Jangan Latah Dalam Manasik Haji

Banyak cerita dari ustadz-ustadz pembimbing haji bahwa ada di antara jama’ah haji dari Indonesia yang latah, asal ikut-ikutan dalam melakukan ibadah manasik haji tanpa tahu dalilnya. Sehingga ia mengira apa yang dilihat itu dikiranya adalah bagian dari manasik haji atau sunnah, lalu ditiru begitu saja. Contohnya:
  • Melihat ada jama’ah haji yang mencium dan mengelus-elus maqam Ibrahim. Maka ia ikut-ikutan.
  • Melihat ada yang mencium rukun yamani, maka ia ikut-ikutan.
  • Melihat ada jama’ah yang shalat sunnah setelah manasik tertentu , maka ia ikut-ikutan.
Dan masih banyak lagi cerita-cerita seperti ini

Berilmu sebelum berangkat haji dan umrah

Dijelaskan oleh ulama bahwa ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang paling membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan di antara ibadah-ibadah yang lainnya. Ibadah shalat dan thaharah lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan dibandingkan ibadah haji dan umrah. Oleh karena itu hendaknya kita mempelajari ilmu sebelum mengamalkan. Sebagaimana dituliskan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya
باب العلم قبل القول و العمل
“berilmu sebelum berkata dan beramal”
Dan ini beliau simpulkan dari firman Allah Ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Jamaah haji hendaknya menghadiri majelis ilmu para ustadz dan ulama untuk menuntut ilmu serta memperdalam pemahaman mengenai manasik haji sehingga ibadah lebih sempurna. Kemudian buku-buku petunjuk hendaknya dibaca, dan sebaiknya membaca beberapa buku petunjuk karena satu dengan yang lainnya saling melengkakapi. Hendaknya membaca dari buku yang paling ringkas hingga ke buku yang agak tebal karena ibadah haji lebih membutuhkan pemahaman dibandingkan yang lain.

Bertanya kepada ahlinya

Jika ragu-ragu mengenai ibadah haji, maka hendaknya bertanya kepada pembimbing haji sebelum melakukannya. Jangan asal-asalan dan latah (sembarang ikut-ikutan). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)
Sebagaimana kaidah fikih bahwa ibadah tidak boleh dibangun di atas keragu-raguan
الشك يزال
“keragu-raguan hendaknya dihilangkan”
Alhamdulillah dalam ibadah haji disediakan kontak telepon bebas pulsa bagi jamaah haji yang bisa bertanya dan berkonsultasi. Silahkan bertanya kepada pembimbing haji, karena tidak seterusnya pembimbing haji bisa memberikan jawaban dan bisa diajak konsultasi.

Jika tidak ada asalnya amalan akan tertolak dan tidak diterima

Jika kita beribadah asal-asalan, maka ibadah bisa tertolak dan tidak diterima karena syarat ibadah adalah ikhlas dan sesuai tuntunan syariat. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Tafsir Ibnu Katsir 5/205).
Dan sering kita baca dalam ayat Al-Fatihah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat”( QS. Al-Fatihah: 5 – 7)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak dari orang-orang yang berilmu memiliki keserupaan dengan orang Yahudi (berilmu tidak mengamalkan). Sedangkan ahli ibadah yang rusak memiliki keserupaan dengan orang Nashrani (beramal tanpa ilmu)” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
Demikian semoga bermanfaat.
@perum PTSC, Cileungsi Bogor


5 Sifat Haji Mabrur

Haji mabrur itulah yang didambakan setiap orang karena balasannya tentu saja surga. Namun haji mabrur bukanlah suatu slogan atau titel. Ada beberapa sifat yang mesti dipenuhi, barulah seseorang yang berhaji bisa menggapai derajat mulia tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Di antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada bahasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Hadits di atas disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengawali pembahasan dalam kitab haji pada hadits no. 708. Hadits tersebut menerangkan mengenai keutamaan haji mabrur dan balasannya adalah surga.
Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39) mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal.
Kita dapat katakan bahwa sifat haji mabrur ada lima:
  1. Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
  2. Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
    Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).
  3. Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,
    الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).
  4. Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
  5. Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah. Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
    Di antara bentuk mengagungkan syi’ar Allah, hendaklah ketika berhaji menyibukkan diri dengan dzikir, yaitu memperbanyak takbir, tasbih, tahmid dan istighfar. Karena orang yang berhaji sedang dalam ibadah dan berada dalam waktu-waktu yang mulia.
Demikianlah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditilik, maka di dalamnya benar-benar berisi pengagungan terhadap syi’ar Allah. Itu nampak dari perkataan dan perbuatan beliau, semoga shalawat dan salam tercurahkan pada beliau.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk menggapai haji mabrur.

ReferensiMinhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 158-161.

Diselesaikan di pagi hari, 11 Dzulqo’dah 1434 H di Pesantren Tercinta Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id


Ja’far bin Abi Thalib: Pemilik Dua Sayap

Nama eBook: Ja’far bin Abi Thalib رضي الله عنه
Penyusun: Ustadz Abu Faiz Sholahuddin حفظه الله
Pengantar:
Alhamdulillah, kita bersyukur dan memuji Allah Rabb sekalian alam, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang perikehidupan belau adalah teladan paten bagi setiap muslim dalam segala sisi kehidupan.
Membaca dan mempelajari biografi para pendahulu umat adalah menjadi energi baru yang menjadi penyemangat dalam menjalani kehidupan yang penuh ujian di zaman yang penuh fitnah ini.
Setelah sekian lama biografi salafus sholeh tidak diposting di blog kita ini, dikesempatan yang mulia ini kami ketengahkan biografi salah satu sahabat, seorang ahli bait yang mana beliau adalah Abu Abdillah Ja’far bin Abi Thalib bin Abdil Muthalib bin Hasyim, anak paman Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau adalah saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه. Beliau seorang yang sangat lembut kepada sesama terutama kepada orang-orang miskin sehingga beliau digelari Abul Masakin (bapaknya orang miskin). Beliau mendapat jaminan masuk surga dan akan memiliki dua sayap yang dapat terbang di surga ke mana pun yang beliau kehendaki.
Beliau adalah salah satu dari 3 pemimpin dalam perang mu’tah yang ternama, ketiga beliau menjadi pemimpin pasukan dan memegang bendera jihad maka orang kafir menebas kedua tangannya, maka iapun mendekap bendera hingga beliau syahid, Ibnu Umar رضي الله عنهما menceritakan, “Pada waktu itu, aku ikut serta dalam barisan peperangan, kami menemukan jasad Ja’far (رضي الله عنه) bersama dengan para syuhada yang lainnya, dalam keadaan pada tubuhnya dijumpai sebanyak 70 lebih luka tusukan yang semuanya mengarah ke dada beliau.”
Atas keberaniannya tersebut ia dijamin surga oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم, dan kedua tangannya diganti Allah عزّوجلّ dengan dua sayap yang mana dengannya ia dapat terbang kemana saja disurga.
Semoga Allah عزّوجلّ mengumpulkan kita semua bersama dengan para nabi dan para sahabatnya dan sahabat penghuni surga yang memiliki dua sayap dan dapat terbang ke mana pun yang ia kehendaki. Wallahul Muwaffiq.
Catatan: Pada versi CHM juga disertakan biografi Salafush Sholeh lainnya…
Download:
Download CHM mirror Download CHM  dan Download Word atau Download PDF

Empat Orang yang Kelak Minta Tangguh Pada Hari kiamat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada empat golongan, kelak pada hari kiamat  akan berhujah dan minta ditangguhkan perkaranya. 

Orang tuli yang tidak bisa mendengar apapun, orang pandir, orang pikun, dan yang  terakhir orang yang hidup pada masa-masa kekosongan tidak ada rasul.


Adapun orang yang tuli, maka ia membela dirinya dengan mengatakan: “Ya Rabb, sungguh Islam telah datang, namun diriku tidak mendengar apapun tentangnya”.


Sedangkan orang yang pandir, mengatakan: “Ya Rabb, Islam telah datang, akan tetapi saya tidak mengerti sama sekali, sedangkan anak-anak kecil melempariku dengan kotoran hewan”.

Orang yang pikun membela dan berkata: “Ya Rabb, Islam datang, namun saya tidak mengerti sama sekali”. 

Adapun orang yang meninggal pada masa-masa fatroh (tidak ada Nabi maupun Rasul), maka ia mengatakan: “Ya Rabb, Engkau tidak pernah mengutus padaku seorang rasul”.


Maka setelah itu mereka semua diambil sumpahnya agar mentaati -Nya dan diutus pada mereka yang menyuruh agar semuanya masuk ke dalam api. Barangsiapa yang memasukinya maka rasa dingin dan keselamatan yang ia peroleh, dan barangsiapa yang enggan memasukinya maka ia ditarik darinya”.
Hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, Ibnu Abi ‘Ashim di dalam kitabnya ‘as-Sunnah’, dan al-Baihaqi di dalam ‘al-I’tiqad’, semuanya dari Abu Hurairah dan dari al-Aswad bin Sura’i.
Al-Baihaqi mengatakan: “Sanadnya Shahih”.


Oleh: Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari [Diterjemahkan Abu Umamah Arif Hidayatullah melalui IslamHouse.com]

Fiqih Pelaksanaan Ibadah Haji (Ustadz Zainal Abidin Syamsudin, Lc.)

Ceramah agama Islam oleh: Ustadz Zainal Abidin Syamsuddin
Ceramah tematik tentang “Fiqih Pelaksanaan Ibadah Haji” ini adalah yang disampaikan pada Rabu malam, 21 Dzulqa’dah 1434 / 25 September 2013, pukul 20:00-21:30 WIB oleh Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin di Radio Rodja dan RodjaTV.

Download ceramah Ustadz Zainal Abidin Syamsudinberjudul Fiqih Pelaksanaan Ibadah Haji lengkap dengan sesi tanya-jawabnya.

CEGAH UANG HILANG DI TANAH SUCI - Jemaah Calon Haji Dibekali Kartu ATM

BOYOLALI (KRjogja.com) - Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau kepada jemaah calon haji untuk mewaspadai berbagai kemungkinan tindak kejahatan selama menunaikan ibadah di Tanah Suci. Terutama jemaah yang membawa uang bekal banyak.

Data keamanan Panitia Penyelenggara Haji 2012 menyebutkan, tercatat sudah ada 292 kasus kejahatan dengan nilai kerugian materiil mencapai Rp 668 juta atau setara 283.569 Riyal. Kerugian itu baik uang 'living cost' maupun uang bekal lainnya.

“Hal tersebut merupakan potret besarnya angka kerugian yang dialami para jemaah haji yang diakibatkan adanya aksi kriminalitas baik penipuan, kelalaian, pencurian hingga perampokan. Kejadian itu adakalanya bisa terjadi di pemondokan, masjid atau tempat lainnya,” ujar Dirjend PHU Kemenag, Anggito Abimanyu, kepada wartawan disela kunjungannya di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Selasa (17/09/2013).

Anggito Abimanyu mengatakan, guna mencegah kejadian tersebut, Kemenag telah meluncurkan layanan produk perbankan untuk penyimpanan uang yang aman. Sehingga bisa dimanfaatkan jemaah selama di Tanah Suci.

“Layanan penyimpanan uang berbentuk anjungan tunai mandiri (ATM) ini merupakan salah satu cara untuk berjaga-jaga dari resiko uang hilang. Selain itu, dengan layanan tersebut keluarga jemaah yang ada di Tanah Air juga bisa mentransfer uang jika dibutuhkan,” ungkap Anggito.

Anggito menyebutkan, layanan penyimpanan uang berbentuk ATM tersebut dicetak secara gratis melalui empat bank, yakni Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, dan Bank Syariah Mandiri (BSM).

“Cuma butuh 5 hingga 10 menit untuk mendapatkan kartu ATM gratis tersebut. Konter Layanan Keuangan (KLK) juga sudah dibuka di seluruh embarkasi,” ungkapnya.(*-7) - http://kr.co.id

Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran

Di antara tanda-tanda kejujuran adalah takut kepada Allah dan zuhud dalam urusan dunia. Orang yang jujur dalam urusan dunia. orang yang takut dalam keyakinannya akan takut memakan barang-barang haram. Dia lebih memikul kemiskinan dan kesulitan demi mengharap surga. Jika dia berdosa, maka dia tidak tidur hingga dia kembali kepada Tuhannya dan berlepas diri dari dosanya.

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pada musim haji aku berada di Mekah. Aku melihat seorang laki-laki dari Khurasan mengumumkan ‘Wahai para jamaah haji, wahai penduduk Mekah, di kota maupun di pedesaan, aku kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa yang mengembalikannya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan membebaskannya dari neraka, serta dia mendapat pahala balasan pada hari kiamat.”
Berdirilah seorang laki-laki tua dari penduduk Mekah. Dia berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, musim haji adalah waktu yang terbatas, hari-harinya terhitung, dan pintu-pintu usaha tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin yang miskin atau orang lanjut usia dan dia mendapatkan janjimu. Seandainya dia mengembalikannya padamu, apakah kamu bersedia memberinya sedikit harta yang halal?”
Khurasani menjawab, “Berapa jumlah hadiah yang dia inginkan?”
Orang tua menjawab, “Sepuluh persen, seratus dinar.”
orang Khurasan itu tidak mau. Dia berkata, “Tidak, tetapi aku menyerahkan urusannya kepada Allah dan akan aku adukan dia pada hari dimana kita semua meghadap kepada-Nya. Dialah yang mencukupi kita dan sebaik-baik pelindung.”

Ibnu Jarir berkata, “Hatiku berkata bahwa orang tua itu adalah orang miskin. Dialah penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya sampai dia tiba di rumahnya. Ternyata dugaanku benar, aku mendengarnya memanggil, ‘Wahai Lubabah’. Istrinya menjawab, ‘Baik Abu Ghiyats’. Orang itu berkata lagi, “Baru saja aku berjumpa dengan pemiliki kantong yang mengumumkan kehilangan kantong ini, tetapi dia tidak mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah mengatakan kepadanya untuk memberi seratus dinar, tapi ia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang harus aku lakukan wahai Abu Lubabah? Haruskah dikembalikan? Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku bertumpuk-tumpuk.”

Rumah kecil 564x375 Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran


Lubabah, istrinya menjawab, “Suamiku, kita telah menderita kemiskinan selama 50 tahun. Kamu mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, aku istrimu dan juga ibuku, lalu kamu yang kesempbilan. Kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala. Ambil semua uangnya. Kenyangkan kami, karena kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami. Kamu lebih mengerti tentang keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya sesudah itu. Maka kamu bisa mengembalikan uang itu setelah kamu memberi makan keluargamu, atau Allah melunasi utangmu ini di hari kiamat.”
Pak tua itu berkata pada istrinya, “Apakah aku makan barang haram setelah aku menjalani hidup selama 86 tahun? Aku membakar perutku dengan neraka setelah sekian lama aku bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal aku sudah di ambang pintu kubur. Demi Allah aku tidak akan melakukannya.”

Ibnu Jarir berkata, “Aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak tua itu dan istrinya. Keesokan harinya pada waktu yang sama dengan kemarin, aku mendengar pemiliki dinar mengumumkan, “Wahai penduduk Mekah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari desa maupun dari kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar, maka hendaknya dia mengembalikannya kepadaku dan baginya balasan pahala dari Allah.”
Bapak tua itu berdiri dan berkata, “Hai orang Khurasan, kemarin aku telah mengatakan kepadamu, aku telah memberimu saran. Di kota kami ini, demi Allah, tumbuh-tumbuhan dan ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga dia tidak melanggar syariat. Aku telah mengatakan kepadamu untuk memberi orang yang menemukan kantong tersebut seratus dinar, tetapi kau menolaknya. Jika uang tersebut ditemukan oleh seseorang yang takut kepada Allah, apakah sudi kau memberinya sepuluh dinar saja, bukan seratus dinar? Agar bisa menjadi penutup dan pelindung baginya dalam kebutuhannya sehari-hari.”
Orang Khurasan itu menjawab, “Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan mengadukannya pada saat kita bertemu dengan-Nya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.”
Orang tua itu menariknya sambil berkata, Kemarilah kamu. Ambillah dinarmu dan biarkan aku tidur di malah hari. Aku tidak pernah tenang sejak menemukan harta itu.”
Ibnu Jarir berkata, “Orang tua itu pergi bersama pemiliki dinar. Aku membuntuti keduanya hingga orang tua itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar itu. Dia berkata, ‘Ambil uangmu. Aku memohon kepada Allah agar memaafkanku dan memberiku rezeki dari karunia-Nya’.”
Orang Khurasan itu mengambil dinarnya, dan ketika dia hendak keluar, ia kembali bertanya, “Pak tua, bapakku wafat -semoga Allah merahmatinya- dan meninggalkan untukku tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, ‘Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang paling berhak menerimanya menurutmu’. Maka aku menyimpannya di kantong ini sampai aku memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah, sejak aku berangkat dari Khurasan sampai di sini aku tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu. Ambillah! Semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas amanahmu dan membalas kesabaranmu atas kemiskinanmu.” Lalu dia pergi dan meninggalkan dirinya.

Bapak tua itu menangis. Dia berdoa kepada Allah, “Semoga Allah memberi rahmat kepada pemiliki harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya.”
Ibnu Jarir berkata, “Maka aku pun meninggalkan tempat itu dengan berjalan di belakang orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan meminta kembali. Dia berkata kepadaku, ‘Duduklah, aku melihatmu mengikutiku sejak hari pertama. Kamu mengetahui berita ini kemarin dan hari ini. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar dan Ali radhiallahu ‘anhuma, “Apabila Allah memberi kalian berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan, maka terimalah dan jangan menolaknya. Karena jika demikian, maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah”. Dan ini adalah hadiah dari Allah bagi siapa saja yang hadir.”

Abu Ghiyats lalu memanggil, “Wahai Lubabah, wahai Fulanah, wahai Fulanah.” Dia memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan memintaku untuk duduk. Kami semua bersepuluh. Dia membuka kantong dan berkata, “Beberkan pengakuan kalian.” Maka aku membeberkan pengakuanku. Adapun mereka, karena tidak memiliki pakaian, maka mereka tidak bisa membentangkan pengakuan mereka. Mereka menadahkan tangan mereka. Pak tua itu mulai menghitung dinar demi dinar, sampai pada dinar kesepuluh dia memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kamu dapat dinar.” Isi kantongnya yang seribu dinar itu pun habis dan aku diberinya seratus dinar.
Ibnu Jarir berkata, “Kebahagian mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku daripada mendapatkan 100 dinar ini. Manakala aku hendak pergia, dia berkata kepadaku, “Anak muda, kamu penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini dan juga tidak pernah memimpikannya. Aku berpesan kepadamu bahwa harta itu halal, maka jagalah dengan baik. Ketahuilah, sebelum ini aku shalat subuh dengan baju usang ini. Kemudia aku melepasnya sehingga anakku satu per satu bisa memakainya untuk shalat. Lalu aku pergi bekerja antara zuhur dan asar. Pada petang hari aku pulang dengan membawa rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian aku melepas pakaian usang ini untuk digunakan shalat zuhur dan asar oleh putri-putriku. Begitu pula shalat maghrib dan isya. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga harta ini bermanfaat, dan semoga apa yang aku dan kamu ambil juga bermanfaat. Semoga Allah merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya, dan berterima kasih kepadanya.”

Ibnu Jarir berkata, “Aku berpamitan dengannya. Aku telah mengantongi seratus dinar. Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkosnya dengan uang itu. Enam belas tahun kemudian aku kembali ke Mekah. Aku bertanya tentang bapak tua itu dan ternyata dia telah wafat beberapa bulan setelah peristiwa itu. Begitu pula istrinya, mertuanya, dan dua saudara perempuanya, semuanya telah wafat kecuali putri-putrinya. Aku bertanya tentang mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu karena berita kebaikan orang tuanya yang menyebar di seantero negeri. Aku singgah di rumah suami-suami mereka dan mereka menyambutku dengan baik, memuliakanku, hingga Allah mewafatkan mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat.”
Firman Allah Ta’ala, “Demikianlah diberi pengajaran kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Lihatlah bagaimana rezeki yang didapatkan Abu Ghiyats, rezeki yang Allah tetapkan tidak berkurang karena kejujuran dan tidak pula bertambah dengan kebohongan atau dusta demikian pula jatah rezeki tersebut tidak bertambah dengan Korupsi.
Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf - kisahmuslim.com

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid