Sudahkah Anda Merasakan Manfaat Shalat?


(Oleh: Ustadz Mochamad Taufiq Badri) 
 
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sebuah ibadah mulia yang mempunyai peran penting bagi keislaman seseorang. Sehingga Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengibaratkan shalat seperti pondasi dalam sebuah bangunan.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
. بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
Islam dibangun di atas lima hal: 
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan 
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allâh 
dan Nabi Muhammad adalah utusan Allâh,
menegakkan shalat…. 
(HR Bukhâri dan Muslim)

Oleh karena itu, ketika muadzin mengumandangkan adzan, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah-rumah Allâh Ta'âla, mengambil air wudhu, kemudian berbaris rapi di belakang imam shalat mereka. Mulailah kaum muslimin tenggelam dalam dialog dengan Allâh Ta'âla dan begitu khusyu’ menikmati shalat sampai imam mengucapkan salam. Dan setelah usai, masing-masing kembali pada aktifitasnya.
Timbul pertanyaan, apakah masing-masing kaum muslimin sama dalam menikmati shalat ini? Apakah juga mendapatkan hasil yang sama? Perlu kita ketahui bahwa setiap amal shalih membawa pengaruh baik kepada pelaku-pelakunya. Pengaruh ini akan semakin besar sesuai dengan keikhlasan dan kebenaran amalan tersebut. Dan pernahkah kita bertanya, “Apakah manfaat dari shalatku?” atau “Sudahkah aku merasakan manfaat shalat?”
Imam Hasan al-Bashri rahimahullâh pernah mengatakan:
“Wahai, anak manusia. Shalat adalah perkara yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat”.[1]
Dari nasihat beliau ini, kita bisa memahami bahwa shalat yang dilakukan secara benar akan membawa pengaruh positif kepada pelakunya. Dan pada kesempatan ini, marilah kita mempelajari manfaat-manfaat shalat. Kemudian kita tanyakan kepada diri sendiri, sudahkah aku merasakan manfaat shalat?
1. Shalat adalah simbol ketenangan.
Shalat menunjukkan ketenangan jiwa dan kesucian hati para pelakunya. Ketika menegakkan shalat dengan sebenarnya, maka diraihlah puncak kebahagiaan hati dan sumber segala ketenangan jiwa.
Dahulu, orang-orang shalih mendapatkan ketenangan dan pelepas segala permasalahan ketika mereka tenggelam dalam kekhusyu’kan shalat. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullâhdalam Sunan-nya:
Suatu hari ‘Abdullah bin Muhammad al- Hanafiyah rahimahullâh pergi bersama bapaknya menjenguk saudara mereka dari kalangan Anshar. Kemudian datanglah waktu shalat. Dia pun memanggil pelayannya, ”Wahai pelayan, ambillah air wudhu! Semoga dengan shalat aku bisa beristirahat,” Kami pun mengingkari perkataannya. Dia berkata: “Aku mendengar Nabi Muhammad bersabda, ’Berdirilah ya Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!’.”[2]
Marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkah ketenangan seperti ini kita dapatkan dalam shalat-shalat kita? Sudah sangat banyak shalat yang kita tunaikan, tetapi pernahkah kita berfikir manfaat shalat ini? Atau rutinitas shalat yang kita tegakkan sehari-hari?
Suatu ketika seorang tabi’in yang bernama Sa’id bin Musayib rahimahullâh mengeluhkan sakit di matanya. Para sahabatnya berkata kepadanya: “Seandainya engkau mau berjalan-jalan melihat hijaunya Wadi ‘Aqiq, pastilah akan meringankan sakitmu,” tetapi ia menjawab: “Lalu apa gunanya aku shalat ‘Isya` dan Subuh?”[3]
Demikianlah, generasi terdahulu dari umat ini memposisikan shalat dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, shalat adalah obat bagi segala problematika. Dengan hati yang ikhlas mereka menunaikan shalat, sehingga jiwa menuai ketenangan dan mendapatkan kebahagiaan.

2. Shalat adalah cahaya.
Ambillah cahaya dari shalat-shalat kita. Ingatlah, cahaya shalat bukanlah cahaya biasa. Dia cahaya yang diberikan oleh Penguasa alam semesta ini. Diberikan untuk menunjuki manusia ke jalan yang lurus, yaitu jalan ketaatan kepada Allâh Rabul ‘alamin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullâh, dari sahabat Abu Mâlik al-’Asy’ari radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: (dan shalat itu adalah cahaya).
Oleh karena itu, marilah menengok diri kita, sudahkah cahaya ini menerangi kehidupan kita? Dan sungguh sangat mudah jika kita ingin mengetahui apakah shalat telah mendatangkan cahaya bagi kita? Yakni dapat lihat, apakah shalat membawa ketaatan kepada Allâh dan menjauhkan kita dari bermaksiat kepada-Nya? Jika sudah, berarti shalat itu telah menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Inilah cahaya awal yang dirasakan manusia di dunia. Dan kelak di akhirat, ia akan menjadi cahaya yang sangat dibutuhkan, yang menyelamatkannya dari berbagai kegelapan sampai mengantarkannya kepada surga Allâh Ta'âla .

3. Shalat sebagai obat dari kelalaian.
Lalai adalah penyakit berbahaya yang menimpa banyak manusia. Lalai mengantarkan manusia kepada berbagai kesesatan, bahkan menjadikan manusia tenggelam di dalamnya. Mereka akan menanggung akibat dari kelalaian yang mereka alami di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga lalai menjadi penutup yang menutupi hati manusia. Hati yang tertutup kelalaian, menyebabkan kebaikan akan sulit sampai padanya. Tetapi menegakkan shalat sesuai dengan syarat dan rukunnya, dengan menjaga sunnah dan khusyu di dalamnya, insya Allâh akan menjadi obat paling mujarab dari kelalaian ini, membersihkan hati dari kotoran-kotorannya. Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs. al-A’raf/7:205)
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu 
dengan merendahkan diri dan rasa takut, 
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, 
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. 
(Qs. al-A’ra/7:205)

Berkata Imam Mujahid rahimahullâh:
“Waktu pagi adalah shalat Subuh dan waktu petang adalah shalat ‘Ashar”.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
Barang siapa yang menjaga shalat-shalat wajib, 
maka ia tidak akan ditulis sebagai orang-orang yang lalai.[4]

4. Shalat sebagai solusi problematika hidup.
Sudah menjadi sifat dasar manusia ketika dia tertimpa musibah dan cobaan, dia akan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Maka tidak ada cara yang lebih manjur dan lebih hebat dari shalat. Shalat adalah sebaik-baik solusi dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan kesulitan hidup. Karena tidak ada cara yang lebih baik dalam mendekatkan diri seseorang dengan Rabb-nya kecuali dengan shalat. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya mengucapkan:
( أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ( رواه مسلم
Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya yaitu ketika dia sujud, 
maka perbanyaklah doa. 
(HR Muslim)[5]

Inilah di antara manfaat shalat yang sangat agung, mendekatkan hamba dengan Dzat yang paling ia butuhkan dalam menyelesaikan problem hidupnya. Maka, kita jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jangan sampai kita lalai dalam detik-detik shalat kita. Jangan pula terburu-buru dalam shalat kita, seakan tidak ada manfaat padanya. Shalat bisa menjadi sarana menakjubkan untuk mendatangkan pertolongan dan dukungan Allâh Ta'âla.
Dalam kisah Nabi Yunus 'alaihissalam, Allâh Ta'âla menceritakan:
(Qs. ash-Shafât/37:143-144)
Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allâh, 
niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. 
(Qs. ash-Shafât/37:143-144)

Sahabat Ibnu ‘Abbas rahimahullâh menafsirkan “banyak mengingat Allâh”, yaitu, beliau termasuk orang-orang yang menegakkan shalat.[6]
Sahabat Hudzaifah radhiyallâhu'anhu pernah menceritakan tentang Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam :
(كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. (رواه أبو داود
Dahulu, jika Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam tertimpa suatu urusan, maka beliau melaksanakan shalat. 
(HR Abu Dawud)
[7]

5. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Sebagaimana telah kita fahami, bahwasanya shalat akan membawa cahaya yang menunjukkan pelakunya kepada ketaatan. Bersamaan dengan itu, maka shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana hal ini difirmankan Allâh Ta'âla :
(Qs. al-Ankabût/29:45)
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur‘an) 
dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. 
Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) 
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). 
Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
(Qs. al-Ankabût/29:45)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu mengatakan, “Dalam shalat terdapat larangan dan peringatan dari bermaksiat kepada Allâh”.[8]

6. Shalat menghapuskan dosa.
Selain mendatangkan pahala bagi pelakunya, shalat juga menjadi penghapus dosa, membersihkan manusia dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
“Apa pendapat kalian,
jika di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai (mengalir); 
dia mandi darinya lima kali dalam sehari, apakah tersisa kotoran darinya?” 
Para sahabat menjawab: “Tidak akan tertinggal kotoran sedikitpun”.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: 
“Demikianlah shalat lima waktu, 
Allâh Ta'âla menghapuskan dengannya kesalahan-kesalahan”. 
(HR Bukhâri dan Muslim)

Inilah sebagian manfaat shalat yang tak terhingga banyaknya, dari yang kita ketahui maupun yang tersimpan di sisi Allâh Ta'âla. Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan diri kita masing-masing, sudahkah di antara manfaat-manfaat tersebut yang kita rasakan? Ataukah kita masih menjadikan shalat sebagai salah satu rutinitas hidup kita? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dicela Allâh dalam firman-Nya:
(Qs. al-Mâ’ûn/107:4-5)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. 
(Qs. al-Mâ’ûn/107:4-5)

Semoga Allâh Ta'âla memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hambanya yang menegakkan shalat, dan memetik buahnya dari shalat yang kita kerjakan.

(Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII)

Tauhid 24 Karat


Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Allah tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia. Bahkan Allah menciptakan manusia agar mereka mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah semata, dengan kata lain agar mentauhidkan-Nya sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Namun bukan berarti bahwa Allah butuh untuk ditauhidkan oleh hamba-hambaNya, bahkan kita ini yang butuh untuk bertauhid karena tauhid memiliki keutamaan yang didambakan setiap insan, diantaranya bahwa tauhid menggugurkan dosa dan ahli tauhid dijamin masuk ke dalam surga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan rosul-Nya, dan kalimat-Nya yang dilemparkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya. Dan bersaksi bahwa surga benar adanya, dan neraka benar adanya, Allah akan masukkan dia ke dalam surga dengan amal yang dimilikinya”(HR. Bukhari dan Muslim)
Mencapai puncak keutamaan tauhid dengan memurnikannya
Puncak dari keutamaan tauhid adalah masuk surga tanpa hisab dan adzab. Namun keutamaan ini tidak bisa dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah memurnikan tauhidnya sehingga dia dalam keadaan bersih tanpa dosa tatkala bertemu dengan Allah pada hari kiamat.Lalu bagaimana caranya untuk memurnikan tauhid?
Memurnikan tauhid adalah dengan membersihkannya dari segala noda syirik dan bid’ah serta maksiat. Dalam memurnikan tauhid, manusia terbagi menjadi 2 tingkatan, dimana semakin tinggi tingkatannya semakin besar pula keutamaan yang didapatkan. Tingkatan yang dimaksud adalah:
1. Tingkatan wajib
Yaitu seseorang yang memurnikan tauhidnya dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala jenis kesyirikan baik besar ataupun kecil. Dia juga meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan bid’ah (perkara baru yang diadakan dalam agama). Tingkatan ini merupakan batas minimal seseorang dikatakan telah memurnikan tauhidnya dan mendapatkan keutamaan masuk surga tanpa hisab.
2. Tingkatan mustahab
Yaitu seseorang yang telah mencapai derajat wajib dalam memurnikan tauhid, namun disamping itu dia juga mengerjakan amalan sunnah dan meninggalkan perkara yang makruh bahkan sebagian perkara yang dibolehkan karena takut terjerumus dalam keharaman.
Kedua tingkatan itu yang dimaksud dengan ‘Muqtasid’ dan ’Sabiqun bilkhoirot’ dalam surat Fathir ayat 32, dimana Allah membagi manusia dalam bertauhid menjadi 3 tingkatan, Allah berfirman (yang artinya),“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri(zholim linafsihi) dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtasid) dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiqun bil khoirot) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (QS. Fathir:32).
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ketiga tingkatan ini dengan mengatakan”Adapun orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah mereka yang masuk surga tanpa hisab (perhitungan), adapun yang pertengahan adalah yang akan mendapat hisab yang mudah (yaitu diperlihatkan kepadanya amal-amalnya di dunia), adapun yang menganiaya dirinya adalah yang akan dihisab pada hari kiamat” (HR. Ahmad)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang telah memurnikan tauhidnya akan masuk surga tanpa hisab dan adzab, dimana sifat dari golongan ‘muqtasid’adalah mengerjakan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Mereka memurnikan tauhidnya dalam tingkatan wajib. Sedangkan golongan ‘sabiqun bilkhoirot’telah meninggalkan segala bentuk kesyirikan, kemaksiatan dan bid’ah. Bahkan lebih dari itu, dia juga meninggalkan perkara makruh dan sebagian perkara mubah karena khawatir terjerumus dalam keharaman. Dia juga senantiasa dalam ketaatan dengan mengerjakan kewajiban dan sunnah. Mereka memurnikan tauhidnya dalam tingkatan mustahab. Keduanya akan masuk surga tanpa hisab dan azab.
Sedangkan golongan yang menganiaya dirinya adalah pelaku dosa dari kalangan ahli tauhid. Mereka ini tidak menyekutukan Allah dengan memakai jimat atau perbuatan syirik lainnya, namun bersamaan dengan itu mereka bermaksiat dengan mencuri dan berdusta misalnya. Maka mereka berhak mendapat ancaman atas perbuatannya. Bisa jadi Allah adzab mereka dan bisa jadi Allah ampuni dosa-dosanya, semuanya sesuai kehendak Allah.
Memurnikan tauhid mimpi belaka?
Mungkin sebagian orang akan merasa janggal dengan keterangan tersebut, dan bertanya apakah ada orang di dunia ini yang bisa memurnikan tauhidnya? Apakah mungkin manusia hidup tanpa limpahan dosa? Maka perlu diketahui, bahwa orang yang telah memurnikan tauhidnya adalah orang yang bertemu Allah tanpa noda dosa sedikitpun, namun bukan berarti dia tidak pernah melakukan dosa sedikitpun di dunia karena tidak ada manusia yang tidak pernah salah.Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”Seluruh anak Adam pernah berbuat bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad Darimy)
Maka bisa jadi seorang yang telah memurnikan tauhidnya hingga 24 karat dulunya pelaku kemaksiatan namun kemudian bertaubat lalu Allah terima taubatnya. Atau ditimpa musibah yang besar lalu bersabar atasnya sehingga dengan sebab itu dosanya berguguran. Mungkin juga dia memiliki amalan-amalan sholih yang menghapus kesalahannya sehingga meninggal dalam keadaan bersih tanpa dosa dan bertemu Allah dalam keadaan telah memurnikan tauhidnya.
Contoh nyata pemurnian tauhid
Untuk lebih memperjelas pembahasan dan memudahkan pembaca dalam memurnikan tauhidnya maka akan kami berikan beberapa contoh nyata yang berkaitan dengan itu.
1. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam sosok pribadi yang telah memurnikan tauhidnya
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang berbuat syirik” [ Q.S An-Nahl: 120]
Dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa sifat Nabi Ibrohim ‘alaihissalam yang merupakan bentuk pemurnian tauhid. Maka barang siapa yang ingin masuk surga tanpa hisab dan adzab ikutilah beliau dan milikilah sifat beliau. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a.Seorang imam, yaitu terkumpul dalam dirinya segala sifat terpuji danmenjadi teladan dalam kebaikan.
b. Senantiasa patuh kepada Allah,melaksanakan perintah Allah, dan meninggalkan larangan-Nya kapanpun dan dimanapun.
c. Hanif, yaitu jauh dari jalannya orang-orang musyrik dan termasuk didalamnya adalah segala perbuatan syirik, bid’ah, dan maksiat karena mereka tidak lepas dari ketiga perbuatan itu.
d. Tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrik baik secara perilaku maupun fisik. Beliau tidak pernah menyekutukan Allah sekaligus berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan-Nya dan tidak berkumpul dengan mereka.
2. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang sebagian umat ini yang akan masuk surga tanpa hisab dan adzab, mereka memiliki beberapa sifat khusus yang menunjukkan kesempurnaan tauhidnya. Sifat-sifat itu adalah:
a. Tidak minta diruqyah
Seseorang yang minta diruqyah secara syar’i bukan berarti telah melakukan keharaman, namun terkadang dia telah kehilangan kesempatan emas untuk masuk surga tanpa hisab dan adzab. Hal ini karena kebanyakan orang yang minta diruqyah hatinya telah condong kepada ruqyah atau orang yang meruqyahnya melebihi kecondongannya terhadap sebab lainnya semisal dokter atau obat-obatan. Ketergantungannya terhadap ruqyah dan peruqyah merupakan syirik kecil yang mengurangi kesempurnaan tawakkalnya kepada Allah sekaligus mengurangi kemurnian tauhidnya.
b. Tidak minta di-kay.
Kay adalah salah satu metode pengobatan dengan menyulutkan besi panas pada bagian yang sakit dan termasuk dari metode yang dibolehkan secara syar’i. Sebagian orang meyakini bahwa kay adalah senjata pamungkas. Tidak ada penyakit yang bisa melawan kay, jika sudah pakai metode kay pasti penyakitnya segera sembuh. Keyakinan semacam inilah yang mengurangi kesempurnaan tawakkal kepada Allah sekaligus mengurangi kemurnian tauhidnya.
c. Tidak ber-tathoyyur
Yang dimaksud dengan tathoyyur adalah merasa sial dengan sebuah kejadian. Keyakinan ini sudah terlanjur menjamur di masyarakat kita. Diantara bentuktathoyyur misalnya keyakinan bahwakejatuhan cicak pertanda nasib sial, menabrak kucing membawa sial, dan bulan Suro adalah bulan sial sehingga tabu untuk mengadakan resepsi pernikahan pada bulan tersebut.
d. Bertawakkal hanya kepada Allah
Bertawakkal adalah menyandarkan dan menggantungkan hati hanya kepada Allah dalam segala persoalan. Namun bukan berarti hanya diam dan berdo’a tanpa berusaha. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berobat dan menganjurkan kita untuk berobat ketika sakit. Bukankah Nabi orang yang paling bertawakkal?
Semoga Allah memudahkan kita dalam memurnikan tauhid.
Penulis : Ustadz Roby Aryanto, S.T.
Muroja’ah : Ustadz Abu ‘Isa

Doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam


“Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku.
Ya Rabb kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan seluruh orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Ibrahim: 40-41)

Malam Jumat 26/4/13 Gerhana Bulan Sebagian Pukul 01.30 – 03.21 WIB


Insya Allah malam dini hari ini Allah Subhanahu Wata’ala kembali menampakkan kebesaran-Nya berupa Gerhana Bulan Sebagian (GBS). Berdasarkan informasi yang dipublikasikan oleh situs Kafe Astronomi seperti di lansir sains kompas, proses GBS akan dimulai Jumat (26/4/2013) pukul 01.30 WIB. Satu jam lima puluh menit kemudian, Bulan memasuki wilayah umbra.
Puncak gerhana akan terjadi pukul 03.07. GBS akan berlangsung hingga pukul 03.21. Setelah itu, Bulan akan mulai tampak normal.
Sekretaris Lajnah Falakiyah PBNU, H Nahari Muslih menuturkan, gerhana yang akan terjadi cukup lama, sehingga para pengamat akan bisa mengamati dengan seksama.
“Kesempatan ini bisa dijadikan sarana untuk mencocokkan dan mengoreksi hasil hisab yang telah dilakukan sebelumnya dengan kejadian alam secara langsung,” ujarnya.
Data hisab dalam almanak NU yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah menunjukkan, gerhana bulan Jum’at (26/4) dinihari dimulai dengan awal kontak penumbra pada pukul 01:03:38 WIB, sedangkan pertengahan Gerhana Bulan Sebagian terjadi pada pukul 03:07:30 WIB dan akhir kontak penumbra terjadi pada pukul 05:11:26 WIB.
Semua kejadian alam yang nampak di jagad raya ini merupakan bukti kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala. Gerhana bulan sendiri terjadi disebabkan matahari, bumi dan bulan berada pada satu garis lurus. Sehingga cahaya Bulan hasil pantulan dari cahaya Matahari tertutup oleh bayang-bayang Bumi.
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri mengatakan, sesuai ketentuan syariat Islam, ketika terjadi gerhana maka umat manusia diperintahkan untuk memperbanyak dzikir dan mengagungkan Sang Pencipta dengan mengucap takbir, tasbih, tahmid. Selanjutnya disunnahkan melakukan shalat gerhana bulan atau shalat khusuf sepanjang gerhananya masih ada.

Panduan ringkas shalat gerhana bulan

Sesuai dengan tuntunan Nabi SAW, umat Islam dianjurkan untuk melakukan shalat sunah gerhana. Selain itu, umat Islam dianjurkan memperbanyak dzikir, doa, istighfar, taubat, sedekah, dan amal-amal kebajikan lainnya. Berhubung shalat sunah gerhana hanya dilakukan saat terjadi gerhana, wajar apabila banyak umat Islam yang belum mengetahui tata cara pelaksanaannya. Berikut ini panduan ringkas tata cara pelaksanaan shalat sunah gerhana. Semoga bermanfaat.
Pengertian shalat gerhana
Istilah kusuf (gerhana matahari) diambil dari kata kerja dasar kasafa yang artinya berubah menjadi hitam. Dalam bahasa Arab dikatakan kasafat asy-syamsu, artinya matahari menghitam dan hilang sinarnya. Adapun istilah khusuf (gerhana bulan) diambil dari kata kerja dasar khasafa yang artinya berkurang. Dalam bahasa Arab dikatakan khasafa al-bi’ru, artinya sumur itu berkurang airnya dan mengering. Banyak ulama menyatakan masing-masing istilah ‘kusuf‘ maupun ‘khusuf‘ bermakna gerhana matahari maupun gerhana bulan, tidak ada perbedaan antara keduanya.
Dalam pengertian ilmu fiqih, shalat kusuf atau shalat khusuf adalah shalat yang dikerjakan dengan tata cara tertentu karena terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan.
Hukum shalat gerhana bulan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunah muakkadah dan dilaksanakan secara berjama’ah. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa hadits shahih, di antaranya:
عَنْ  عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا ، أَنَّهُ كَانَ يُخْبِرُ عَنْ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلَا لِحَيَاتِهِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَةٌ مِنْ آيَاتِ الله ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا
Dari Abdullah bin Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seseorang atau kelahiran seseorang. Namun keduanya adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Maka jika kalian melihatnya, hendaklah kalian mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
عَنْ  أََبِي مَسْعُودٍ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ  آيَاتِ الله ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا ، فَقُومُوا ، فَصَلُّوا “
Dari Abu Mas’ud RA berkata: Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia, melainkan keduanya adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Maka jika kalian melihatnya, berdirilah kalian dan laksanakanlah shalat!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari jalur Abu Bakrah RA, Mughirah bin Syu’bah RA, Jabir bin Abdullah RA, Aisyah RA, Abu Hurairah RA dan Ibnu Abbas RA.
Amalan-amalan sunah saat melihat gerhana
Pertama, memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah, dan amal-amal kebajikan
Dalam hadits dari Aisyah RA tentang gerhana matahari, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ  آيَاتِ الله ، لاَ  يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَادْعُوا الله ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kalian kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Asma’ binti Abu Bakar RA berkata: “Nabi SAW memerintahkan untuk memerdekakan budak saat terjadi gerhana matahari.”(HR. Bukhari dan Abu Daud)
Kedua, berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat gerhana secara berjama’ah
Dalam hadits dari Aisyah RA dia berkata:
رَكِبَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ  غَدَاةٍ  مَرْكَبًا  فَخُسِفَتِ الشَّمْسُ ، فَخَرَجْتُ فِي نِسْوَةٍ بَيْنَ ظَهْرَانَيِ الْحِجْرِ  فِي الْمَسْجِدِ ، فَأَتَى رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَرْكَبِهِ فَقَصَدَ إِلَى مُصَلَّاهُ الَّذِي كَانَ فِيهِ ، فَقَامَ وَقَامَ النَّاسُ وَرَاءَهُ
Rasulullah SAW pada suatu pagi menaiki kendaraannya, lalu terjadi gerhana matahari. Maka saya bersama kaum wanita keluar menuju masjid di antara kamar-kamar kami. Rasulullah SAW datang dengan kendaraannya, lalu menuju tempat ia biasa shalat. Beliau berdiri untuk shalat dan masyarakat shalat di belakang beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafal Muslim)
Ketiga, kaum wanita juga dianjurkan ikut shalat berjama’ah di masjid jika aman dari bahaya (godaan terhadap lawan jenis, dll). Dalilnya adalah hadits Asiyah RA di atas.
Keempat, Mengumandangkan ‘ash-shalatu jami’ah‘ untuk memanggil jama’ah shalat berkumpul di masjid, namun shalat tidak didahului oleh adzan dan iqamat.
Berdasar hadits shahih:
عَنْ  عَبْدِ الله بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ الله عَنْهُمَا ، قَالَ : ” لَمَّا  كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata: “Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW, maka dikumandangkan seruan ‘Ash-shalaatu jaami’ah‘.” (HR. Bukhari)
Hadits yang semakna diriwayatkan oleh imam Muslim dari jalur Aisyah RA.
Kelima, khutbah setelah shalat gerhana
Berdasar hadits-hadits shahih tentang hal itu. Antara lain hadits Aisyah RA:
ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ  انْجَلَتِ الشَّمْسُ ، فَخَطَبَ النَّاسَ ، فَحَمِدَ الله  وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ  آيَاتِ الله ، لاَ  يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَادْعُوا الله ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Beliau selesai dari shalat dan gerhana telah selesai. Maka beliau menyampaikan khutbah. Beliau bertahmid dan memuji nama Allah, kemudian bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kalian kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tata cara shalat gerhana
Shalat gerhana dikerjakan secara berjama’ah terdiri dari dua raka’at. Setiap rekaat terdiri dari dua kali berdiri dan dua kali ruku’. Sedangkan seluruh gerakan lainnya sama dengan gerakan shalat biasanya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
  1. Berdiri menghadap kiblat, takbiratul ihram, membaca doa istiftah, membaca ta’awudz, membaca al-fatihah, dan membaca surat yang panjang, kira-kira sekitar satu surat al-Baqarah.
  2. Bertakbir, ruku’ dalam waktu yang lama.
  3. Membaca ‘sami’allahu liman hamidahu rabbana lakal hamdu’, berdiri kembali, lalu membaca ta’awudz dan al-fatihah, lalu membaca surat yang panjang namun kadarnya lebih pendek dari surat yang dibaca pada saat berdiri pertama.
  4. Takbir, ruku’ dalam waktu yang lama, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama.
  5. Membaca ‘sami’allahu liman hamidahu rabbana lakal hamdu’, berdiri kembali (i’tidal)
  6. Bertakbir, lalu sujud, lalu duduk di antara dua sujud, lalu sujud.
  7. Bertakbir, bediri untuk raka’at kedua, gerakannya sama seperti gerakan pada raka’at pertama, namun kadar panjangnya bacaan surat lebih pendek.
  8. Setelah tasyahud akhir lalu salam.
Berdasar hadits-hadits shahih, antara lain:
عَنْ  عَائِشَةَ ، أَنَّهَا قَالَتْ :  خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَصَلَّى رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ ، فَقَامَ ، فَأَطَالَ القِيَامَ ، ثُمَّ رَكَعَ ، فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ، ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ القِيَامَ وَهُوَ  دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ، ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الأُولَى ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ  انْجَلَتِ الشَّمْسُ ، فَخَطَبَ النَّاسَ ، فَحَمِدَ الله  وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ  آيَاتِ الله ، لاَ  يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَادْعُوا الله، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا “
Dari Aisyah RA berkata: “Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW melaksanakan shalat gerhana bersama masyarakat. Beliau memanjangkan lamanya berdiri, lalu ruku’ dalam waktu yang lama, lalu berdiri dan memanjangkan lamanya berdiri namun tidak sepanjang berdirinya yang pertama, lalu ruku’ dan memanjangkan lamanya ruku’ namun tidak sepanjang ruku’ yang pertama, lalu sujud dalam waktu yang lama. Kemudian dalam rakaat kedua beliau melakukan seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Beliau menyelesaikan shalat dan ternyata matahari telah nampak kembali.
Beliau lalu menyampaikan khutbah kepada masyarakat. Beliau bertahmid dan memuji nama Allah. Beliau kemudian bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kalian kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ  عَبْدِ الله بْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ :  انْخَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَصَلَّى رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ  البَقَرَةِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، ثُمَّ رَفَعَ ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ  دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَفَعَ ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ القِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ  تَجَلَّتِ الشَّمْسُ ، فَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ الله ، لاَ  يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَاذْكُرُوا الله “
Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW melaksanakan shalat gerhana. Beliau berdiri dalam waktu yang lama sekira membaca surat Al-Baqarah. Lalu ruku’ dalam waktu yang lama, lalu berdiri dalam waktu yang lama namun tidak sepanjang berdiri yang pertama. Kemudian ruku’ dalam waktu yang lama namun tidak sepanjang ruku’ yang pertama. (Lalu berdiri i’tidal, pent) lalu melakukan sujud.
Lalu berdiri (raka’at kedua) dalam waktu yang lama namun tidak sepanjang berdiri pada rakaat pertama. Lalu beliau ruku’ dalam waktu yang lama namun tidak selama ruku’ pada rakaat pertama. Lalu beliau berdiri dalam waktu yang lama namun tidak selama berdiri sebelumnya, lalu beliau ruku’ dalam waktu yang lama namun tidak selama ruku’ sebelumnya. (Lalu berdiri i’tidal, pent) lalu melakukan sujud. Beliau menyelesaikan shalat dan matahari telah nampak.
Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari sekian banyak tanda kekuasaan Allah. Gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdzikirlah kalian kepada Allah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits tentang shalat gerhana menunjukkan bahwa waktu pelaksanaannya adalah sejak terjadi gerhana sampai gerhana berakhir.
Dalam shalat gerhana, imam membaca surat Al-Fatihah dan surat sesudahnya dengan suara keras. Demikian juga takbiratul ihram, sami’allahu liman hamidah, dan takbir perpindahan antar gerakan. Seperti dijelaskan dalam hadits shahih:
عَنْ  عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا ، ” جَهَرَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ  الخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ كَبَّرَ ، فَرَكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ : سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ ، ثُمَّ يُعَاوِدُ القِرَاءَةَ فِي صَلاَةِ  الكُسُوفِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Dari Aisyah RA berkata: “Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana. Jika selesai membaca surat, beliau bertakbir dan ruku’. Jika bangkit dari ruku’, beliau membaca dengan keras: Sami’allahu liman hamidahu, rabbana lakal hamdu. Beliau kemudian mengulangi bacaan Al-Fatihah dan membaca surat (lain sesudahnya) dalam shalat gerhana. Beliau melaksanakan empat kali ruku’ dan empat kali sujud.” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam bish-shawab
(Sumber: eramuslim)

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid