki jiwa yang tenang, saat perpisahan dengan
jasad pun malaikat-malaikat-Nya memperlakukan dan memanggilnya dengan lembut.
Sang pencabut nyawa juga berusaha tidak menyakiti saat memisahkan ruh dari
jasad orang baik tersebut. Meskipun tetap saja usaha tersebut tidak berhasil,
karena perpisahan jiwa dan raga tetap menyisakan rasa sakit yang tak
terperikan. Saat raga di pendam di dalam perut bumi, jiwa yang tenang tersebut mi’raj ke
langit.
“Jiwa
yang tenang tinggalkanlah dunia dengan segala kepenatannya. Dengan tenang temui
Tuhanmu” Demikian Abu Abdirrahman As-Sulamy mengomentari ayat di
atas([17]).
Ia telah ditunggu penduduk langit yang
menantikannya. Ia disambut dengan senyum. Ia segera bergabung dengan kafilah
orang-orang salih dan bertaqwa. Kemudian ia nikmati fasilitas yang serba mewah
yang telah Allah sediakan untuknya dan hamba-hamba-Nya yang baik. Semoga kita
termasuk ke dalam golongan jiwa yang tenang. Amin.
Jakarta, Selasa,
26 Januari 2010
* Tadabbur surat Al-Fajr (Waktu
Fajar): [89], Juz Amma (30)
** Mahasiswa Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu
al-Qur’an Universitas al-Azhar, Cairo
([1])
lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 20-22; Badruddin
az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân,
Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali
Abd. Qadir, Ma’âlim Suar
al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H,
vol.2, hlm.797
([2])
Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Op.Cit,
hlm. 799.
([3])
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar
al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 296.
([4])
Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay
al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats
al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 204. Al-Baghawy, Ma’alim
at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 450.
([5])
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah, Masruq, Adh-Dhahak, Ibnu
Zaid (Jami’ al-Bayan, Op.Cit,
hlm. 205-206) Menurut Imam Qurthuby, juga merupakan pendapat As-Suddy, Mujahid
dan al-Kalby (al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an,
Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 291)
([6])
Pendapat ini mengacu pada riwayat Aisyah ra yang menjelaskan tentang ibadah
Nabi saw yang lebih giat di sepuluh terakhir bulan Ramadhan (Syihabuddin
al-Alusy, Ruhul Maani,
Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 215-216)
([7])
Ini juga karena ada anjuran berpuasa sunnah pada hari Asyura’ dengan menambah
satu atau dua hari sebelum atau sesudahnya (Ibid. hlm. 216)
([8]) Ibid.
hlm. 217-218
([9])
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud Iram adalah kota di Syam (Damaskus).
Ada juga yang mengatakan: Alexandria (lihat tesis penulis: Kitab
Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny,
Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 842) Namun, dua
pendapat ini dilemahkan oleh para ulama. Karena Ad merupakan kaum Arab
al-Baidah yang telah punah. Mereka berada di semenanjung Arab di bagian selatan
(Ruhul
Maani, Op.Cit,
Vol. 30, hlm. 221). Juga Syeikh Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiq
al-Makhtum, terjemah: Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet.II, Januari 2009, hlm. 2
([10])
Mereka diberi kelebihan kekuatan fisik dan mampu memahat gunung-gunung batu
serta menjadikannya tempat tinggal (Az-Zajjaz, Ma’ami
al-Qur’an wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V,
hlm. 246, juga lihat: Abu Zakaria Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’an,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.1, 2003 M/1423 H, Vol.III, hlm. 150)
([11])
Simaklah kisah mereka dalam surat al-A’raf “Orang-orang yang menyombongkan
diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa
yang kamu imani itu”. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka
berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata: “Hai Shaleh,
datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk
orang-orang yang diutus (Allah)”. Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah
mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka”.
(QS. 7: 76-78).
([12])
lihat Ruh al- Ma’any, Op.Cit,
Vol. 30, hlm 223-224.
([13])
Tak ada sesuatupun yang tidak diketahui oleh Allah. Dia takkan pernah
melewatkan sedikitpun per-kataan dan perilaku manusia. Karena Dzat Yang Maha
Hidup ini tidak pernah tertidur atau mengantuk barang sekejap. Demikian
penjelasan Imam al-Kalby (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol.IV, hlm. 453) dan disitir
al-Qurthuby dalam tafsirnya (al-Qurthuby, Op.Cit,
Vol.X, hlm. 300)
([14])
Terutama ahli waris yang perempuan atau yang masih anak. Pada zaman Jahiliyah
orang Arab tidak memberikan warisan kepada perempuan dan anak-anak (Al-Baghawi, Ma’alim
at-Tanzil, Op.Cit, Vol.IV, hlm. 454)
([15]) Ibid.
([16])
Kurang lebih seperti yang dituturkan al-Qurthuby dalam tafsirnya al-Jami’
li Ahkami al-Qur’an, Op.Cit,
Vol. X, hlm. 303.
([17]) Haqa’iq
at-Tafsir, tahqiq: Sayyed Imran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah,
Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol.II, hlm.
394
Tidak ada komentar:
Posting Komentar