Tanda-Tanda Sakit dan Sehatnya Hati

Tanda-tanda Sakitnya Hati
Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama bahwa hati manusia terbagi menjadi tiga jenis: sehat, sakit dan mati.
Untuk mengetahui lebih jauh suatu perkara dengan baik dan sempurna maka harus mengetahui ciri-ciri dan tanda-tandanya. Demikian pula untuk mengetahui sakit atau sehatnya hati maka kita harus mengetahui ciri-cirinya agar bisa mengetahui hakekatnya, bisa membedakannya dan berusaha mendapatkannya serta menerapkannya (ciri-ciri hati yang sehat) dan menghindarkan diri darinya (ciri-ciri hari yang sakit).
Kondisi dan musibah yang sangat berbahaya
Terkadang hati seorang hamba sedang sakit dan bertambah parah sakitnya namun pemiliknya tidak mengetahuinya. Bahkan bisa jadi hatinya sudah mati tapi pemiliknya tidak mengetahui tentang kematian hatinya tersebut. Tentu ini adalah kondisi yang sangat berbahaya dan musibah yang sangat besar. Semoga Allah menjauhkan dan menyelamatkan kita darinya.
Tiga Ciri Umum Sakitnya Hati
Ada tiga ciri dan tanda umum sakitnya hati yaitu:
Pertama: Pemiliknya tidak merasa sakit ketika bergelimang dengan berbagai macam kemaksiatan, Bahkan hal ini bisa jadi menunjukkan hatinya sudah mati. Karena sesungguhnya hati itu apabila masih hidup dia akan merasa sakit ketika melakukan berbagai macam kejelekan dan maksiat Orang yang hatinya masih ada kehidupan tentu ketika berbuat maksiat hatinya merasa tidak tenang, gelisah, merasa berdosa, merasa bersalah dan merasa hina di hadapan Allah dan rendah di hadapan manusia.
Untuk itu hendaknya kita benar-benar waspada, jangan sampai merasakan kenikmatan dan ketenangan ketika terjatuh dalam suatu maksiat. Tetapi hendaknya ketika terjatuh dalam suatu kemaksiatan kita merasa sakit, tidak tenang dan segera istighfar (memohon ampun) serta bertaubat kepada Allah.
Kedua: Pemiliknya tidak merasa sakit ketika bodoh terhadap kebenaran. Karena kalau hatinya hidup dia akan merasa sakit ketika bodoh terhadap kebenaran dan tidak faham permasalahan agama yang harus dia ketahui, yakini dan kerjakan.
Namun orang yang sakit atau mati hatinya ketika tidak faham permasalahan agama yang wajib dia ketahui dan yakini seperti permasalahan tauhid dan yang wajib dia kerjakan seperti shalat lima waktu, dia merasa biasa dan tenang-tenang saja. Seolah-olah tidak ada beban dan tidak ada pertanggungjawaban nanti di akherat Padahal belajar dan memahami permasalahan-permasalahan tersebut adalah wajib. Rasulullah bersabda,
“Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (Hasan, HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Oleh karena itu hendaknya kita merasa sakit, gelisah dan tidak tenang ketika tidak faham permasalahan agama yang wajib kita ketahui serta berusaha untuk mengetahuinya dengan cara bertanya kepada para ulama dan orang-orang yang berilmu yang ada di sekitar atau yang bisa kita hubungi. Allah berfirman,
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiyaa`: 7)
Jangan sampai nanti di akherat kita ditanya, “Mengapa kamu kerjakan ini?”,“Mengapa kamu tinggalkan itu?” lalu kita jawab, “Ya Allah, saya kira ini disyari’atkan maka saya mengerjakannya, dan saya kira hal itu dilarang sehingga saya tinggalkan.” Padahal bisa jadi keadaannya kebalikannya, yang kita kira disyari’atkan sehingga kita kerjakan tapi justru itu dilarang dalam syari’at. Dan sebaliknya, yang kita kira dilarang sehingga kita tinggalkan, justru diperintahkan dalam syari’at.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Di antara sebabnya adalah kita kurang semangat dalam mempelajari permasalahan agama dan merasa biasa saja ketika tidak faham suatu permasalahan yang berkaitan dengan agama.
Sudahkah kita memaksimalkan thalabul ‘ilmi kita dengan berbagai caranya? Apakah menghadiri majlis-majlis ilmu, membeli buku atau majalah yang bermanhaj ahlus sunnah, mendengarkan kajian lewat kaset atau CD dan bertanya kepada orang yang berilmu? Jangan sampai sarana-sarana thalabul ilmi tersebut menjadi hujjah atas kita sehingga ketika terjatuh dalam kesalahan atau maksiat kita tidak bisa lagi beralasan “Ya Allah, saya tidak tahu”. Karena Allah berfirman, “Apakah belum pernah datang kepada kalian seorang pemberi peringatan?” (Al-Mulk: 8)
Di samping para ulama dan para penuntut ilmu, maka termasuk pemberi peringatan adalah segala sarana thalabu ‘ilmi yang ada di sekitar kita yang telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu, termasuk sikap hati-hati dan perbuatan yang sangat terpuji adalah memaksimalkan thalabul ‘ilmi dengan segala sarananya tersebut. Apalagi bagi kita yang Allah lebihkan harta, maka anggarkan sebagian harta yang kita miliki untuk menghadiri majlis ilmu, membeli kitab, buku terjemahan ahlus sunnah, majalah dan yang lainnya yang menunjang proses thalabul ‘ilmi kita.
Mungkin ada yang bertanya, “Kalau membeli semuanya atau mayoritasnya, saya tidak sempat membacanya?” Bisa kita jawab, “Sekarang mungkin kita belum sempat membacanya, tapi suatu saat nanti bisa jadi kita sempat membacanya, atau setidaknya sebagai referensi yang kita baca permasalahan yang kita perlukan saja, atau bisa dibaca oleh istri, anak-anak dan saudara-saudara kita, sehingga kalaupun kita tidak sempat membacanya maka mereka telah membacanya yang nantinya mereka akan memberitahukannya kepada kita.”
Ketiga: Pemiliknya memiliki aqidah-aqidah yang menyimpang atau tidak merasa sakit ketika memiliki aqidah-aqidah yang menyimpang dan batil. Seperti khurafat, tathayyur (merasa sial dengan sesuatu yang diketahui) dan sebagainya. Ini juga dikarenakan kurangnya atau bahkan tidak ada kepedulian dia terhadap masalah agama dan thalabul ‘ilmi.
Ciri Tambahan (Ciri Keempat)
Terkadang seorang hamba merasakan kalau hatinya sedang sakit namun terasa berat baginya pahitnya obat, akhirnya dia lebih memilih dan mengutamakan tetap sakit daripada menelan dan makan obat yang pahit dan memberatkan. Keadaan ini tidak kalah bahaya dan parahnya dibandingkan tiga ciri sebelumnya. Seperti seseorang yang terjatuh dalam maksiat dan mengetahui itu maksiat serta mengetahui juga cara taubatnya tapi dia merasa berat, bimbang dan terbayang pahitnya taubat akhirnya dia tetap dengan maksiatnya, nas-alullaahas salaamah.
Ciri-Ciri Yang Lain
Dan di antara tanda sakitnya hati adalah berpalingnya hati tersebut dari nutrisi (makanan) yang bermanfaat menuju makanan yang berbahaya dan berpalingnya dia dari obat yang bermanfaat menuju penyakitnya yang berbahaya. Maka hati yang sehat itu akan lebih mengutamakan sesuatu yang bermanfaat lagi menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya lagi mengganggu (menyakitkan). Sedangkan hati yang sakit sebaliknya lebih mengutamakan sesuatu yang berbahaya lagi memberikan penyakit daripada sesuatu yang bermanfaat lagi menyembuhkan.
Sedangkan nutrisi/makanan yang paling bermanfaat adalah makanan berupa keimanan dan obat yang paling bermanfaat adalah obat berupa Al-Qur`an.
Dan tentunya yang dimaksud dengan makanan dan sesuatu yang berbahaya dan mengganggu (menyakitkan) adalah maksiat dengan berbagai jenisnya, termasuk padanya bid’ah dan kesyirikan.
Tanda-tanda Sehatnya Hati:
Yaitu berangkat/berpindah dari dunia sampai singgah di akhirat dan diam/tinggal padanya sehingga dia menetap seakan-akan dia termasuk penduduknya (penduduk akhirat) dan anak-anaknya. Dia datang ke negeri ini (dunia) sebagai orang asing yang hanya mengambil sesuatu yang dia butuhkan saja dari dunia tersebut dan akan kembali ke tempat tinggalnya (akhirat). Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi kepada Abdullah bin ‘Umar,
“Jadilah engkau hidup di dunia ini seakan-akan engkau sebagai orang asing atau penyeberang jalan (musafir)!” (HR. Al-Bukhari di dalam Kitabur Raqaq 11/233 dari hadits Abdullah bin ‘Umar)
Sementara hati yang sakit, setiap kali hatinya sakit maka dia akan mengutamakan dunia dan menjadikannya tempat tinggal sehingga dia menjadi penduduknya.
Di antara tanda sehatnya hati adalah bahwasanya hatinya senantiasa mengingatkan pemiliknya sehingga kembali kepada Allah, taat kepada-Nya dan bergantung kepada-Nya seperti ketergantungan seorang yang mencintai yang butuh kepada kekasihnya, bahkan ketergantungannya kepada Allah lebih daripada itu, sehingga dia mencukupkan diri dengan mencintai-Nya dari mencintai selain-Nya, mengingat-Nya dari mengingat selain-Nya dan berkhidmah kepada-Nya dari berkhidmah kepada selain-Nya. Ketika dia mencintai selain Allah maka dalam rangka mencintai Allah dan karena Allah seperti mencintai malaikat, para nabi dan kaum mukminin. Demikian pula ketika mengingat dan berkhidmah kepada selain Allah, itu dilakukan dalam rangka mengingat dan berkhidmah kepada Allah.
Di antara tanda sehatnya hati juga adalah bahwasanya apabila dia terlewatkan dari membaca Al-Qur`an atau dzikir atau suatu ketaatan dari berbagai macam ketaatan niscaya karena hal itu dia akan mendapatkan rasa sakit yang lebih besar daripada rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang tamak/rakus ketika terluputkan dan kehilangan hartanya. Seperti terluputkan dari shalat tahajjud karena kelelahan atau lainnya maka dia akan mengqadhanya di pagi hari dengan digenapkan. Kalau biasanya shalat tahajjud 11 rakaat maka dia mengqadhanya dengan shalat 12 rakaat. Atau dia akan shalat dhuha 8 atau 12 rakaat.
Tanda berikutnya adalah hati yang sehat akan merindukan untuk senatiasa berkhidmah kepada Allah sebagaimana orang yang lapar merindukan dan butuh kepada makanan dan minuman. Berkata Yahya bin Mu’adz, “Siapa saja yang senang dengan berkhidmah kepada Allah niscaya segala sesuatu akan dijadikan senang berkhidmah kepadanya, dan siapa saja yang matanya sejuk kepada Allah ketika taat kepada-Nya niscaya mata setiap orang akan dijadikan sejuk memandang kepadanya.”
Oleh karena itu ketika banyak musibah dengan berbagai bentuknya maka ini karena kurangnya khidmah kita kepada Allah.
Tanda berikutnya adalah hati yang sehat tujuan dan cita-citanya hanya satu dan berkaitan dengan Allah serta karena Allah yaitu taat kepada Allah. Sehingga dia tidak peduli apapun yang dilakukannya yang penting berupa ketaatan kepada Allah.
Tanda berikutnya adalah orang yang hati yang sehat akan sangat pelit terhadap waktunya, jangan sampai hilang dengan percuma dan sia-sia daripada pelitnya manusia yang paling pelit terhadap hartanya.
Tanda berikutnya adalah orang yang sehat apabila masuk ke dalam shalat (mulai menjalankan shalat) maka hilanglah darinya keinginannya dan kesedihannya terhadap dunia. Dan dia mendapatkan di dalam shalat tersebut kelapangan, ketenangan, kenikmatan, kesejukan mata dan kesenangan hatinya.
Tanda berikutnya adalah dia tidak pernah merasa letih dari berdzikir dan mengingat Rabbnya, tidak pernah merasa bosan dari berkhidmah kepada-Nya dan dia tidak bisa dekat dan akrab dengan selain-Nya kecuali dengan orang yang bisa menunjukkan, mengarahkan dan membimbingnya kepada-Nya dan mengingatkannya tentang-Nya.
Tanda berikutnya adalah perhatiannya terhadap perbaikan amalan lebih besar daripada beramal itu sendiri, sehingga dia bersemangat untuk ikhlash di dalam beramal, memberikan nasehat, mutaba’ah (mengikuti Rasulullah), berbuat ihsan. Dan bersamaan dengan itu dia tetap mempersaksikan betapa besarnya anugrah Allah kepadanya pada amalan ini dan masih kurangnya dia dalam menjalankan hak Allah.
http://www.sunnahcare.com/

Majelis Gelak Tawa

Tidak bisa dipungkiri, saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rilek dan santai untuk mengendorkan urat syaraf, mengusir gelisah, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu, badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat. Dan itu sah-sah saja dilakukan selama tidak berlebihan dan mengandung hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama kita, Islam. Karena sebagaimana diceritakan dalam banyak riwayat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda. Terkadang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda bersama para sahabat yang sudah dewasa, terkadang dengan anak kecil, dan juga dengan keluarganya. Ini beliau lakukan sekali waktu saja, tidak setiap saat dengan tetap memperhatikan ajaran-ajaran agama. Meski bercanda, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berdusta dalam candanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّي لَأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا
Sesungguhnya aku juga bercanda, akan tetapi aku tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar saja.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang lain tertawa, celakalah ia, celakalah ia.
Ini menunjukkan, larangan melanggar rambu-rambu syariat meskipun saat bergurau, misalnya dusta, membeberkan aib orang lain, dan menjadikannya sebagai bahan tertawaan, lelaki menyerupai wanita, atau sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang meniru wanita dan kaum wanita yang meniru kaum elaki. [HR Imam al-Bukhari].
Dalam bercanda juga tidak boleh melecehkan dan menghina ajaran agama atau orang yang konsisten dengan ajaran agama, seperti melecehkan orang yang memelihara lihyah (jenggot), syariat poligami maupun yang mempraktekkannya, dan lain sebagainya. Karena yang seperti ini, dikhawatirkan terkena firman Allah Azza wa Jalla ,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66].
Demikian dan masih ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan saat bercanda, sehingga tidak terjebak dalam perbuatan dosa. Namun sangat disayangkan, banyak orang yang kurang peduli, bahkan sama sekali tidak peduli dengan hal ini. Sehingga kita saksikan, berbagai pelanggaran biasa dilakukan saat bercanda atau menghibur orang. Mulai dari ucapan bohong, membuka aib, melecehkan agama, lelaki menyerupai gaya perempuan atau sebaliknya, mengucapkan kalimat-kalimat yang diharamkan agama seperti ucapan kufur –iyadzan billah- atau bercanda dengan hal-hal yang tidak pantas dijadikan gurauan.
Awalnya, banyak orang yang merasa risih mendengarnya, tapi karena sering, akhirnya seakan-akan menjadi hal yang biasa –semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dan seluruh kaum muslimin dari perbuatan buruk ini-. Ditambah lagi dengan muncul kesan, bahwa bercanda itu seolah suatu keharusan dalam banyak hal. Sehingga kita saksikan sebagian majlis taklim atau ceramah-ceramah didesain dan dipadukan dengan humor. Akhirnya sebagian orang terkondisikan dengan itu. Akibatnya kajian yang ‘gersang’ dari guyonan kurang mendapat pemggemar
Islam memang menganjurkan untuk menghibur orang yang sedang susah, tetapi bukan secara bebas dengan segala cara. Ada koridor yang perlu diperhatikan. Begitu juga dengan orang yang sedang susah, sah-sah saja mencari atau melakukan sesuatu yang bisa menghibur diri, tanpa dengan melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya.
Renungkanlah, menonton lawak atau canda tanpa batas, sesungguhnya lebih banyak mengandung maksiat dan tidak akan bisa memberikan ketenangan hakiki, melainkan kesenangan semu. Kalaupun canda itu tidak mengandung unsur maksiat dan dosa, tetapi ingatlah pesan Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
Janganlah kalian sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua.
Sumber tulisan: almanhaj.or.id

Mendidik Anak

Sejak dini seharusnya anak sudah dididik dengan baik oleh orang tua. Dari rumah, anak sudah diajarkan akidah, akhlak, dan berbagai kewajiban ibadah. Pendidikan sebenarnya bukan hanya dituntut dari sekolah. Mendidik anak sudah semestinya dimulai dari lingkungan keluarga. Lihat contoh para salaf dan tuntunan Islam dalam hal ini.

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (13: 11) disebutkan, “Bapak dan ibu serta seorang wali dari anak hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia baligh nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai keimanan kepada Allah, malaikat, Al Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk mengerti shalat, puasa, thoharoh (bersuci) dan semacamnya.”
Perintah yang disebutkan di atas adalah pengamalan dari sabda Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kembali dilanjutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, “Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khomr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat semacam itu. Sebagaimana pula diajarkan bahwa jika sudah baligh (dewasa), maka sang anak akan dibebankan berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak kapan ia disebutbaligh.” (idem)
Perintah untuk mendidik anak di sini berdasarkan ayat,
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6). Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321), ‘Ali mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Beritahukanlah adab dan ajarilah keluargamu.”
Di atas telah disebutkan tentang perintah mengajak anak untuk shalat. Di masa para sahabat, mereka juga mendidik anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka sengaja memberikan mainan pada anak-anak supaya sibuk bermain ketika mereka rasakan lapar. Tak tahunya, mereka terus sibuk bermain hingga waktu berbuka (waktu Maghrib) tiba.
Begitu pula dalam rangka mendidik anak, para sahabat dahulu mendahulukan anak-anak untuk menjadi imam ketika mereka telah banyak hafalan Al Qur’an.
Begitu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau berkata pada ‘Umar,
Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bacalah bismillah) ketika makanMakanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022).
Praktek dari Ibnu ‘Abbas, ia sampai-sampai mengikat kaki muridnya yang masih belia yaitu ‘Ikrimah supaya muridnya tersebut bisa dengan mudah menghafal Al Qur’an dan hadits. Lihat bahasan ini di Fiqh Tarbiyatil Abna’ karya Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 86-87.
Semoga Allah mengaruniakan pada kita anak-anak yang menjadi penyejuk mata.
Artikel Muslim.Or.Id

10 Faedah dari 10 Ayat Surat Abasa

‘Abasa secara bahasa artinya, جَمَعَ جِلْدَ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَجِلْدَ جَبْهَتِهِ “mengumpulkan kulit yang ada diantara dua mata dan kulit dahi”, yaitu mengerutkan dahi dan bermuka masam. Surat ‘Abasa adalah surat yang seluruh ayatnya adalah Makkiyah (diturunkan di Mekah) berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir.
Allah berfirman :
عَبَسَ وَتَوَلَّى(١) أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى(٢) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(٣) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(٤) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى(٥) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى(٦) وَمَا عَلَيْكَ أَلا يَزَّكَّى(٧) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى(٨) وَهُوَ يَخْشَى(٩) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (١٠)
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, 2. karena telah datang seorang buta kepadanya. 3. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), 4. atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? 5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, 6. Maka kamu melayaninya. 7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). 8. dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), 9. sedang ia takut kepada (Allah), 10. Maka kamu mengabaikannya.
Sebab turunnya surat ini –sebagaiamana disepakati oleh para mufassir- adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anhaa:
أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ الأَعْمَى أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرْشِدْنِي، وَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الآخَرِ وَيَقُوْلُ أَتَرَى بِمَا أَقُوْلُ بَأْسًا فَيَقُوْلُ لاَ فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
“Diturunkan surat ‘Abasa wa Tawallaa’ tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah berilah pengarahan/petunjuk kepadaku”. Dan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang dari para pembesar kaum musyrikin. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki (musyrik) tersebut dan berkata : “Apakah menurutmu apa yang aku katakan (sampaikan kepadamu tentang dakwah tauhid-pen) baik?”, maka lelaki pembesar musyrik tersebut berkata : “Tidak”. Karena inilah turun surat ‘Abasa.” (HR At-Tirmidzi no 2651 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para pembesar musyrikin yang sedang didakwahi oleh Nabi tersebut adalah Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, Ummayyah bin Kholaf dan Ubay bin Kholaf. Nabi mendakwahi mereka dan mengharapkan keislaman mereka (Lihat Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi pada tafsir surat ‘Abasa)
Syaikh Al-’Utsaimin berkata : “Dan tentunya diketahui bahwasanya jika para pembesar dan orang-orang yang dihormati dan dimuliakan masuk Islam maka hal ini merupakan sebab Islamnya orang-orang yang berada dibawah kekuasaan mereka. Karenanya Nabi sangat ingin agar mereka masuk Islam. Lalu datanglah sahabat yang buta ini bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka (para ahli tafsir-pen) menyebutkan bahwa ia berkata : “Ajarkanlah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu”. Dan ia meminta Nabi membaca Al-Qur’an untuknya. Maka Nabipun berpaling darinya dan bermuka masam karena berharap para pembesar musyrikin tersebut masuk Isalm. Seakan-akan beliau khawatir bahwasanya para pembesar tersebut akan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau berpaling dari para pembesar tersebut dan mengarahkan wajahnya kepada sahabat yang buta itu. Hal ini sebagaimana perkataan kaum Nuh:
وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami” (QS Huud : 27).
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala bermuka masam dan berpaling dari sahabat yang buta tersebut, beliau memperhatikan dua perkara ini :
  • Pertama : Berharap para pembesar tersebut masuk Islam
  • Kedua  : Agar mereka tidak merendahkan dan menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau menoleh ke orang buta tersebut yang di mata mereka adalah orang hina.
Tentunya tidak diragukan bahwa ini adalah ijtihad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan merendahkan Ibnu Ummi Maktum. Karena kita mengetahui bahwasanya tidak ada yang menyibukkan Nabi kecuali agar tersebar dakwah Al-Haq di antara hamba-hamba Allah, dan seluruh manusia di sisi beliau adalah sama, bahkan orang yang lebih semangat kepada Islam maka lebih beliau cintai. Inilah yang kita yakini pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Tafsiir Juz ‘Amma)
10 Faedah dari 10 ayat di atas :
Pertama : Pada firman Allah عَبَسَ وَتَوَلَّى (Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling). Di sini Allah menggunakan dhomir ghoib (kata ganti orang ketiga). Allah mengatakan : “Dia bermuka masam”. Allah tatkala menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menurunkan surat ini kepada Nabi, Allah tidak berkata : عَبْسْتَ وَتَوَلَّيْتَ “Engkau bermuka masam dan engkau berpaling” (dengan dhomir mukhothob/kata ganti orang kedua). Metode ini ada dua faedah:
  • Allah tidak suka mengarahkan pernyataan yang keras langsung terarahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi Allah menggunakan uslub/pola kata ganti orang ketiga. Karena sifat “bermuka masam” dan “berpaling” adalah sikap yang keras. Ini merupakan bentuk pemuliaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Al-Aluusi dalam tafsirnya)
  • Agar ayat ini sebagai peringatan kepada umatnya secara umum, agar tidak terulang lagi kejadian seperti ini (Al-’Utsaimin)
Kedua : Bolehnya menyebutkan cacat seseorang jika memang ada kemaslahatan dan bukan dalam rangka menghina.
Al-Baidhowi rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan 3 faedah penyebutan orang buta dalam ayat ini, beliau berkata :
وذكر الأعمى للإِشعار بعذره في الإِقدام على قطع كلام رسول الله صلّى الله عليه وسلم بالقوم والدلالة على أنه أحق بالرأفة والرفق، أو لزيادة الإِنكار كأنه قال: تولى لكونه أعمى
“(1) Penyebutan “Orang buta” sebagai pemberitahuan untuk memberi udzur kepadanya yang datang dan memotong pembicaraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan para pembesar tersebut, dan juga (2) sebagai petunjuk bahwasanya ia (orang buta tersebut) lebih berhak untuk disikapi lemah lembut, serta (3) tambahan pengingkaran kepada Nabi, seakan-akan Allah berkata : “Dia (bermuka masam dan) berpaling dikarenakan orang tersebut buta” (Tafsir Al-Baidhoowi)
Oleh karenanya kita dapati para ahli hadits terkadang mensifati para perawi dengan cacat yang ada pada mereka, namun dalam rangka pengenalan dan pembedaan, seperti Al-’Aroj (yang pincang) dan Al-’A'masy (yang pandangannya lemah).
Ketiga : Firman Allah وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(٣) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya, atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?)
Syaikh As-Sa’dy rahimahullah mengatakan :
{يَزَّكَّى} أي: يتطهر عن الأخلاق الرذيلة، ويتصف بالأخلاق الجميلة؟ {أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى} أي: يتذكر ما ينفعه، فيعمل (1) بتلك الذكرى
“Yaitu menyucikan dirinya dari akhlak yang buruk, dan berhias dengan akhlak yang mulia?…yaitu ia mengingat apa yang bermanfaat baginya dan iapun mengamalkan peringatan tersebut”
Ini adalah dalil bahwasanya hidayah adalah ditangan Allah, bahkan bisa jadi orang yang miskin yang cacat justru dialah yang mengambil manfaat dari nasehatmu, berbeda dengan orang yang kaya dan terpandang.
Keempat : Ternyata Allah sama sekali tidak pernah menimbang manusia dengan ketenaran, atau terpandang dan tidaknya orang tersebut, atau dengan kekayaan dan kedudukan orang tersebut. Yang ini semua adalah tolak ukur kebanyakan manusia dalam menimbang dan menghormati orang lain. Semakin kaya, semakin terpandang, dan semakin tenar, maka akan semakin dihormati oleh masyarakat. Adapun tolak ukur timbangan Allah adalah ketakwaan. (إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ). Terlebih lagi di akhirat, tidak ada pembeda manusia kecuali keimanan. Hanya ada dua kelompok, di surga dan di neraka !!
Hendaknya semua orang kita dakwahi tanpa membeda-bedakan kondisinya. Akan tetapi bagi seorang dari semua orang sama, ia berdakwah kepada siapa saja, kepada orang kaya, kepada orang miskin, kepada orang tua, anak muda, kerabat, maupun orang jauh.
Ternyata banyak orang-orang miskin dari kalangan para sahabat yang akhirnya menjadi tokoh-tokoh pejuang Islam yang berjasa bagi Islam. Diantara para sahabat yang miskin kemudian menjadi para pejuang Islam adalah seperti Bilaal, ‘Ammar bin Yaasir, Salman Al-Farisi, Abu Hurairoh, dll, yang semua para sahabat tersebut bukanlah dari golongan kaya dan terpandang !!
Kelima : Keberhasilan dakwah adalah perkara yang ghaib, maka jangan sampai karena memikirkan kemaslahatan dakwah lantas kita menimbang sesuatu bukan dengan timbangan syari’at akan tetapi dengan timbangan manusia dan materi.
Lihatlah, apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ijtihad yang sangat beralasan, dan memiliki tujuan yang sangat mulia, agar dakwah cepat tersebar. Terlebih lagi kejadian ini terjadi di awal dakwah Nabi yaitu di Mekah, dimana kaum muslimin ditindas, sehingga Nabi sangat membutuhkan orang-orang yang kuat dan terpandang untuk masuk Islam, agar bisa membela Islam. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan bahwasanya kalau salah seorang dari kita melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi sekarang mungkin ia akan mendapatkan pahala.
Akan tetapi Allah menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjelaskan bahwa ijtihad beliau ‘alahis solaatu was salaam adalah ijtihad yang salah. Tidak sepantasnya Nabi membiarkan seorang buta yang semangat lalu berpaling kepada orang kafir terpandang.
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum adalah kesalahan dalam beradab jika dia mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sibuk mendakwahi para pembesar. Akan tetapi Allah tetap menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar Ibnu Ummi Maktum tidak bersedih hati, atau agar untuk diketahui bahwasanya bagaimanapun seorang miskin beriman maka ia lebih  baik dari seorang kaya yang tidak beriman, atau kurang keimanannya. (lihat perkataan Al-Qurthubi dalam tafsirnya)
Keenam :  Yang terpenting bagi dai adalah ia memperoleh pahala dengan dakwahnya, jika ada seorang miskin yang ingin mengambil manfaat darinya maka hendaknya ia serius memperhatikannya. Bukankah jika sang miskin ini beramal sholeh karena nasehatnya maka ia akan mendapatkan pahala yang banyak??. Bukankah surga banyak dihuni oleh orang miskin??.
Jangan sampai seorang da’i tujuannya adalah harta, sehingga ia lebih suka mendekat dengan orang-orang kaya dalam rangka untuk mendapat bantuan dan belas kasih dari para orang kaya tersebut.
Ketujuh : Kesalahan yang dilakukan oleh Nabi lebih utama untuk dikatakan “Tarkul Aula” (meninggalkan yang lebih utama) dan bukan sebagai sebuah dosa. Meskipun pendapat mayoritas ulama bahwasanya para nabi tidak maksum dari dosa kecil, akan tetapi langsung ditegur oleh Allah
Kedelapan : Surat ini menunjukkan motivasi untuk menyambut orang-orang miskin terutama di majelis ilmu serta memenuhi kebutuhan dan hajat mereka dan tidak mengutamakan orang-orang kaya atas mereka (As-Suyuthi)
Kesembilan : Syaikh Sa’di rahimahullah menyebutkan suatu kaidah:
لا يترك أمر معلوم لأمر موهوم، ولا مصلحة متحققة لمصلحة متوهمة ” وأنه ينبغي الإقبال على طالب العلم، المفتقر إليه، الحريص عليه أزيد من غيره
“Tidaklah ditinggalkan perkara yang sudah jelas karena perkara yang tidak jelas. Tidak pula ditinggalkan mashlahat yang pasti karena maslahat yang tidak pasti”.
Serta hendaknya memberi perhatian lebih kepada penuntut ilmu yang semangat dari pada yang lainnya.
Kesepuluh : Surat ini menunjukkan akan amanahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada satu hurufpun dalam Al-Qur’an yang disembunyikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Zaid berkata : “Kalau seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan wahyu, maka Rasulullah akan menyembunyikan ayat ini”. Terlebih lagi tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermuka masam tentu Ibnu Ummi Maktum tidak melihat beliau, karena ia buta.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 010-02-1435 H / 13-12-2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
http://www.firanda.com

Selama 37 Tahun Istiqomah Shalat Berjamaah di Masjid

Apabila Anda menonton siaran langsung shalat berjamaah 5 waktu dari Masjid Nabawi, maka di shaf terdepan bagian sebelah kanan dekat dengan imam, Anda akan melihat seorang laki-laki tinggi besar mengenakan peci berupa turban hitam khas orang-orang Bengali, dialah Haji Muhammad.

Haji Muhammad, seorang berkebangsaan Afghanistan yang tinggal di Kota al-Madinah al-Munawwaroh. Ia menjadi seorang yang populer di Madinah –semoga Allah menjaga keikhlasannya- karena selama seper-empat abad ini selalu tampak di televisi dengan penampilan khasnya, berada di shaf pertama Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat 5 waktu secara berjamaah.

Ia menceritakan bahwa pertama kali menginjakkan kaki di Arab Saudi saat berumur 19 tahun. Selama 37 tahun di negeri kaya minyak ini, Haji Muhammad bekerja sebagai tukang reparasi pipa.

Haji Muhammad

Haji Muhammad mengatakan, “Aku berupaya untuk selalu shalat 5 waktu secara berjamaah di Masjid Nabawi sejak aku masih muda. Aku sangat senang mengambil dan meletakkan kembali Alquran yang telah dibaca dan ditinggalkan oleh para pengunjung, agar dapat rapi tertata kembali di lemarinya semula.”

Para jamaah dari luar Madinah dan luar Arab Saudi banyak yang terkesan dengan keistiqomahannya shalat di shaf pertama dan di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Padahal kita mengetahui sangat sulit untuk mendapatkan shaf pertama di Masjid Nabawi apalagi sampai bisa berada di tempat yang sama terus-menerus. Masjid ini sangat ramai dan padat dikunjungi umat Islam dari berbagai penjuru negeri.

Beberapa orang yang bekali-kali mengunjungi Madinah senantiasa menjumpainya berada di shaf pertama dan tempat yang sama pula (sebelah kanan imam). Turban hitamnya membuatnya sangat mudah dikenali oleh para jamaah.

“Ketika aku mengikat kontrak kerja dengan seseorang, kukatakan dari awal, aku tidak ingin kehilangan satu kali pun shalat berjamaah di Masjid Nabawi (lantaran pekerjaan ini). Dan di bulan Ramadhan, aku meliburkan diri karena aku ingin selalu berada di masjid.” Kata Haji Muhammad.

Apa yang dipraktekkan oleh Haji Muhammad ini mengingatkan kita kepada para ulama salaf yang senantiasa istiqomah berada di shaf pertama dalam waktu yang panjang. Muhammad bin Samaah rahimahullahu berkata,

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَمَاعَهْ قَالَ مَكَثْتُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً لَمْ تَفَتْنِي التَكْبِيْرَةُ الأُوْلَى إِلَّا يَوْمًا وَاحِدًا مَاتَتْ فِيْهِ أُمِّيْ فَفَاتَتْنِي صَلَاةٌ وَاحِدَةٌ فِي جَمَاعَةٍ

“Aku tinggal selama 40 tahun tidak pernah luput dari takbir pertama melainkan satu hari saja yaitu hari ketika ibuku meninggal maka luput dari saya satu shalat berjamaah.”

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu mengisahkan biografi Said bin al-Musayyab (seorang tabiin) rahimahullahu,

مَا نُوْدِي بِالصَّلَاةِ مِنْ أَرْبَعِيْنَ سَنَة إِلَّا وَسَعِيْدٌ فِي المَسْجِدِ

“Tidaklah diseru panggilan shalat sejak 40 tahun melainkan Sa’id berada di dalam masjid.” (Tahdzibut Tahdzib, 4:87)

Asy-Sya’bi rahimahullahu berkata,

مَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ اِلَّا وَأَنَا عَلَى وُضُوْءٍ

“Sejak aku masuk Islam, tidaklah ditegakkan iqamat shalat melainkan aku masih dalam keadaan mempunyai wudhu (belum batal wudhunya).” (Tahdzibut Tahdzib, 7:166).

Semoga Allah member taufik kepada kita untuk senantiasa istiqomah di jalan-Nya.

Sumber: Saudi Gazette

Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisaMuslim.com

Bolehkah Wanita Memakai Parfum ?

Wanita identik dengan keindahan, cantik dan senang berhias. Di antara perhiasan yang tidak bisa lepas dari wanita adalah parfum. Ironinya, sebagian wanita merasa kurang pede jika tidak memakai parfum ketika keluar rumah, tetapi merasa nyaman dan enjoy saja dengan bau kecutnya ketika di dalam rumah bersama suami. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap masalah ini, ikuti kajian berikut ini.
WASPADA RAYUAN SETAN
Setan akan selalu berusaha mengajak anak manusia berbuat dosa. Di antara celah yang halus yang dihembuskan oleh setan kepada kaum wanita adalah masalah parfum. Memakai parfum bagi wanita ketika keluar rumah digambarkan oleh setan sebagai suatu yang ringan, tidak masalah dan bukan dosa, jadilah para wanita terbuai dengan rayuan dan bisikan jelek ini sehingga tidaklah engkau jumpai para wanita di pasar, jalan, pertokoan kecuali bau wanginya yang semerbak dan akan mudah tercium. Sadarlah wahai wanita, jangan engkau anggap ringan masalah ini!
Sahabat Anas bin Malik -radliyallahu’anhu- berkata:

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُوْنَ أَعْمَالاً هِيَ أَدَقُّ فِيْ أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعْرِ إنْ كُنَّا لَنَعُدُّهاَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ مِنَ الْمُوْبِقاَتِ يَعْنِيْ الْمُهْلِكاَتِ
“Sungguh kalian melakukan sebuah amalan yang kalian sangka lebih ringan dari sehelai rambut, padahal kami pada zaman Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- menganggap hal itu sebagai amalan yang membinasakan”. [1]
TINJAUAN HUKUM
Hukum wanita memakai parfum tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Memakainya di dalam rumah, untuk menyenangkan suami dan berhias kepadanya
Hal ini dibolehkan bahkan dianjurkan, baik parfum tersebut dipakai di badan atau dipakaian [2]. Perhatikan hadits-hadits berikut ini:
Dari Abu Sa’id al-Khudri ‘radliyallahu’anhu-, Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
 الْغُسْلُ يَومِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ، وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيْبًا إِنْ وَجَدَ
“Mandi pada hari jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah baligh. Hendaknya dia bersiwak dan memakai parfum jika memiliki” [3]
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَلَوْمِنْ طِيْبِ الْمَرْأَةِ
“Sekalipun ia memakai parfum wanita”[4]
Juga berdasarkan hadits ‘Aisyah -radliyallahu’anha- bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- menerangkan tata cara mandi wanita yang suci dari haid dalam sabdanya:

ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةًَ مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا
“Kemudian hendaknya mengambil sehelai kapas yang telah diberi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya”[5]
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bolehnya kaum wanita memakai minyak wangi dan berhias dengannya. Terlebih lagi di depan suaminya, sangat dianjurkan. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu jika kamu melihatnya”.[6]
Ini adalah bukti yang sangat gamblang bahwa wanita dianjurkan untuk selalu tampil bersih, indah, dan berhias.[7]
Kedua: Memakainya di luar rumah
Jika kita perhatikan dalil-dalil dalam al-Quran dan hadits niscaya akan kita dapati hukum yang jelas terhadap masalah ini, yaitu wanita haram memakai parfum jika keluar rumah, bahkan termasuk dosa besar. Untuk lebih jelasnya, perhatikan dalil-dalil berikut ini yang melarang wanita memakai parfum jika di luar rumah.
A. Dalil dari al-Quran

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (QS. an-Nur [24]:31)
Al-Imam Ibn Katsir -rahimahullah- mengatakan, “Dahulu, para wanita di zaman jahiliyyah apabila berjalan dan pada kaki mereka ada gelang-gelang yang tidak bersuara, maka mereka akan memukulkan kaki mereka ke tanah agar suara gelangnya didengar oleh kaum lelaki. Maka Allah melarang kaum mukminat untuk melakukan hal yang seperti itu. Demikian pula halnya jika mereka punya perhiasan yang tersembunyi kemudian sengaja bergerak agar perhiasan itu terlihat maka termasuk juga dalam kategori larangan ini. Demikian juga para wanita dilarang untuk memakai parfum ketika keluar rumah dengan tujuan bau wanginya tercium para lelaki” [8]
B. Dalil dari Hadits
1. Hadits Abu Musa al-Asy’ari -radliyallahu’anhu-
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Wanita mana saja yang memakai parfum, kemudian lewat suatu kaum agar mereka mendapati wanginya, maka dia adalah seorang wanita pezina!”[9]
Sebab larangan hadits ini sangat jelas, karena memakai parfum dapat membangkitkan syahwat orang yang menciumnya”.[10]
Asy-Syaikh al-Mubarakfuri -rahimahullah- berkata, “Seorang wanita jika memakai parfum dan lewat di depan sekumpulan lelaki maka hal itu akan membangkitkan syahwatnya kaum lelaki dengan aroma parfumnya, yang bisa membawa mereka untuk melihat wanita tersebut. Barangsiapa melihat wanita tersebut maka dia telah berzina dengan ledua matanya, maka jadilah wanita itu penyebab terjadinya zina mata, dia ikut berdosa.”[11]
2. Hadits Abu Hurairah  -radliyallahu’anhu-
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا إَمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang para hamba wanita Allah pergi ke rumah Allah, hendaknya mereka keluar dengan tidak memakai wewangian”[12]
Ibn Daqiq al-’Id -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat larangan mekakai parfum bagi wanita yang hendak pergi ke masjid karena hal itu dapat membangkitkan syahwat kaum lelaki”[13]
Syaikh al-Albani -rahimahullah- mengomentari, “Jika hal itu dilarang bagi wanita yang hendak pergi ke masjid maka bagaimana hukumnya bagi wanita yang pergi ke pasar dan jalan-jalan?! Tentu hal itu lebih keras keharamannya dan lebih besar dosanya. Bahkan al-Imam Ibn Hajar al-Haitami menyebutkan dalam kitabnya al-Zawajir 2/37 bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai parfum dan berhias termasuk dosa besar sekalipun suaminya mengizinkan”[14]
3. Hadits Zainab bin Qais -radliyallahu’anha-
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الَمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang di antara kalian ingin sholat di masjid maka janganlah memakai parfum”[15]
Al-Imam Ibn Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Tidak halal bagi wali seorang wanita untuk melarang mereka pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, dan tidak halal bagi para wanita keluar dengan memakai wewangian juga tidak boleh dengan memakai pakaian yang bagus, jika para wanita melakukan semua ini maka cegahlah mereka agar tidak keluar.”[16]
Al-Imam Ibn Katsir -rahimahullah- berkata, “Boleh bagi para wanita hadir sholat berjamaah bersama kaum lelaki dengan syarat tidak mengganggu kaum lelaki dengan perhiasan yang nampak dan juga tidak dengan bau aroma perfumnya”[17]
Ibn Hajar al-Asqolani -rahimahullah- mengatakan, “Dikiaskan dengan minyak wangi, segala hal yang semisal dengan minyak wangi karena penyebab dilarangnya wanita memakai minyak wangi adalah adanya sesuatu yang menggerakkan dan membangkitkan syahwat.”[18]
C. Dalil dari atsar para Sahabat
1. Dari Ibrahim, Umar bin Khattab -radliyallahu’anhu- memeriksa shof sholat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata, “Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan.” Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai mengompol karena takut (dengan Umar -radliyallahu’anhu-)”[19]
2. Dari Yahya ibn Ja’dah, “Di masa pemerintahan ‘Umar ibn Khattab -radliyallahu’anhu- ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar radliyallahu’anhu mendapati bau harum dari perempuan tersebut maka Umar radliyallahu’anhu pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata, “Kalian para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mendapati bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian.”[20]
3. Abu Hurairoh -radliyallahu’anhu- berpapasan dengan seorang wanita yang memakai wewangian. Maka Abu Hurairoh -radliyallahu’anhu- berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu hendak ke masjid?” Ia menjawab, “Ya!” Abu Hurairoh -radliyallahu’anhu- kemudian berkata lagi, “Pulanglah saja, lalu mandilah! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima sholatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi (baru kemudian sholat ke masjid).” [21]
SOLUSI MASALAH BAU BADAN
Saudari jangan khawatir, sekarang ini banyak produk yang dijual di pasaran untuk mengatasi masalah tersebut. Dari yang berbentuk bubuk sampai yang cair. Pilihlah yang tidak memakai wewangian /fragnance free (semisal deodorant murni sebagai penghilang BB bukan parfum yang memang untuk pewangi badan/baju, ed). Walhasil, kesulitan yang dijumpai insyaAllah akan selalu ada jalan keluarnya! Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَ جًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS. at-Tholaq [65]:2)
Allahu a’lam.
Ditulis oleh. Ust . Syahrul Fatwa
Disalin dari: Majalah al-Furqon No 144 Edisi 8 tahun ke-13 hlm. 73-75
——
Endnote:
[1]. HR. Bukhari: 6492, Ahmad 3/2. Lihat Shahih at-Targhib 2/645
[2]. Zinah al-Mar’ah al Muslimah hlm. 72 karya Abdullah Fauzan
[3]. HR. al-Bukhari: 880
[4]. HR. Muslim: 846
[5]. HR. al-Bukhari: 314, Muslim: 332
[6]. HR. at-Tabarani dll. Lihat Shahih al-Jami’ no. 3299.
[7]. Zinatul Mar’ah Baina at-Tibb was Syar’i hlm.13 karya Muhammad ibn Abdul Aziz al Musnid
[8]. Tafsir Ibn Katsir 3/296
[9]. HR. Abu Dawud: 4173, al-Tirmidzi:2786, Ahmad 4/414, an-Nasa’i 8/153, al-Hakim 2/396, Ibn Khuzaimah:1681, Ibn Hibban:1474. Hadits ini dinyatakan hasan oleh as-Syaikh al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 137
[10]. Fath al-BAri 2/279
[11]. Tuhfah al-Ahwazi 2/2097
[12]. HR. Abu Dawud:565, Ahmad:9643, Ibn Khuzaimah 2/811, Ibn Hibban 4/74. As-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 565 berkata, “Hadits hasan shahih”
[13]. Jilbab al-Mar’ah Muslimah hlm. 139
[14]. Ibid. hlm. 139
[15]. HR. Muslim:443
[16]. Al-Muhalla 2/170
[17]. Tafsir Ibn Katsir 3/491
[18]. Fath al-Bari 2/349. Lihat juga Ihkam al-Ahkam 1/168 karya Ibn Daqiq al-’Id
[19]. Dikeluarkan oleh Abudrrazzaq dalam Mushonnaf-nya no. 8118
[20]. Ibid. no. 8107
[21]. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh al-Baihaqi 3/133 dan 246. Lihat as-Shahihah 3/1031 oleh al-Albani - NashirusSunnah Blog

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid