Oleh
: Ummu Zakaria Al Atsariyyah
Begitu
banyak kenyataan pahit disekitar kita yang harus kita hadapi. Satu di antaranya
adalah apa yang kita saksikan pada kebanyakan generasi Islam sekarang ini,
mereka amat jauh dari agamanya. Begitu lazimnya kita dapati anak-anak Islam
dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu, bahkan nyanyian orang dewasa. Dalam
hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh sebelumnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengabarkannya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam pernah bersabda :
“Akan
ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan
alat musik.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)[1]
Asy
Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini : “Bahwasannya akan ada suatu
kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina, memakai sutera asli,
minum khamar, dan musik itu halal, padahal haram.”[2]
Alangkah
indahnya ketika kita menengok genarasi Salaf kita. Memang tidaklah bisa
generasi kita sekarang dibandingkan dengan mereka. Sungguh jauh sekali kita
dibanding mereka, tapi seharusnya kita berusaha meneladani mereka sebagaimana
Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal tersebut.
Wahai
ayah dan bunda! Di sisimulah anak-anakmu menghabiskan sebagian besar waktu
mereka. Apa yang engkau berikan maka itulah yang akan mereka terima. Maka
berikanlah perkara-perkara yang baik kepada mereka, ajarkan dan biasakanlah
pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa melantunkannya dan
timbul kecintaan pada hati-hati mereka dengan memahamkan makna-maknanya.
Al
Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata : “Mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak
merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di atas
fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati mereka
sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami (dipenuhi) oleh
kekotoran maksiat dan kesesatan”[3]
Generasi
terbaik ummat ini telah memberikan teladan pada kita dalam masalah ini. Betapa
tingginya semangat mereka dalam mengarahkan perbuatan anak-anak mereka agar
selaras dengan Kitabullah. Kita bisa dapatkan para shahabat telah mengajarkan
Al Qur’an sejak dini pada anak-anak mereka dan semua itu tidak lepas karena
ittiba’ mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
“…
akan tetapi jadilah kalian orang-orang rabbani karena apa yang kalian ajarkan
dari Al Kitab dan karena yang kalian pelajari darinya.” (Ali Imran : 79)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari
Hadits Utsman radhiallahu ‘anhu secara marfu’)[4]
Dan
sungguh begitu besar pahala yang akan didapatkan oleh kedua orang tua yang mengajarkan
Al Qur’an pada buah hatinya.
Mengajarkan
Al Qur’an bukan sekedar membaca lafadh-lafadhnya dan menghapalkannya, namun
melalaikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan yang seharusnya kita
mengajarkannya dengan disertai keterangan yang mencukupi. Permisalan indah
hasil didikan generasi Salaf kita akibat terasahnya kecerdasan dan kepekaan
mereka terhadap kandungan makna Al Qur’an, nampak pada apa yang ditunjukkan
oleh Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia berkata kepada ayahnya, Sa’ad bin Abi
Waqqash : “Wahai ayahku, bagaimana pendapat ayah tentang firman Allah :
“Yakni
orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” (Al Ma’un : 6)
Mush’ab
melanjutkan : “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak terlintas dalam
benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”
Maka
sang ayah –Sa’ad bin Abi Waqqash– menjawab : “Bukan begitu, wahai anakku. Yang
dimaksud lalai dalam firman Allah tersebut adalah menyia-nyiakan waktunya.”[5]
Demikian
juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia berumur lima tahun
ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka pengajar tersebut
memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada surat Al Insan dan dia
telah menghapalnya, suatu hari ibunya melihatnya sedang menghadap dinding
memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka ibunya berkata :
“Bangkitlah wahai Dawud, bermainlah bersama anak-anak yang lain!” Dawud tidak
menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya, Dawud baru
bereaksi, ia berkata : “Ada apa denganmu, wahai ibuku?”
Kata
ibunya : “Di manakah pikiranmu, wahai anakku?”
“Bersama
hamba-hamba Allah,” jawab Dawud.
“Di
mana mereka?” Tanya sang ibu.
“Di
Surga,” jawab Dawud singkat.
Ibunya
bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”
Mendengar
pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13 sampai 21 yang
mengabarkan kenikmatan Surga :
“Di
dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di
dalamnya (teriknya) mentari dan tidak pula dingin yang menyengat. Dan naungan
(pohon-pohon Surga itu) dekat di atas mereka dan buah-buahannya dimudahkan
memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana dari perak
dan gelas-gelas yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari
perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam Surga itu mereka
diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah zanjabil. (Yang
didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka
dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila engkau melihat
mereka, engkau akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan. Dan apabila
engkau melihat di sana (Surga) niscaya engkau akan melihat berbagai macam
kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka (penghuni Surga) memakai pakaian
sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang
yang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka minuman yang
bersih.” (Al Insan : 13-21)
Subhanallah!
Di usia mereka yang masih belia akal-akal mereka telah terasah untuk memikirkan
ayat-ayat Allah, men-tadabburi-nya. Fitrah yang Allah berikan pada mereka
terjaga bahkan terkuatkan dengannya.
Wahai
ayah dan bunda, alangkah baiknya bila yang pertama kali diperdengarkan kepada
anak-anak kita adalah kalimat-kalimat Allah dan memahamkan mereka sehingga
mereka terbiasa mendengar dan mengucapkannya, dengan begitu hati-hati mereka
menjadi cinta terhadap Al Qur’an dan mereka tumbuh di atasnya. Membiasakan anak
untuk menghapal Al Qur’an sejak dini juga merupakan suatu pendidikan yang baik.
Sebagai
penggugah diri kita dari terlenanya kita dengan kondisi masyarakat Islam pada
hari ini, adalah apa yang terjadi pada ulama Salaf kita. Al Imam Syafi’i
berkata : “Aku telah menghapal Al Qur’an pada umur 7 tahun dan aku hapal Al
Muwaththa’ (karya Imam Malik) pada umur 10 tahun.”
Mungkin
kita bertanya-tanya bagaimana bisa di usia mereka yang masih belia telah dapat
menghapal Al Qur’an. Jawaban yang pasti adalah karena keutamaan yang diberikan
Allah pada mereka :
“Demikianlah
keutamaan dari Allah, diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan
Allah-lah yang memiliki keutamaan yang besar.” (Al Jumuah : 4)
Juga
karena terjaganya mereka dari perbuatan-perbuatan maksiat dan karena kedua
orang tua mereka menyadari betul amanah yang diberikan Allah dan ini nampak
dari semangat orang tua mereka dengan menyerahkan mereka kepada para pengajar
adab dan para ulama, dan membimbing, serta mengarahkan mereka ketika berada di
rumah.
Jika
kita memperhatikan ayat-ayat Allah, kita akan dapatkan bahwa surat Makkiyyah
umumnya merupakan surat-surat yang pendek dan ini sangatlah baik sebagai
permulaan untuk diajarkan pada anak karena sangat mudah dihapal dan kuat
pengaruhnya pada diri anak. Kita bisa lihat pada juz 30, sebagai misal surat An
Nas. Di dalamnya terkandung makna yang besar tentang tauhid rububiyyah dan
tauhid uluhiyyah.
Abu
Ashim berkata : “Aku menyerahkan anakku pada Ibnu Juraij dan ketika itu usia
anakku kurang dari tiga tahun. Maka Ibnu Juraij mengajarinya Al Qur’an dan
Hadits.” Kemudian Abu Ashim melanjutkan : “Tidak mengapa mengajari anak Al
Qur’an dan Hadits pada usia dini.”
Abu
Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al Ashbahani berkata : “Aku
telah menghapal Al Qur’an pada umur 5 tahun. Pada usia 4 tahun aku dibawa ke
majelisnya Abu Bakar Al Muqri’. Sebagian yang hadir dalam majelis tersebut
berkata : ((Jangan kalian mendengar dari anak ini, karena dia terlalu kecil)).
Abu Bakar Al Muqri’ berkata : ((Baca surat At Takwir)). Maka akupun membacanya
tanpa ada kesalahan. Sebagian yang hadir berkata : ((Baca surat Al Mursalat)).
Maka akupun membacanya tanpa ada kesalahan. Maka Al Muqri’ berkata : ((Kalian
dengarkan darinya)).”[6]
Tentu
ada pada hati kita harapan terhadap buah hati kita agar bisa seperti mereka.
Kepada Allah-lah kita sandarkan segala harapan kita. Semoga Allah permudah
jalan bagi kita untuk mendidik generasi penerus kita. Amin … . Wallahu A’lam
Bishshawwab.
Daftar
Pustaka :
1.
Kaifa
Nurabbi Auladana. Asy Syaikh Jamil Zainu.
2.
2.
Manhajut
Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl. Muhammad Nur Suwaid.
3.
3.
Tarbiyatul
Abna’. Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.
[1]
HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5590 dan Abu Daud dalam Sunan-nya nomor 3407
–Lihat Shahih Sunan Abi Daud–. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al
Wadhi’i dalam Ash Shahihul Musnad min Dalailin Nubuwwah halaman 511-512. (Red.)
[2]
Lihat Kaifa Nurabbi Auladana. Halaman 47 (Red.)
[3]
Lihat Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Tifl. Halaman 104 (Red.)
[4]
HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5027 (Red.)
[5]
Riwayat Abu Ya’la dalam Musnad-nya 2/63. Lihat Manhaj Tarbiyah lith Thifl.
Halaman 108 (Red.)
[6]
Manhaj Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl halaman 112-113, dinukil dari Al
Kifayah fi Ilmir Riwayah oleh Al Khathib Al Baghdadi., halaman 116-117, cetakan
Mesir (Red.)
SUMBER:
MUSLIMAH Edisi 39/ 1422 H/ 2001 M
Dicopy dari www.assunnah.cjb.net
Dicopy dari www.assunnah.cjb.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar