Kupenuhi Panggilan Engkau……Wahai Allah.


Talbiyah antara makna dan hukum syar’i.

لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك

Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah….
Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh diseantera tanah haram Makkah dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak!? Kaum muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalak. Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firmanNya:

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Surat Al hajj :27)
Berkata Ibnu Abbas t dalam menafsirkan firman Allah U ini : “Ketika Allah Umemerintahkan Ibrahim u untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, Ibrohim berkata:
يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106)
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك ……(H.R Ibnu Jarir 17/106)[1]
Demikian juga imam Mujahid –salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrohim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Robb kalian”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrohim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatasmaqam[2] dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian”. Mererka menjawab: “Labaik Labaik”. Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan nabi Ibrohim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la AL Maushiliy dengan sanad yang shohih”[3]
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: “Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim u ketika memberitahukan manusia untuk berhaji”"[4]

Makna Talbiyah

Kata Talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap disatu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan Labaika Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalaka
Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini:
(اللهم:Wahai Allah
(لبيك) :Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya
(لا شريك لك:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(لبيك:Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja
(إن الحمد و النعمة لك والملك:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan
(لا شريك لك) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu
Kalau kita mencermati ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan oleh Jabir berkata:
فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ
(Rasulullah r bertalbiyah dengan tauhid”)[5]
Hal ini tampak sekali bila kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata (لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك) meniadakan kesyirikan dalam ibadah, kemudian (والملك لا شريك لك) terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah U semata. Hal ini juga menuntut seorang hamba untuk mengakui tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (إن الحمد و النعمة لك)terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat Allah. Juga menetapkan semua perbuatan Allah U adalah hak. Ini semua merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah U.
Kalau demikian, orang yang bertalbiyah dituntut selalu merasakan keagungan Allah dan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya kepada Allah semata, bukan hanya sekedar mengucapkannya tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

Hukum-hukum seputar Talbiyah

Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Diantara hal-hal tersebut adalah:
1. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullahr adalah:
a.
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك [6]
b.
لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل [7]
c.
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك [8]
d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat:
لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل [9]
2. Kapan memulai Talbiyyah
Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah r dalam hajinya, berkata Jabir t :
حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك ……
Rasulullah r mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……” [10]
3. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah r dalam hadits As Saaib bin Kholaad yang berbunyi:

أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية

“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah. [11]
oleh karena itu para sahabat Rasululloh mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim:
كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم
Para sahabat rasululloh jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka[12]
Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah.
Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum muslimin dimusim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah.[13] Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah rpara shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.
4. Kapan berhenti bertalbiyah.
Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :
  1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab maliki.
mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya;
كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي r كان يفعل ذلك
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”
  1. Ketika melihat rumah-rumah .penduduk makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib
  2. Ketika sampai ke ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (IstilamHajar aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab hanafi.berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر
“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad”[14] dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
اعتمر رسول الله r ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر
“Rasulullah r melakukan umrah tiga kali umrah selruhnya di bulan dzul qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” [15]Dan mereka berkata : karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam[16] dan Ibnu Qudamah [17] akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah melakukan.,dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah [18] .
Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat;
1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al Hasan Al Bashry dan madzhab malikiyah. Berdalil dengan hadits:
الحج عرفة
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah.
2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur. Namun merekapun masih berselisih menjadi dua pendapat;
a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al fadl bin Al Abbas
كنت رديف النبي r من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة)
”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah “[19]
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:
خرجت مع رسول الله r فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل.
“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampu dengan thlil atau takbir”[20]
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya [21]
b menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:
أفضت مع النبي r من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة)
“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar”[22].
Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua.



[1] DR. Sholih bin Muhammad Alihasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579 : “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abas, Mujahid, ‘Atha’ , Ikrimah, Qatadah dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat”.
[2] batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)
[3] Syarhul Umdah 2/579.
[4] Fathul Bari 3/406
[5] lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin AL Albaniy hal55.
[6] dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalalm shahih Bukhari & Muslim
[7] (متفق عليه من تلبية ابن عمر)
[8] (عن عائشة رواه البخارى)
[9] Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim
[10] (H.R Muslim)
[11] Hadits diriwayatkan oleh At Tirmidziy 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishohihkan Al Albaniy dalam Shohih At Tirmidzi .
[12] Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242.
[13] Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112.
[14] (HR Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297
[15] (H.R Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)
15 Syarah Umdah 2/461
16 Al-Mughny 5/256
17 Shahih Ibnu Klhuzaimah 4/205-207
[19] HR jama’ah
[20] (HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albanidalam Irwa’, /2966).
[21] (Majmu’ Fatawa 26/173)
[22] (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :” ini hadit hahih yang menafsirkan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain)

Meraih Takwa Melalui Ibadah Qurban


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Sebuah ayat yang menjadi pertanda disyari’atkannya ibadah qurban adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama.[1]
Penyembelihan qurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh-hiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut.[2] Sehingga makna al udh-hiyyah menurut istilah syar’i adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, dilaksanakan pada hari an nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Dari definisi ini, maka yang tidak termasuk dalam al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam rangka taqarrub pada Allah. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.[4]
Catatan: Aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh Allah Ta’ala, baik anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena al udh-hiyyah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan aqiqah dan bukan al udh-hiyyah.[5]
Hikmah di Balik Menyembelih Qurban
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.
Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –khalilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).
Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.[6]
Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.[7]
Raihlah Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah, bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah Ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (Qs. Al Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. Al An’am: 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.[8]
Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. Al Hajj: 37)
Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.[9]
Menyembelih Qurban Wajib ataukah Sunnah?
Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus kaum muslimin).[10] Namun apakah menyembelih tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat.
[Pendapat pertama] Diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.
Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (Qs. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.[11] Dan masih ada beberapa dalil lainnya.
[Pendapat kedua] Sunnah dan Tidak Wajib
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”[12] Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri.
Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan.
Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib[13]. Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [14]
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban sunnah dan tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung oleh perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban. Seandainya tidak ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu pendapat di atas, maka cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat bahwa qurban tidaklah wajib namun sunnah (dianjurkan).
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا
“Jika kalian mengikuti Abu Bakr dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan petunjuk.”[15]
Namun sudah sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk menunaikan ibadah qurban ini agar ia terbebas dari tanggung jawab dan perselisihan yang ada. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a’lam.”[16]
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan sholih kita. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amalan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Footnote:
[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 6/195, Mawqi’ At Tafaasir.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/366, Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 2003.
[3] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1525, Multaqo Ahlul Hadits.
[4] Idem
[5] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526.
[6] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1528.
[7] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/379.
[8] Lihat Zaadul Masiir, 2/446.
[9] Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[10] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1527.
[11] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.
[12] HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah.
[13] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1139 menyatakan bahwa riwayat ini shahih.
[14] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1529.
[15] HR. Muslim no. 681.
[16] Adhwa-ul Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, hal. 1120, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah Beirut, cetakan kedua, tahun 2006.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasi ulang dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, sore hari, 12 Dzulqo’dah 1430 H

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid