Kajian Ramadhan 18: Do’a di Malam Lailatul Qadar

Di antara amalan yang dianjurkan ketika seseorang bertemu dengan lailatul qadar adalah memperbanyak do’a ampunan.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »
Dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah:
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni
(Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku)”
(HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”. Maksud dari “innaka ‘afuwwun” adalah yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi.
Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak do’a “Allahumma innaka ‘afuwwun …” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Do’a di atas begitu jaami’ (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Do’a tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadho-ilul Awqot, hal. 258).
Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik, ”Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan, keadaan atau ucapan yang baik (sholih). Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”
Yahya bin Mu’adz pernah berkata, ”Bukanlah orang yang arif jika ia tidak pernah mengharap ampunan Allah.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 362-363).
Hadits ‘Aisyah di atas juga menunjukkan bahwa do’a di malam lailatul qadar adalah do’a yang mustajab sehingga dia bertanya pada Rasul mengenai do’a apa yang mesti dipanjatkan di malam tersebut.
Semoga Allah memberi kita taufik untuk terus beramal sholih di hari-hari terakhir Ramadhan.

Referensi:
  • Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.
  • Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 362-363.
Disusun di malam 22 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta
Artikel Muslim.Or.Id

Yang Mati Hari Jum'at Selamat dari Siksa Kubur?

Dalam Rubrik Tazkiyatun Nufus edisi Shafar 1433 H pada halaman 60 disebutkan bahwa diantara orang-orang yang terpelihara dari ujian dan siksa kubur (yang ke tiga) adalah seorang Muslim yang meninggal pada hari jumat. Pertanyaannya adalah apakah hadits ini berlaku secara mutlak?

Keterangan ini berlawanan dengan keterangan sebelumnya yang mengatakan bahwa diantara sebab siksa kubur adalah ahli riba. Bagaimana kalau yang mati pada hari jumat itu ahli riba atau pezina? Mohon dijelaskan supaya lebih jelas dan gamblang. Terima kasih.
Abu Syifa Sahiri Brebes.
Jawaban:
Hadits yang dimaksudkan oleh penanya adalah sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ، أَوْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Setiap Muslim yang meninggal pada hari Jum’at akan dijaga oleh Allâh dari fitnah kubur.
(HR. Ahmad dan Tirmidzi; Dinyatakan kuat oleh syaikh al-Albâni dalam Ahkâmul Janâiz, hlm. 35)
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan orang yang meninggal pada malam atau siang hari Jum’at dan termasuk salah satu tanda khusnul khatimah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ahkâmul Janâiz, hlm. 49.
Al-Mubarakfûri dalam Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Jâmi Tirmidzi, ketika menjelaskan hadits ini membawakan perkataan al-Hakim at-Tirmidzi, “Jika Allâh Ta'âla mewafatkan seseorang dan hari wafatnya itu bertepatan dengan hari Jum’at, maka itu merupakan tanda kebahagiaannya dan tanda tempat kembalinya yang bagus. Karena tidaklah dicabut nyawa seseorang pada hari Jum’at kecuali orang yang telah ditulis kebahagiaannya disisi-Nya. Oleh karena itu Allâh menjaganya dari fitnah kubur.[1]
Lalu bagaimana kalau yang meninggal pada hari itu adalah pelaku maksiat bahkan pelaku dosa besar misalnya? Menurut aqidah ahlussunnah jika seorang Muslim meninggal dunia sedangkan ia dalam berada dalam kemaksiatan, misalnya melakukan dosa-dosa besar, seperti zina, menuduh wanita Muslimah berzina, atau mencuri maka urusan mereka dibawah kehendak Allâh Ta'âla. Jika Allâh Ta'âla berkehendak maka Dia akan mengampuni dosa hamba tersebut dan jika tidak, maka Dia akan menyiksanya terlebih dahulu, lalu si hamba tadi akan dimasukan ke dalam surga, sebagaimana firman Allâh Ta'âla yang artinya: "Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik dan Allâh mengampuni dosa yang selain dosa syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya."(QS. An-Nisâ/4:48) Dan banyak sekali hadits yang shahîh dan mutawatir yang menjelaskan tentang dikeluarkannya kaum Muslimin pelaku kemasiatan dari neraka. (Lihat Fatâwâ Lajnah Dâimah, 1/728)
Maka demikian pula halnya siksa kubur bagi pelaku dosa besar. Jika Allâh Ta'âla menghendaki, maka Allâh Ta'âla akan menyiksanya dan jika Allâh Ta'âla menghendaki untuk mengampuninya, maka Dia mengampuninya. Dan hanya Allâh Ta'âla yang berhak memberikan siksa dan meringankan beban siksa seseorang dalam kubur atau bahkan meniadakan siksa kubur sama sekali terhadap hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Wallâhu A’lam.
[1]Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Jâmi Tirmidzi, 4/136, cet Dar Fikr

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV)

Kapan Melakukan Sujud Syukur?

(Uswah Nabi [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV)
 
Bersyukur dan bersabar merupakan dua wazhîfah (tugas) Mukmin dengan fungsi dan momen yang saling bertolak-belakang. Sabar menjadi perisainya saat mengalami takdir yang tidak mengenakkan bagi dirinya sehingga tetap sanggup teguh dan bertahan tanpa mencibir takdir ketika pahitnya hidup menderanya. Sedangkan, bersyukur, sebuah ungkapan terima kasih dengan bahasa hati dan lisan serta perbuatan kepada Allâh Ta'âla atas kebaikan dan segala nikmat yang tercurahkan.

Salah satu petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam mensyukuri nikmat-Nya, melakukan sujud syukur manakala memperoleh kenikmatan yang tak biasa, atau selamat dari ancaman musibah yang mengerikan. Dalam riwayat Abi Bakrah radhiyallâhu'anhu :
أَنَّ النَّبِــيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرٌ سُرَّ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا
Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam bila kedatangan perkara yang (sangat) menyenangkan, menunduk untuk bersujud 
(Hadits Hasan)
Nikmat Allâh Ta'âla bagi setiap manusia sangatlah banyak. Allâh Ta'âla berfirman:
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya 
(QS. Ibrâhîm/14:34)
Nikmat bernafas, kesehatan, makan, minum, bisa buang hajat merupakan contoh nikmat-nikmat yang sangat berharga. Bila seseorang tidak terhalangi dari semua itu, ia akan binasa. Akan tetapi, nikmat-nikmat itu bersifat mustamirrah (kontinyu). Jika seseorang dianjurkan untuk selalu sujud dalam mensyukurinya, sudah tentu waktunya akan habis untuk urusan sujud.[1]
Namun dari sekian kenikmatan yang diraih seorang hamba ada yang bersifat mutajaddidah, sebuah nikmat yang sangat membahagiakan, tapi terjadi secara insidental, tidak berulang terus-menerus. Misalnya, kelahiran anak, melangsungkan pernikahan, promosi jabatan, datangnya anggota keluarga yang sudah sekian lama hilang dan hal-hal lain yang sangat mendatangkan kebahagiaan dan keceriaan. Disunnahkan bagi orang yang mendapatkannya untuk bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allâh Ta'âla.
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullâh menerangkan tata cara pelaksanaannya. Beliau mengambil permisalan, jika seseorang memperoleh anak, ia bersujud seperti dalam shalat dengan membaca Subhâna Rabbiyal A’lâ (atau bacaan sujud lainnya), kemudian bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas pemberian nikmat itu dan memuji Allâh Ta'âla dengan berkata (misalnya), “Ya Rabbi, aku bersyukur kepada- Mu atas nikmat ini”.
Demikian juga bila terhindar dari musibah yang sudah benar-benar mengancam jiwa raganya. Bentuk musibah banyak sekali. Semisal, mengalami kecelakaan sampai mobil terguling-guling, namun jiwa dan raganya selamat. Atas keselamatannya ini, seorang mukmin dianjurkan juga untuk melakukan sujud syukur kepada Allâh Ta'âla yang telah menyelamatkannya dari mara bahaya.
Generasi Salaf pun telah mempraktekkannya. Ketika Ka’b bin Mâlik mendengar kabar Allâh Ta'âla menerima taubatnya, Sahabat yang mulia ini langsung bersujud syukur. Begitu pula, tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib menemukan jenazah Dzul Tsadyah, pentolan Khawarij, beliau bersujud syukur.[2]
Dari sini, menjadi jelas dianjurkannya sujud syukur saat mendapatkan anugerah besar dari Allâh Ta'âla atau selamat dari mara bahaya. Inilah contoh nyata dan tuntunan dari Nabi Muhammadshallallâhu 'alaihi wa sallam dalam bersyukur yang mestinya dilakukan umat. Mari bersama-sama mengutamakan dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Wallâhu a’lam.
 
[1]Syarhu Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, 2/1350
[2]Lihat Bahjatun Nâzhirîn, Syaikh Salim al-Hilâli, 2/325

Adab Duduk di Pinggir Jalan


عَنْ أَبِـي سَعِيدٍ الْـخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَـجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنْ أَبَـيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ كَفُّ الأَذَى وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al-Khudry radhiallahu’anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan".
Maka para Sahabat berkata: "Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap".
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: "Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan".
Sahabat bertanya: "Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."
Hadits di atas menjelaskan, sekaligus membenarkan waqi' (kenyataan) pahit yang melanda umat ini. Di mana mayoritas kaum muslimin sekarang banyak menghabiskan waktunya untuk nongkrong di tempat-tempat keramaian atau tepi jalan, sambil menikmati kemaksiatan dengan model dan corak yang bermacam-macam. Kalau kita tanya, mereka akan menjawab, "Hanya cuci mata, refreshing, menikmati pemandangan" dan yang semisalnya.
Padahal ketika kita ajak mereka untuk hadir di majelis ta'lim, mengaji agama, merekapun beralasan sibuk, capek, tidak punya waktu dan setumpuk alasan lain. Bahkan karena kebenciannya dengan ilmu agama, tidak jarang di antara mereka ada yang sengaja beralasan sakit, padahal tubuhnya sehat.
Ini adalah realita pahit yang menimpa kaum muslimin sekarang ini, khususnya muda-mudi kita. Sebagian mereka melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allâh. Merekapun lupa, waktu adalah modal utama yang tak akan pernah kembali lagi jika sudah berlalu. Sedangkan kebahagiaan dan kecelakaan hamba di akhirat sangat bergantung kepada cara mengisi kehidupannya di dunia ini.
Apakah mereka tidak sadar, pekerjaan mengumbar hawa nafsu itu akan mengundang murka Allâh Ta’ala dan semakin menjauhkan mereka dari hidayah serta petunjuk-Nya? Tidakkah mereka renungi, kelak mereka akan dimintai pertanggung-jawaban tentang kesempurnaan nikmat (indra) yang mereka miliki?
Alangkah bahagianya orang yang menghabiskan umurnya dalam ketaatan kepada Allâh Ta’ala, orang yang menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan kesia-siaan.

MAKNA LAFAZH HADITS

 
إِيَّاكُمْ
 
Adalah kalimat yang digunakan untuk mentahdzir (memberikan peringatan keras) terhadap sesuatu.
 
الطُّرُقَاتِ
 
Adalah jama' dari طرق, mufrodnya adalah طريق sehingga kalimat ini adalah merupakan جمع الجمع (dobel jama').
 
 لا بُدَّ
 
Tempat menghindar atau lari.
 
الكَفُّ
 Yaitu menahan.[1]
 
غَضُّ البَصَرِ
 Menundukkan pandangan dari yang diharamkan.
 
رَدُّ السَّلاَمِ
 Menjawab salam orang yang lewat.
 
كَفُّ الأَذَى
 Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.[2]

ASBABUL WURUD HADITS
Dari Aisyah radhiyallâhu'anha, ia berkata: “Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam (suatu ketika) mendatangi majelis kaum Anshor, lalu mengucapkan salam kepada mereka, merekapun menjawab salam. Nabi tidak menyukai majelis itu, lalu merekapun mengatakan: ‘Wahai Rasûlullâh, (ini) adalah majelis yang dilakukan oleh bapak-bapak kami dulu di waktu jahiliyah, maka kami ingin meramaikannya dengan duduk-duduk padanya’. Lalu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan: ‘Jika kalian enggan kecuali dengan bermajelis maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan dan tunjukilah jalan.’”[3]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Adâbul Mufrad No.1150, Muslim (Muktasharnya) dalam kitab: Adab, Bab Larangan Duduk di Jalan no. 1419 hal: 374. Abu Dawud dalam Bab Duduk di Jalan (4816).[4]
Hadist yang semakna juga di keluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Musykilil Atsar 1/58, dan Al- Bazâr dalam Musnadnya, 2/425/2018 (Kasyful astar) dari jalan Muhammad bin Al-Mutsana dan Yazid bin Sinaan, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sinaan dari Abdullah bin Mubarak dari Jarir bin Hazim dari Ishaq bin Suwaid dari Ibnu Hujairoh dari Umar, dengan lafadz: 
إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ فِـيْ الصُعَدَاتِ فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْـنَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قِيْلَ وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَإِرْشَادُ الضَالِ
Jauhilah oleh kalian duduk di jalan, jika kalian mesti berbuat demikian, maka berilah hak jalan". Ada yang bertanya: "Apakah hak jalan itu?" Beliau menjawab:"Menundukan pandangan, menjawab salam, dan menunjuki orang yang tersesat." 
Syeikh Al-Albaniy berkata dalam Silsilah Ahadits Shohihah 6/11-13: "Hadist ini shohih. Hadits ini terdapat di dalam Shohihaini dan Adabul Mufrod 1150, Abu Dawud 4815, Ibnu Hibban 594, dan Ath- Thahawy dan Ahmad 3/36 dari Said Al-Khudry semisalnya secara marfu'. Demikian juga diriwayatkan oleh Imam Muslim 7/2 dari hadits Abu Tolhah tanpa lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ(menunjukkan orang yang tersesat).
Dan Abu Said menambahkan :
وَ كَفُّ الأَذَى وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Menyingkirkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar.
Dan dalam riwayat Ahmad 3/61 dari jalan Abdurrozaq di dalam Al-Musonnaf 11/20/19786, dari seorang rowi dari Abi Said, dengan mengganti lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ dengan lafadz: وَأَرْشِدُوْا السَّائِلِdan lafadz (ini) adalah semakna dengan lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ.
Hadits yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari Abi Huroiroh, Barro' bin Azib, Abdullah bin Abbas dan Sahl bin Saad.
I. 
Hadist Abi Huroirah mempunyai dua jalan:
 
  a.
Dari Ala' bin Abdurrohman dari bapaknya dari Abi Hurairoh: ia menyebutkan hadits tersebut dengan lafadz:
إِدْلاَلُ السَّائِلِ وَرَدُّ السَّلاَمِ وَغَضُّ الْبَصَرِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Menunjuki orang yang bertanya, menjawab salam, menundukkan pandangan, memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod (1049)
Aku (Al-albany) berkata: "Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim."
    
  b.
Dari Abdirrahman bin Ishaq dari said Al-Maqburiy dari Abi Huroirah dengan lafadz:
وَغَضُّ الْبَصَرِ , وَإِرْشَادُ ابْنِ السَّبِيْلِ ,تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ إِذَا حَمِدَ اللهَ ,وَرَدُّ التَّحِيَّةِ
Menundukan pandangan, menunjukkan Ibnu sabil, mendoakan orang yang bersin apabila dia mengucapkan hamdallâh, dan menjawab salam.
Hadist ini juga di riwayatkan oleh Imam Bukhari (1014), Abu Dawud (4816), Ibnu Hibban (595). Dan sanadnya jayyid (bagus) menurut syarat Muslim.
    
II. 
Hadist Barro' diriwayatkan oleh Syu'bah dan yang lainya dari Abi Ishaq dari Abu Hurairah dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ
Maka jawablah salam, dan tolonglah orang yang teraniaya, dan tunjukkanlah jalan. (Hadist ini di keluarkan oleh Timidzi: 2727, Ad-Darimy: 2/282, Ibnu Hibban: 596, juga Ath-Thahawy, Ahmad 4/282, 291, 393, 304)
At-Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits hasan."
Aku (Al-Albany) berkata: "Ini adalah hadits shohih karena shayid-syahidnya (penguat-penguat) yang terdahulu. Sedangkan kalimat وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ (tolonglah orang yang teraniaya) juga tersebut di dalam Shohihaini dari jalan lain dari Barro' dengan lafadz:
أُمِرْنَا بِسَبْعٍ ... (الحديث)
Kami diperintahkan untuk mengerjakan tujuh perkara……
(al-hadits)".

Dan Imam Muslim menyebutkan dalam riwayatnya 6/135 dengan lafadz إِرْشَادُ الضَّالِ(menunjukkan orang yang tersesat).
    
III. 
Hadist Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Laila dari Dawud bin Ali dari bapaknya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Abbas dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَ غَضُّوْا البَصَرَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ
Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan, 
tunjukilah jalan serta tolonglah beban seseorang.
Hadist ini di keluarkan oleh Al-Bazaar 2019 dan berkata: "Kami tidak mengetahui dari Ibnu Abbas selain dari jalan ini, dan telah diriwayatkan dari jalan lain dengan beberapa lafadz. Tetapi kami tidak mengetahui hadits: وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ (tolonglah beban seseorang) selain hadits ini. Adapun Dawud tidak kuat dalam haditsnya dan jangan dianggap dia selalu benar haditsnya, tetapi dapat ditulis manakala perawi lain tidak ada yang meriwayatkan."
Aku Al-Albany berkata: "Dan Ibnu Abi Laila –namanya adalah Muhammad bin Abdirrohman– jelek hafalannya, sebagaimana cacat tersebut telah diterangakan oleh Al-Haitsamy. Ia mengatakan seperti apa yang di katakan oleh Ibnu Hajar dalam Zawaid Al- Bazzar 2/211.
   
IV. 
Hadits Sahl, diriwayatkan oleh Abu Ma'syar, dia berkata: Abu Bakr bin Abdirrohman Al-Anshori telah menceritakan kepada kami dari Sahl, dengan lafadz:
قَالُوْا : وَمَا حَقُّ الْـمَجْلِسِ؟ قَالَ ذِكْرُ اللهِ كَثِيْـرًا وَإِرْشَادُ السَّبِيْلِ, وَغَضُّ الْبَصَرِ
Mereka bertanya: "Apa hak majelis?", Rasulullah menjawab: "Banyak mengingat Allâh, menunjukkan jalan,
dan menundukan pandangan." (Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony dalam Al-Kabir 6/105/5592)

Adapun hadits Wahsyi, diriwayatkan oleh Wahsyi bin Harb bin Wahsyi dari bapaknya dari kakeknya dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ , وَغَضُّوْا مِنْ أَبْصَارِكُمْ ,وَاهْدُوْا اْلأَعْمَى ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ
Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan kalian dan tunjukkilah orang yang buta [5] serta tolonglah orang yang teraniaya. (Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony juga 22/138/367)
Al-Haitsamy berkata: "Perawinya adalah terpercaya, dan sebagiannya adalah lemah".
Aku (Al-albany) berkata: "Harb bin Wahsyi tidaklah dikuatkan kecuali oleh Ibnu Hibban 4/173, dia mempunyai kesamaran, seperti yang saya jelaskan dalam kitab Taisiril Intifa'."[6]

BIOGRAFI PERAWI HADITS
Untuk lebih berfaedah dan mempermudah kita dalam memahami kandungan satu hadits, maka perlu mengetahui biografi perawi hadits, untuk menambah keyakinan dan kemantapan dalam mengamalkannya. Manfaat lain, kita dapat mengenal hal ihwal para sahabat yang dapat menambah kecintaan kita terhadap mereka.
Perawi hadits ini, seorang sahabat yang terkenal yaitu Said bin Malik bin Sinaan Al-Anshory Al-Khozrojy Al-Khudry, dikenal juga dengan kunyahnya yaitu Abu Said. Beliau seorang ahli fiqh, mujtahid dan pernah menjabat mufti Madinah. Beliau selalu mendampingi Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau berperang bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebanyak 12 kali, di antaranya perang Khondak, Bai'atur Ridwan dan lain-lain. Meninggal di kota Madinah padah tahun 74 H. Sedangkan bapaknya bernama Malik meninggal di perang Uhud.[7]

PENJELASAN MAKNA HADITS
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang umatnya duduk di jalanan, baik di atas ranjang, kursi atau hanya di atas tanah, baik yang beralas atau tidak. Larangan tersebut akhirnya dirasakan berat oleh para sahabat, sehingga mereka mengadu kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sembari mengatakan:
"Wahai Rasûlullâh, ini adalah kebiasaan kami dalam memperbincangkan sesuatu masalah, baik yang berhubungan dengan agama, dunia atau kebaikan yang lainnya. Kami merasa senang dengan hal ini."
Sebenarnya para sahabatpun memahami, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam tidaklah bermaksud melarang mereka secara mutlak apalagi mengharamkan perbuatan mereka. Karena larangan itu sebenarnya tidak ditujukan kepada perbuatan mereka, akan tetapi ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan hak orang yang lewat di jalan. Oleh karena itu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka, ketika mereka mau memperhatikan apa yang menjadi hak jalan.
Di antara hak jalan tersebut adalah:
1. Menundukan pandangan.
  
Betapa banyak kita saksikan muda-mudi yang berkeliaran tanpa tujuan yang jelas. Bahkan kadangkala motif mereka cuma mejeng dan cari perhatian, dengan penampilan mereka yang ala artis Barat. Belum lagi di tambah gaya mereka yang di bumbui dengan parfum atau wangi-wangian yang baunya sangat menusuk hidung.
Jelas ini semuanya adalah musibah bagi orang yang melihatnya, khususnya bagi laki-laki yang imannya lemah, yang terbiasa duduk di pinggir jalan. Maka janganlah sampai kita memperturutkan pandangan kita, melihat para nyonya atau wanita penghibur yang senantiasa menebar virus fitnah tersebut. Karena Allâh Ta'âla mengharamkan hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, 
dan memelihara kemaluannya; 
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, 
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
 
(QS. an-Nûr/24:30)
Berdasarkan ayat ini, sebagian Ulama berpendapat tidak bolehnya memandang wanita yang bukan mahramnya, baik dengan syahwat atau tidak. [8]
Jika memandang wanita adalah haram, maka bagaimana halnya kalau ditambah dengan kata-kata keji atau jorok kepada orang yang lewat atau menuduh zina perempuan yang baik?! tentu dosanya akan lebih besar di sisi Allâh Ta'âla.
Sebagaimana kita dilarang memandang wanita yang sedang lewat, demikian pula haram bagi kita mengintip wanita yang menampakan auratnya karena suatu hajat atau sedang istirahat di rumah-rumah mereka. Jangan sampai mata kita disibukkan memandang hal yang haram. Tetapi mari kita pergunakan untuk melihat hal yang disyariatkan atau diperbolehkan, sebagai bukti syukur kita kepada Allâh atas kesempurnaan nikmat (indra) yang dianugerahkan-Nya kepada kita.
   
2. Menghilangkan gangguan.
  
Janganlah kita menyakiti orang lain, baik dengan perkataan atau perbuatan. Seperti mencela orang, atau memukul orang lain dengan tangan atau dengan tongkat tanpa kesalahan yang di lakukan orang tersebut.
Termasuk juga merampas apa yang dibawa seseorang, membanjiri jalan dengan air supaya membasahi kaki orang yang lewat, menaruh gangguan di jalan agar orang yang lewat tersandung, melemparkan kotoran di tengah jalan, meletakkan duri di tengah jalan, supaya mengenai orang yang lewat; mempersempit jalan, dengan cara membuat majelis duduk yang dapat mengganggu tetangga dan wanita yang ingin keluar; atau membatasi gerak seseorang, dan lain sebagainya. Semua ini adalah contoh bentuk perbuatan tercela yang dapat merugikan orang lain dan wajib ditinggalkan.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam menuturkan dalam sabdanya:
Demi Allâh, dia tidaklah beriman; 
demi Allâh, dia tidaklah beriman; 
demi Allâh, dia tidaklah beriman.
Beliau ditanya: 
"Siapakah wahai Rasûlullâh?"
Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman 
dari gangguannya.
[9]

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda:
"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin 
selamat dari lisan dan tangannya, 
sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan 
hal-hal yang dilarang oleh Allâh."
[10]
   
3. Menjawab Salam
  
Menjawab salam merupakan kewajiban seorang muslim dan sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang patut diteladani. Janganlah kita bosan menjawab salam, walaupun orang yang lewat banyak, karena semua itu dapat menimbulkan kecintaan orang lain. Mereka akan menghormati dan memuliakan kita.
Tidakkah kita senang kepada orang yang menyayangi kita serta menghargai orang yang memuliakan kita? Maka hendaklah kita membalas salam dengan yang semisalnya atau dengan yang lebih baik. Karena perkataan muslim sejati yang mendambakan keselamatan di dunia dan akhirat, jika diseru oleh Allâh dan Rasul-Nya kepada satu kebaikan, adalah "kami dengar dan kami taati".
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya) :
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, 
bila mereka dipanggil kepada Allâh dan Rasul-Nya 
agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan
"Kami mendengar dan kami patuh." 
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

(QS. an-Nur/24:51)
   
4. Memerintahkan kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
  
Memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan kewajiban mulia bagi seorang muslim terhadap saudaranya muslim. Apabila kita melihat sebuah gerobak (pedati) bermuatan berat ditarik seekor binatang, atau kita menyaksikan seekor hewan yang membawa suatu barang berat di luar kemampauannya, ini termasuk kemungkaran. Maka mintalah sang pengemudi atau pemiliknya meringankan beban muatannya.
Jika kita melihat dua orang lewat saling mencaci atau berkelahi, maka perintahkanlah keduanya untuk berhenti. Jika kita melihat seorang pemuda yang menggoda seorang gadis atau menghalang-halangi jalannya, maka berilah ia nasehat supaya menghentikan perbuatannya dan berjalan di atas jalan yang lurus. Seandainya dia menolak, maka kerjakanlah apa yang dapat kamu lakukan dengan tanpa ceroboh atau merugikan diri kamu sendiri.
Begitu pula kalau kita mengetahui ada orang menambah takaran (dengan tanpa keridhaan) atau mengurangi timbangan, maka perintahlah ia supaya berbuat adil. Demikian juga kecurangan lain yang dilakukan para pedagang, harus diingkari. Dan kewajiban kita adalah meluruskannya.[11]

Inilah beberapa adab yang harus diperhatikan oleh orang yang duduk di jalan. Dari empat adab yang telah dijelaskan hadits di atas, terdapat penambahan adab dalam riwayat hadits yang lain, yaitu:
  1. Riwayat Abu Dawud, dengan tambahan ‘Menunjukan ibnu sabil dan mendoakan orang bersin apabila ia memuji Allâh’.
  2. Riwayat Said bin Mansur dengan tambahan: ‘Menolong orang yang ketakutan.’
  3. Riwayat Al-Bazaar dengan tambahan: ‘Membantu orang yang kesusahan.’
  4. Riwayat Ath-Thabrani dengan tambahan: ‘Menolong orang yang teraniaya serta banyak berdzikir kepeda Allâh.’[12]
Semua riwayat di atas menunjukan urgensi (arti pentingnya) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur di manapun berada. Baik terhadap sesama muslim ataupun orang kafir, walaupun saat duduk di pinggir jalan. Karena akhlak mulia merupakan simbol kesempurnaan iman seorang muslim. Hal itu dapat diwujudkan dengan cara meneladani akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu
suri teladan yang baik bagimu 
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh 
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.

(QS. al-Ahzab/33:21)

Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik suri tauladan dan benar-benar berakhlak mulia.
Allâh berfirman (yang artinya):
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. 
(QS. al-Qalam/68:4)
Jelaslah, akhlak yang mulia dapat diwujudkan dengan meneladani akhlak Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sehingga dengan demikian ketinggian akhlak dan kesempurnaan syariat islam sajalah yang akan tetap nampak sampai akhir zaman.

MUTIARA FAIDAH HADITS
Ketahuilah bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat sekumpulan adab-adab islam yang sangat baik dan penting. Yaitu etika duduk di jalan dan serambi rumah. Sudah seyogyanya seorang muslim memberi perhatian yang besar dalam hal ini. Apalagi di antara adab-adab tersebut ada yang berupa kewajiban, seperti menundukkan pandangan dari wanita. Ini merupakan perkara yang sudah ditegaskan dalam Al Quran dan banyak diperintahkan dalam hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, 
dan memelihara kemaluannya; 
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, 
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
 
(QS. an-Nûr/24: 30)

Apabila perintah Allâh ini ditujukan langsung kepada generasi pertama yang suci, sedangkan sebagian wanita waktu itu tidaklah terlihat kecuali tangan dan mukanya, maka perintah menundukkan pandangan di zaman sekarang semakin kuat. Apalagi sekarang sudah banyak dijumpai wanita berpakaian tetapi telanjang, mereka termasuk ahli neraka sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
Ada dua golongan dari penduduk neraka 
yang belum pernah aku lihat keduanya … 
Wanita berpakaian tapi telanjang,
(berjalan) sambil condong serta berlenggaklenggok,
kepala mereka seperti punuk unta, 
mereka tidak akan masuk surga…
(Al-Hadits)
Maka wajib bagi seorang muslim –khususnya para kawula muda– untuk menundukkan pandangan mereka, dari melihat gambar telanjang (porno) yang memicu diri mereka dan mendorong daya nafsu mereka. Jika mampu, hendaklah mereka segera menikah untuk menjaga nafsu mereka. Jika mereka tidak mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan penawar, sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Janganlah mereka melakukan istimna' (onani) sebagai ganti dari berpuasa,[13] sehingga mereka menjadi orang-orang yang dimurkai oleh Allâh seperti firman-Nya (yang artinya):
"Apakah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang baik?"
(QS. al-Baqarah/2:61)
Saya memohon kepada Allâh, agar berkenan menjadikan kita dan seluruh kaum muslimin selalu dalam ketaatan kepada-Nya. Dan supaya Allâh memalingkan kita dari kemaksiatan yang tidak Dia ridhai, sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. [14]

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pada asalnya hukum duduk di pinggir jalan atau nongkrong di depan keramaian adalah perkara mubah, selama tidak mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain, dengan alasan:
Pertama. Karena ini perkara dunia.[15]
Kedua. Karena tidak adanya dalil qat'i yang mengharamkam perbuatan tersebut.
Akan tetapi ingatlah wahai saudaraku, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat itu, tentu lebih utama dan mulia. Terlebih lagi bagi seorang thalibul ilmi syar'iy as-salafy, ia harus menjaga muru'ah (kehormatan) yang sangat dianjurkan dalam syariat. Sibramilisy dalam catatan pinggir kitab Nihayatul Muhtaj 1/299 mengatakan: "Merokok, minum kopi dalam warung di pasar adalah suatu perbuatan yang dapat menghilangkan muru'ah seseorang, walaupun pelakunya merasa malu dengan perbuatannya."[16]
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan lahir dan batin untuk tetap istiqamah di atas perintah-Nya dan di atas sunnah Nabi-Nya. Sehingga kita mampu meninggalkan hal-hal-yang tidak berfaedah, sekecil apapun. Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
Di antara tanda kesempurnaan islam seseorang adalah 
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
[17]

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah khususnya para kaum muda dan kepada kaum muslimin umumnya untuk bisa memanfaatkan waktu lebih baik lagi dengan hanya beribadah kepada Allâh, karena kita tidak tahu kapan akhir hayat kita.

(Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI)

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid