Mendidik Anak Secara Islam


بسم الله الرحمن الرحيم

Mendidik Anak Secara Islam

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله اما بعد:
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang tua mendambakan anaknya menjadi anak yang saleh, anak yang berbakti kepada orang tua selama hidupnya dan mendoakannya setelah wafat. Tidak ada cara lain untuk menggapai ke arahnya kecuali dengan kembali kepada kitab Allah dan sunah Rasul-Nya dengan mempraktikkannya dalam keseharian, mendidik anak-anak kita di atasnya, menanamkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di hati mereka dan membiasakan mereka tumbuh di atas ajaran Islam.
Usaha mendidik anak agar menjadi saleh memang tidak gampang, banyak liku-liku yang harus dihadapi oleh orang tua untuk menuju ke arahnya, jika kita melihat ajaran Islam akan nampak jelas rambu-rambu yang selayaknya dilalui oleh orang tua yang menginginkan anaknya menjadi saleh. Rambu-rambu tersebut tidak dimulai ketika anak sudah lahir, bahkan sebelum anak lahir dan sebelum seseorang memasuki mahligai rumah tangga.

Berikut ini di antara rambu-rambu yang perlu dilalui seseorang yang mendambakan anaknya menjadi saleh:

1. Memilih Istri
Selayaknya seseorang memilih istri yang mengenal kewajiban terhadap Tuhannya, kewajiban terhadap suaminya dan kewajiban terhadap anaknya, inilah istri yang salehah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita itu dinikahi (orang) karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, pilihlah yang baik agamanya, niscaya kamu selamat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Istri sebagai ibu bagi anak sangat berpengaruh sekali terhadap pribadi anaknya, jika istri seorang yang salehah, maka berpeluang besar anaknya menjadi anak yang saleh. Sebaliknya jika istri tidak baik agamanya, maka dikhawatirkan anaknya akan terbawa.
2. Doa
Doa memiliki peranan penting dalam mendidik anak menjadi saleh, betapa tidak dengan doa sesuatu yang diharapkannya bisa terpenuhi, banyak bukti yang menunjukkan demikian, tidakkah Anda memperhatikan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika ia berdoa,
“Yaa Rabbi, berikanlah kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Maka Allah mengabulkannya,
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. Ash Shaaffaat: 101)
3. Membaca Dzikr ketika Hendak Jima’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ : بِسْمِ اَللَّهِ . اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا اَلشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ; فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ , لَمْ يَضُرَّهُ اَلشَّيْطَانُ أَبَدًا”.
“Kalau sekiranya salah seorang di antara mereka ketika hendak mendatangi istrinya mengucapkan, “Bismillah…dst (Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugrahkan kepada kami), Sesungguhnya jika ditakdirkan mendapatkan anak, niscaya setan tidak akan dapat membahayakannya selamanya.” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Memenuhi Hak Anak Ketika Lahirnya
Hak-hak anak tersebut di antaranya adalah:
  • Men-tahnik anak yang baru lahir
Dianjurkan men-tahnik anak yang baru lahir dan mendoakan keberkahan untuknya sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTahnik maksudnya mengunyah kurma, lalu mengoleskannya ke langit-langit mulut si bayi dengan jari, kalau tidak ada kurma bisa dengan makananan manis lainnya. Dan dianjurkan yang mengolesnya adalah orang yang saleh.
Abu Musa berkata, “Aku dikaruniakan seorang anak, lalu aku membawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau menamainya Ibrahim, men-tahnik-nya dengan kurma, mendoakan keberkahan untuknya lalu menyerahkan kepadaku. Anak itu adalah anak paling tua Abu Musa.” (HR. Bukhari)
  • Memilih nama yang baik untuk anak
  • Mencukur rambutnya pada hari ketujuh
Setelah dicukur rambutnya lalu ditimbang dan disedekahkan dalam bentuk perak. Dalam mencukur dilarang mencukurnya dengan model qaza’ yaitu mencukur sebagian rambut kepala dan meninggalkan sebagiannya yang lain.
  • Mengaqiqahkan
Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing (sebaiknya yang sepadan umurnya), sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing. Hal ini dilakukan pada hari ketujuhnya.
  • Mengkhitannya
Khitan berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan pada hari ketujuh atau setelahnya. Ibnul Qayyim pernah berkata, “Tidak boleh bagi wali membiarkan anaknya tidak dikhitan sampai ia baligh.”
  • Mendoakannya
Dianjurkan mendoakan keberkahan untuk anak sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dianjurkan mendoakan perlindungan buatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan perlindungan untuk al-Hasan dan al-Husein dengan mengucapkan,
اُعِيْذُكَ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Aku meminta perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna untukmu, dari setiap setan dan burung hantu serta dari pengaruh mata yang jahat.” (HR. Bukhari)
  • Menyusuinya
Lebih utama dilakukan selama dua tahun (lihat Al Baqarah: 233).
  • Memberikan makanan yang halal
5. Mendidiknya di Atas Pendidikan Islam.
Ini adalah hak anak yang paling besar, yang seharusnya dipenuhi oleh seorang ayah yaitu mengajarkan anak Alquran dan sunah agar dia mengetahui kewajibannya, tujuan hidupnya dan bisa beribadah dengan benar, AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Ajarilah ilmu (agama) kepada mereka dan adab.”
Contoh pendidikan Islam adalah dengan mengajarkan anak seperti yang diajarkan Luqman kepada anaknya berikut ini,
Dan  ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah  adalah benar-benar  kezaliman  yang besar” (13) Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orang orang tuanya;  ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah  kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (14) Dan jika keduanya memaksamu untuk  mempersekutukan  dengan  Aku  sesuatu yang  tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan  baik,  dan  ikutilah jalan   orang   yang  kembali  kepada-Ku,  kemudian  hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15)
Luqman melanjutkan kata-katanya lagi:
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada  seberat  biji  sawi,  dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan  mendatangkannya.  Sesungguhnya Allah Maha Halus  lagi Maha Mengetahui. (16) Hai anakku, dirikanlah shalat   dan   suruhlah  mengerjakan yang   baik   dan cegahlah   dari  perbuatan yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya  yang  demikian itu  termasuk  hal-hal  yang diwajibkan .(17) Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah  kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (18) (QS. Luqman: 12-18).
6. Orang Tua Memiliki Akhlak yang Mulia
Seorang anak biasanya mengikuti prilaku orang tua, maka sudah seharusnya orang tua memiliki akhlak yang mulia, janganlah ia tampakkan kepada anaknya akhlak yang buruk karena anak akan menirunya. Hendaknya ia ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Barang siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang ikut melakukannya setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa yang mencontohkan perbuatan yang buruk dalam Islam, maka dia akan memikul dosanya dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim)
7. Mengajarkan Dasar-Dasar Islam
Yakni dengan mengenalkan tauhid kepada anak, mengenalkan pokok aqidah islamiyyah (dasar-dasar aqidah Islam) seperti rukun iman yang enam, juga mengenalkan maknanya Demikian juga mengajarkan rukun-rukun Islam kepada anak seperti makna syahadat, tentang shalat, zakat, puasa, dan hajji.
8. Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah dan Rasul-Nya
Cara menanamkan rasa cinta kepada Allah adalah dengan mengajak anak memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya, misalnya ketika ayah dengan anaknya sedang menikmati makanan, lalu ayah bertanya, “Nak, tahukah kamu siapa yang memberikan makanan ini?” Anak lalu berkata, “Siapa, yah?” Ayah menjawab, “Allah, Dialah yang memberikan rezeki kepada kita dan kepada semua manusia.”
Dengan cara seperti ini Insya Allah rasa cinta kepada Allah akan tertancap di hati anak.
Sedangkan cara menanamkan rasa cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menceritakan kepada anak sirah atau sejarah hidup Beliau, akhlak Beliau dsb.
9. Menanamkan Rasa Muraaqabah (pengawasan Allah) di Hati Anak
Lihat surat Luqman ayat 16.
10. Membiasakan Anak Mendirikan Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, pukullah mereka jika meninggalkannya setelah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud)
11. Melatih Anak Berpuasa di Bulan Ramadhan
Rubayyi’ binti Mu’awwidz pernah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seseorang pada pagi hari Asyura (10 Muharram) ke desa-desa Anshar (untuk menyerukan): “Barang siapa yang sudah berniat puasa maka sempurnakanlah puasanya dan barangsiapa yang pada pagi harinya tidak berniat puasa maka hendaknya ia berpuasa”, maka setelah itu kami berpuasa dan menyuruh anak-anak kami yang masih kecil berpuasa insya Allah, kami pergi ke masjid setelah membuatkan mainan untuk mereka dari bulu domba, ketika salah seorang di antara mereka menangis karena meminta makan, kami berikan mainan itu kepadanya menjelang berbuka.” (HR. Muslim)
12. Mengajarkan Anak Meminta Izin Ketika Masuk ke Kamar Orang Tua
Islam menyuruh para orang tua mengajarkan anak meminta izin jika masuk ke kamar orang tua, khususnya pada tiga waktu; sebelum shalat Subuh, pada siang hari (pada saat tidur siang) dan setelah shalat Isya, lihat  An Nuur: 58.

13. Mencarikan Teman atau Lingkungan yang Baik Bagi Anak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
Seseorang mengikuti agama kawannya, maka hendaknya salah seorang di antara kamu melihat siapa yang menjadi kawannya.” (HR. Abu dawud dan Tirmizi, Shahihul Jaami’ no. 3545)
14. Membiasakan Adab-Adab Islam Kepada Anak
Misalnya mengajarkan adab makan, adab mengucapkan salam, adab bersin, adab di majlis, adab menguap, adab ketika tidur, adab berbicara, adab buang air dsb.
15. Mencegah Anak Berprilaku Seperti Wanita atau Anak Wanita Berprilaku Seperti Anak Laki-Laki.
16. Bersikap Adil Terhadap Anak-Anaknya
Contoh tidak bersikap adil terhadap anak-anak adalah seorang ayah melebihkan sebagian anak dalam pemberian dengan meninggalkan yang lain, perbuatan ini hukumnya adalah haram kecuali jika maksudnya membantu karena anak tersebut tidak mampu dengan syarat orang tua memiliki niat di hatinya jika anak yang lain tidak mampu juga maka akan diberikan hal yang sama. Terhadap pemberian yang tidak adil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
اَلَيْسَ يَسُرُّكَ اَنْ يَكُوْنُوْا اِلَيْكَ فىِ الْبِرِّ سَوَاءً
“Bukankah kamu suka, jika mereka sama-sama berbakti kepadamu?” (HR. Ahmad dan Muslim)
17. Tanggap Terhadap Prilaku Buruk yang Terkadang Muncul Pada Anak
Yakni seorang bapak hendaknya tanggap dan tidak membiarkan prilaku buruk muncul pada anak. Jika seorang bapak tidak tanggap terhadap prilaku buruk pada anak maka anak akan terbiasa berprilaku buruk, dan jika sudah seperti ini sangat sulit diarahkan.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Ahammul maraaji’:
  • Ath Thariiq ilal waladish shaaalih (Wahid Abdus Salaam Baaliy)
  • Kaifa nurabbiy aulaadaanaa tarbiyah shaalihan (M. Hasan Ruqaith)
  • dll.

Fiqh Safar


Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Amma ba’du:
Berikut ini merupakan masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui oleh setiap musafir agar perjalanan mereka diberkahi, insya Allah.

1.  Perjalanan yang disebut sebagai safar

Setiap perjalanan yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar (bepergian jauh), maka tidak diragukan lagi bahwa perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak begitu jauh, lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah ‘uruf (kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang berlaku di sana rukhshah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)…dst” (QS. An Nisaa’: 101)

2.  Menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggal (baca:Istiithaan).

Istiithaan terbagi menjadi dua:
a. Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung halamannya).
b. Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat tinggalnya.
Pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka keluarnya dianggap sebagai musafir.
Kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke kampung halamannya dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar dari Mekah dan tinggal di Madinah, maka ketika Beliau ke Mekah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena itu, saat Beliau ke Mekah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh penduduk Mekah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.

3.  Mulai berlaku hukum-hukum safar

Apabila seseorang berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka mulai berlaku hukum safar baginya. Hal ini berdasarkan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku shalat zuhur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat, dan di Dzulhulaifah dua rakaat.” (HR. Bukhari)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dijadikan patokan adalah berpisah badan dari bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan, yakni tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah badan.” (Asy Syarhul Mumti’ 4/512)

4.  Adab safar

Ada beberapa adab bagi musafir, di antaranya adalah:
a. Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan hadis Ka’ab bin Malik berikut, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari Kamis.” (HR. Bukhari)
b. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
« سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ » .
Mahasuci Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini  kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga.”
Dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ » .
“Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami.” (HR. Muslim)
c.   Dianjurkan mengucapkan “A’uudzu bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq” ketika singgah di suatu tempat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ » .
Barangsiapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, “A’uudzu…dst.” (artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim)
d. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih.” (HR. Bukhari)
e. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
Doanya adalah sbb.:
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. Nasa’i dalam ‘Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi)
f. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberikut:
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram.” (HR. Muslim)
Dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri disebutkan contoh mahram:
…إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا » .
“… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya.” (HR. Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim, laki-laki, baligh dan berakal.
g. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunatkan mengangkat ketua rombongan.
اِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
Apabila keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai ketua.” (HR. Abu Dawud)
h. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata:
أَسْتَوْدِعُ اللهُ دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (HR. Tirmidzi)

5.  Rukhshah (keringanan) bagi musafir

a. Boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu yang menutupi kedua mata kaki) ketika berwudhu’, tanpa perlu melepasnya. Hal ini apabila ia memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, selama tiga hari tiga malam. Namun jika ia mukim (di mana ia sudah menyempurnakan shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam.
b. Boleh bertayammum bila tidak mendapatkan air atau susah mencarinya.
c. Seorang musafir yang tidak mengetahui arah kiblat wajib berusaha mencarinya baik dengan bertanya atau lainnya. Jika telah berusaha mencarinya, lalu ia shalat dan setelah shalat ternyata tidak menghadap kiblat, maka shalatnya sah; tidak perlu diulangi. Namun, jika ia tidak berusaha mencarinya, dan ternyata shalatnya tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulangi (lih. Al Mumti’ 2/281)
d. Dianjurkan membaca surat-surat pendek setelah Al Fatihah dalam shalat ketika safar. Dalam Shahih Muslim disebutkan,
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Isya bersama para sahabat ketika safar dengan membaca Wat Tiini waz zaitun.”
e. Disyari’atkan meng-qashar (mengurangi) jumlah shalat yang empat rakaat menjadi dua, seperti shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya. Kecuali jika dia bermakmum kepada imam yang bukan musafir, maka ia mengikuti imam (tidak mengqashar shalat).
f. Bagi musafir yang telah singgah di tempat yang dituju harus tetap menjaga shalat berjama’ah. Kecuali ketika ia masih dalam perjalanan, maka tidak mesti berhenti untuk shalat berjamaah saat mendengar azan.
g. Boleh menjama’ (menggabung) Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan Isya, baik jama’ taqdim (di awal waktu) maupun jama’ ta’khir (di akhir waktu seperti melakukan shalat Zhuhur dan ‘Asharnya di waktu ‘Ashar), hal ini jika perjalanan berat atau ia butuh menjama’.
h. Boleh melakukan shalat sunat di atas kendaraannya ke mana saja kendaraannya menghadap, namun untuk shalat fardhu hendaklah dia turun dan menghadap ke kiblat, kecuali jika tidak memungkinkan untuk turun dan waktu shalat akan habis.
i. Boleh berbuka puasa.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Al Mukhtashar fii ahkaamis safar, (Syaikh Fahd bin Yahya Al ‘Ammariy), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al jazaa’iriy).

Keteguhan Orang-Orang Shaleh Dalam Kebenaran


Dikisahkan bahwa Hisyam bin Abdul Malik datang ke Baitullah yang mulia untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika memasuki tanah haram, dia berkata, “Tolong datangkan kepadaku seseorang dari kalangan sahabat Nabi.” Disampaikan kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, mereka semua telah wafat.” Dia berkata lagi, “Kalau begitu dari kalangan tabi’in saja.”
Kemudian Thawus al-Yamani dihadapkan kepadanya. Ketika Thawus bertemu Hisyam, dia melepas kedua sandalnya di tepi permadani. Dia menyapa Hisyam tanpa mengatakan ‘wahai Amirul Mukminin’ atau menyebut julukannya. Dia pun duduk di sampingnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia berkata, “Bagaimana keadaan Hisyam?” Lantas khalifah Hisyam marah besar bahkan hendak membunuhnya.
Lalu beliau diingatkan, “Wahai Amirul Mukminin, Anda sedang di tanah haram Allah dan tanah haram Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diperkenankan berbuat seperti itu.”
Kemudian Hisyam bertanya, “Wahai Thawus! Apa motivasimu melakukan hal itu?”
Thawus menanggapi, “Memangnya apa yang telah aku lakukan?”
Hisyam berkata, “Engkau telah melepas kedua sandalmu di tepi permadaniku. Engkau tidak menyapaku dengan mengatakan ‘wahai Amirul Mukminin’, engkau tidak menyebut julukanku, engkau duduk di sampingku tanpa meminta izin, dan engkau mengatakan, ‘wahai Hisyam bagaimana keadaanmu?’”
Thawus menjawab, “Mengenai saya melepas sandal saya di tepi permadanimu, sesungguhnya saya melepasnya di hadapan Rabbil izzah setiap hari lima kali. Akan tetapi, Dia tidak mencelaku dan tidak murka kepadaku. Aku tidak menyapamu dengan sebutan Amirul Mukminin, karena tidak semua kaum mukmin rela dengan kepemimpinanmu. Makanya, saya takut berdusta. Mengenai saya tidak menyebut julkanmu karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memanggil para nabi-Nya dengan berfirman, “Wahai Dawud, Wahai Yahya, Wahai Isa, dan justru Allah menyebut julukan kepada musuh-musuh-Nya dengan berfirman, ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab.’ Mengenai aku duduk di sampingmu karena sesungguhnya aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Apabila kamu ingin melihat seseorang dari kalangan penduduk neraka, maka lihatlah seseorang yang duduk dan di sekitarnya ada kaum yang berdiri’.”
Lantas Hisyam berkata kepadanya, “Berilah aku nasihat.”
Thawus berkata, “Saya pernah mendengar Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Sungguh, di dalam neraka Jahannam ada banyak ular dan kalajengking yang sebesar keledai yang menyengat setiap pimpinan yang tidak adil terhadap rakyatnya’.”
Diriwayakan bahwa Abu Ghiyats az-Zahid mendiami makam di daerah Bukhara. Suatu ketika dia pergi ke Madinah untuk mengunjungi saudaranya. Kebetulan para pelayan Gubernur Nashr bin Muhammad yang disertai para penyanyi dan alat-alat musik keluar dari rumah mereka. Abu Ghiyats az-Zahid melihat mereka dan berkata kepada dirinya sendiri, “Hai diriku! Sungguh, telah terjadi suatu kemungkaran. Jika kamu diam saja, berarti kamu sama dengan mereka.” Lalu dia mendongakkan kepala ke langit dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia pun mengambil tongkat dan menyerang mereka dengan sekali serang, lantas mereka lari terbirit-birit menuju ke rumah gubernur.
Mereka pun menceritakan kejadian ini kepada Gubernur. Lalu gubernur memanggil Abu Ghiyats dan berkata kepadanya, “Apa akmu tidak tahu bahwa orang yang menentang Gubernur akan menyantap sarapan di tahanan?”
Abu Ghiyats menjawab, “Apakah kamu tidak tahu bahwa orang yang melawan Allah Yang Maha Pengasih akan makan malam di neraka?”
Gubernur bertanya, “Siapa yang mengangkatmu menguru hisbah (amar ma’ruf nahi mungkar)?”
Dia menjawab, “Dia adalah Dzat Yang mengangkatmu menjadi gubernur.”
Gubernur berkata, “Yang mengangkatku adalah khalifah.”
Abu Ghiyats berujar, “Yang mengangkatku menangani hisbah ialah Rabbnya khalifah.”
Gubernur berkata lagi, “Saya telah mengangkatmu mengurusi hisbah di daerah Samarkan.”
Abu Ghiyats menanggapi, “Saya telah mengundurkan diri dari jabatan itu.’
Gubernur berkata, “Kamu ini aneh. Kamu malah mengurusi hisbah(melakukan amar ma’ruf nahi mungkar) padahal tidak diperintahkan. Dan enggan melaksanakan ketika diperintahkan.’
Abu Ghiyats menjawab, “Karena engkau yang mengangkatku, engkau dapat memecatku. Jika mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak ada seorang pun yang dapat memecatku.”
Selanjutnya Gubernur berkata kepadanya, “Mintalah apa yang engkau butuhkan?”
Dia menjawab, “Yang aku butuhkan ialah engkau mengembalikanku menjadi muda kembali.”
Gubernur berkata, “Itu bukan kewenanganku. Apakah engkau mempunyai kebutuhan lain?”
Dia menjawab, “Tolong engkau tuliskan surat kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar dia tidak menyiksaku.”
Gubernur berkata, “Itu juga bukan kewenanganku. Apakah engkau mempunyai kebutuhan yang lain lagi?”
Dia menjawab, “Tolong engkau tuliskan surat kepada Malaikat Ridwan, penjaga surga, agar memasukkan diriku ke dalamnya.”
Gubernur berkata, “Itu juga bukan kewenanganku.”
Abu Ghiyats menimpali, “Sesungguhnya semua itu kewenangan AllahSubhanahu wa Ta’ala. Dialah yang menguasai semua kebutuhan. Saya tidak memohon kebutuhanku pada-Nya melainakn Dia mengabulkannya.”
Lantas gubernur membebaskannya seraya mengagumi keimanannya dan keberaniannya.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Obat Penyakit Hati


Hati manusia terkadang tidak stabil atau sakit seperti halnya badan. Meskipun berbeda antara sifat maupun obatnya. Apa obat yang bisa dipakai untuk mengobati hati yang sakit? Berikut ini kami sebutkan 8 obatnya. Semoga bermanfaat.

obat hatiPertama: Al-Qur’an al-Karim. 
Allah berfirman, artinya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.Yunus: 57). Dia juga berfirman, artinya, “Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra: 82)
Ibnu Qoyyim berkata, “Inti penyakit hati itu adalah syubhat dan nafsu syahwat. Sedangkan al-Qur’an adalah penawar bagi kedua penyakit itu, karena di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan argumentasi-argumentasi yang akurat, yang membedakan antara yang haq dengan yang batil, sehingga penyakit syubhat hilang. Penyembuhan al-Qur’an terhadap penyakit nafsu syahwat, karena di dalam al-Qur’an terdapat hikmah, nasihat yang baik, mengajak zuhud di dunia dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat.”
Orang yang ingin memperbaiki hatinya hendaknya mengetahui bahwa berobat dengan al-Qur’an itu tidak cukup hanya dengan membaca al-Qur’an saja, tetapi harus memahami, mengambil pelajaran dan mematuhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Ya Allah, jadikanlah al-Qur’an itu sebagai pelipur lara, penawar hati dan penghilang kegundahan dan kegelisahan kami. Amin.
Kedua: Cinta kepada Allah. 
Cinta kepada Allah merupakan terapi yang mujarab bagi hati. Cinta seorang hamba kepada Allah akan menjadikan hatinya tunduk kepada-Nya, merasa tenteram tatkala mengingat-Nya, mengorbankan perasaannya demi sang kekasihnya, yaitu Allah. Hatinya senantiasa mengharap kepada yang dicintainya untuk memecahkan problem yang ia hadapi. Ia pun tak putus asa dari kasih sayang-Nya. Ia yakin bahwa yang dicintainya adalah Dzat yang tepat untuk mengadukan berbagai masalah. Ia yakin akan diberikan solusi yang terbaik untuknya. Kecintaan kepada-Nya menyebabkan dapat menikmati manisnya iman yang bersemayam di dalam hati.

Ketiga: Berdzikir atau mengingat Allah. 
Ketidaktenteraman hati merupakan hal yang membahayakan. Allah memberikan salah satu obat yang bisa menjadi sarana terapi keadaan hati yang demikian.“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram” demikianlah arti firman Allah dalam QS. ar-Ra’d : 28. Obat ini menjadikan hati seseorang hidup, terhindar dari kekerasan dan kegelapan. Ibnu Qayyim berkata, “Segala sesuatu itu mempunyai penerang, dan sesungguhnya penerang hati itu adalahdzikrullah (mengingat Allah).
Suatu ketika, seorang berkata kepada Hasan al-Basri, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadu kepadamu, hati saya membatu.” Maka beliau menjawab, “Lunakkanlah dengan dzikir, karena tidak ada yang dapat melunakkan kerasnya hati yang sebanding dengan dzikrullah.” maka dari itu Allah di dalam banyak ayat-ayat-Nya menyuruh orang-orang yang beriman agar banyak dan sering berdzikir kepada-Nya. Seperti pada firman-Nya, artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab: 41). Nabi kita Muhammad selalu berdzikir kepada Allah pada setiap saat, sebagaimana dituturkan oleh istri beliau ‘Aisyah.

Keempat: Taubat nasuha dan banyak beristighfar (minta ampun). 
Perhatikanlah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya hatiku kadang keruh, maka aku beristighfar dalam satu hari sebanyak seratus kali” (HR. Ahmad)
Dalam hadis ini Nabi menjelaskan bahwa beliau menghilangkan kabut atau kekeruhan hati beliau dengan istighfar, padahal dosa-dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah. Bagaimanakah dengan kita yang banyak dosa dan banyak melakukan kemaksiatan? Tidakkah kita lebih membutuhkan istighfar untuk hati kita yang sakit?! Demi Allah, betapa kita semua, sangat membutuhkan istighfar.

Kelima: Banyak berdoa dan permintaan kepada Allah untuk memperbaiki dan membersihkan hati serta memberinya petunjuk. 
Berdoa merupakan pintu utama yang agung untuk memperbaiki hati. Allah berfirman, artinya, “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk me- rendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 43).
Teladan kita yang mulia Muhammad sendiri selalu memohon kepada Allah untuk kesucian hatinya, kokoh berjalan di atas kebenaran dan petunjuk. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ummu Salamah. Ia meriwayatkan bahwa doa Nabi yang sering beliau panjatkan ialah, “wahai Tuhan Pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu” (HR. at-Tirmidzi)

Keenam: Sering mengingat kehidupan akhirat. 
Sesungguhnya kelalaian mengingat akhirat itu adalah penghambat segala kebaikan, kebajikan dan merupakan pemicu setiap malapetaka dan kejahatan. Seseorang yang banyak mengingat akhirat, akan menyadarkan dirinya bahwa kehidupan sebenarnya, yang dia hidup selama-lamanya adalah kehidupan akhirat. Dengan demikian, hatinya lurus dalam mengendalikan jasad. Tindak tanduknya mencerminkan amal nyata yang ia tanam di dunia ini dengan harapan ia akan dapat menuai hasilnya yang baik di akhirat kelak.

Ketujuh: Membaca dan mempelajari sejarah kehidupan orang-orang yang shalih. 
Ini pun bisa menjadi salah satu obat bagi hati. Banyak pelajaran tentang teguhnya hati dari hempasan badai kehidupan yang menerjang. Siapa saja yang memperhatikan dan mempelajari kehidupan atau sejarah suatu kaum berdasarkan pengetahuan dan penghayatan, maka niscaya hatinya dihidupkan kembali oleh Allah dan disucikan batinnya. Itulah sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad. Sejarah kehidupan beliau merupakan terapi untuk mempertebal iman dan memperbaiki hati.

Kedelapan: Bersahabat dengan orang-orang shalih, bertakwa dan berbuat kebaikan. 
Seseorang yang bergaul dengan orang yang bertakwa niscaya tidak celaka. Karena mereka tidak akan mengajak selain kepada kebaikan. Selamatlah hati dari terkontaminasi penyakit-penyakit hati. Sebaliknya, jika Anda bersahabat dengan orang-orang yang tidak shalih, tidak bertakwa dan tidak berbuat kebaikan, niscaya Anda akan celaka. Mereka akan mengajak Anda untuk melakukan berbagai kejelekan yang akan menyebabkan hati Anda menjadi kotor. Allah secara tegas berfirman, artinya, “… dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”(QS. al-Kahfi : 28)
Maka berupayalah untuk bersahabat dengan orang-orang yang shalih.

Demikian 8 obat untuk menyembuhkan penyakit hati. Berusahalah Anda untuk memahami dengan baik dan mengamalkan dengan tekun, karena sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki itu, tidak akan dapat dicapai kecuali dengan keselamatan dan kesucian hati. Dan tidak ada yang sempurna, yang lebih bahagia, yang lebih baik, dan tidak ada pula yang lebih nikmat daripada kehidupan orang-orang yang berhati bersih juga mulia. Wallahu ‘alam bish shawab (Buletin An-Nur)

[Sumber:
 Disarikan dari “Shalahul Qulub”, Syaikh Dr. Khalid bin Abdullah al-Mushlih –semoga Allah menjaganya- dengan sedikit gubahan.] - http://www.assunnah-qatar.com

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid