At Tauhid
edisi VIII/16
Oleh: Tim
penulis Buletin At Tauhid
“Demi al ashr”
Huruf wau dalam ayat ini
disebut dengan wau qasam, yang dalam bahasa arab digunakan
untuk bersumpah. Maka ayat pertama ini termasuk bentuk kalimat sumpah atau qasam. Dalam ayat ini
Allah Ta’ala bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya yaitu al ashr. Imam Al
Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ada tiga pendapat ulama dalam
menafsirkan makna al ashr:
artinya waktu/masa. Ini merupakan
pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Dan maksud ayat ini adalah Allah bersumpah dalam rangka mengingatkan
tentang berjalannya serta silih-bergantinya waktu, yang dengan sendirinya
menunjukkan kekuasan dari Sang Maha Pencipta,
artinya siang dan malam,
artinya sore, yaitu sejak matahari
melenceng hingga terbenamnya. Ini adalah pendapat Qatadah dan Al Hasan Al
Bashri,
artinya shalat ashar. Allah bersumpah
dengannya karena keutamaan shalat ashar, atau dalam rangka mensyariatkan shalat
ashar,
artinya zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah bersumpah dengannya karena keutamaan zaman beliau, dengan diutusnya
beliau,
maksud dari al ashr adalah rabbul ashr, yaitu Allah Ta’ala.
(Diringkas dari Tafsir Al Qurthubi, 20/178-179)
Yang tepat adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ath Thabari:
“Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah memaknai bahwa di sini Allah
bersumpah dengan al ashr, yaitu waktu secara umum, juga waktu
sore, juga siang dan malam, dan tidak mengkhususkannya dalam satu makna khusus
dan membuang makna yang lain. Setiap makna yang dari kata al ashr tercakup
dalam sumpah Allah tersebut” (Tafsir Ath Thabari, 24/589)
Dari ayat ini kita bisa mengambil beberapa faidah:
Bentuk sumpah atau qasam dari Allah menunjukkan seriusnya atau menyatakan benarnya hal yang
disumpahkan (Lihat Al
Itqan karya As Suyuthi, 4/53). Dalam surat
ini, Allah Ta’ala bersumpah untuk menegaskan bahwa manusia itu benar-benar berada dalam khusr.
Allah Ta’ala terkadang bersumpah
dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa Ia lah Sang Pencipta (Lihat Al Itqan, 4/55). Maka, waktu, siang-malam, sore, semua itu adalah makhluk Allah.
Allah jua lah yang mengendalikan pergantian dari waktu dan seiring dengan itu
terjadilah perubahan-perubahan keadaan. Tak ada dzat selain Allah yang bisa
menciptakan waktu atau mengendalikannya. Sungguh ini merupakan kebesaran Allah
bagi orang yang mau merenungkan.
Allah Ta’ala bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa makhluk
tersebut adalah salah satu makhluk yang agung sebagai tanda kebesaran Allah dan
terkadang menunjukkan manfaat serta keutamaan makhluk tersebut (Lihat Al Itqan, 4/55-57). Maka, waktu adalah makhluk Allah yang agung. Betapa berharganya
waktu hingga perbuatan baik sedetik saja akan memberikan kebaikan di akhirat
dan perbuatan buruk sedetik saja akan menambah kesengsaraan di akhirat. Oleh
karena itu, Islam membimbing umatnya untuk memanfaatkan waktu dengan baik,
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam bersabda:
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu,
mintalah pertolongan kepada Allah (dalam hal itu) serta jangan malas” (HR. Muslim no.
2664)
“Sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian”
Jika ayat yang pertama tadi adalah kalimat qasam, ayat kedua ini
adalah jawabul qasam. Yaitu pokok pikiran dari sumpah yang
dilakukan. Dalam ayat ini jelas, Allah Ta’ala bersumpah untuk
menegaskan bahwa manusia itu benar-benar berada dalam khusr. Imam Qurthubi
menjelaskan lagi perbedaan para ulama dalam memaknai khusr:
artinya kekafiran. Ini adalah pendapat
Ibnu Abbas, dari riwayat Abu Shalih,
artinya kelompok orang-orang musyrik.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, dari riwayat Ad Dhahhak,
artinya kelalaian atau ketertipuan,
artinya kebinasaan. Ini adalah pendapat
Al Akhfasy,
artinya akibat yang buruk. Ini adalah
pendapat Al Farra’,
artinya keburukan. Ini adalah pendapat
Ibnu Zaid,
artinya kekurangan atau
ketidak-sempurnaan.
(Diringkas dari Tafsir Al Qurthubi, 20/180)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memiliki penjelasan bagus mengenai
ayat ini: “Makna ayat ini adalah AllahTa’ala bersumpah tentang
keaadaan manusia bahwasanya mereka dalam kerugian, yaitu mereka senantiasa
berada dalam 2 kerugian, kerugian dunia dan akhirat, kecuali orang-orang yang
diperkecualikan oleh Allah. Dan kalimat dalam ayat ini menggunakan tiga buah
penegas: pertama, adanya huruf qasam (yaitu wau), kedua, huruf
inna (ان), ketiga,
huruf lam (اللام). Selain
itu Allah Ta’ala juga menggunakan kata لفي خسر ini lebih
tegas daripada kata لخاسر karena
huruf fii(في ) yang
merupakan zharf disitu memberi
makna bahwa seakan-akan seluruh manusia tenggelam dalam kerugian, dan kerugian
itu benar-benar meliputi mereka dari segala sisi” (Tafsir Juz Amma, 1/308)
Kemudian simak faidah indah dari Imam Fakhrurrazi berikut ini: “Ketahuilah
bahwa ayat ini seolah sebuah peringatan bahwa keadaan asal manusia itu berada
dalam kerugian dan kekalahan. Ayat ini juga mengikrarkan bahwa kebahagiaan
sejati itu ada dalam kecintaan pada akhirat dan berpaling dari dunia. Kemudian,
sebab-sebab yang mengajak pada cinta akhirat itu samar, sedangkan yang mengajak
pada cinta dunia itu sangat nampak, yaitu segala panca-indera, syahwat dan
emosi. Oleh karena itulah, sebagian besar manusia tenggelam dalam cinta dunia
dan senantiasa mencarinya. Sehingga mereka pun berada dalam kerugian” (Mafatihul Ghaib, 32/280)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih,
serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan, bahwa yang dikecualikan
dari kerugian oleh Allah adalah orang-orang yang memiliki 4 sifat:
Beriman apa-apa yang diperintah Allah,
sebagai konsekuensi iman kepada Allah. Dan iman tidak mungkin tanpa ilmu,
karena ilmu adalah bagian dari iman yang tidak mungkin iman bisa sempurna
tanpanya
Beramal shalih. Ini mencakup semua
amalan shalih, baik amalan batih maupun amalan zhahir, baik yang berkaitan
dengan hak Allah, maupun hak hamba, baik yang wajib maupun yang sunnah.
Saling menasehati dalam al haq, yaitu iman dan amalan shalih. Saling menasehati satu dengan yang lain
untuk beriman dan beramal shalih, saling mendorong dan menyemangati kepada hal
itu.
Saling menasehati untuk bersabar dalam
ketaatan, dalam menjauhi maksiat serta dalam menghadapi takdir yang buruk.
Beliau lalu melanjutkan: “Dua poin pertama, dalam rangka menyempurnakan
diri sendiri. Sedangkan dua poin kedua, dalam rangka menyempurnakan orang lain.
Dengan dijalankannya empat hal ini maka manusia akan selamat dari kerugian
menuju kemenangan dan keberuntungan” (Taisir Karimirrahman, 1/934).
Demikianlah seorang muslim, menginginkan kebaikan pada dirinya, juga
menginginkan kebaikan yang sama pada orang lain. Selain berusaha untuk
meningkatkan iman dan menyibukkan diri dengan amalan shalih demi kebaikan
dirinya, seorang muslim juga menasehati muslim yang lain untuk demikian.
Tidak sebagaimana sikap sebagian orang yang enggan menasehati dan enggan
dinasehati. Ketika dinasehati mereka pun berkata ‘jangan campuri urusanku, biarlah untukku
amalku, untukmu amalmu‘. Sikap angkuh demikian bukanlah akhlak yang mulia
dan bertentangan dengan wasiat Allah dan Rasul-Nya dalam surat Al Ashr ini.
Namun begitulah memang dinamika dalam memberi nasehat, akan senantiasa menemui
rintangan, keangkuhan dan penentangan. Oleh karena itu lah ciri orang yang
tidak merugi adalah yang bisa bersabar dalam menghadapi itu semua. Imam Ibnu
Katsir menjelaskan: “Allah mengecualikan dari manusia yang merugi tersebut
yaitu orang-orang beriman sepenuh hati mereka, serta beramal shalih dengan
anggota badan mereka, serta saling menasehati dalam kebenaran, yaitu menunaikan
ketaatan dan meninggalkan segala yang haram, serta saling menasehati dalam
kesabaran, yaitu ketika menghadapi musibah, takdir yang buruk dan gangguan dari
orang-orang yang suka menyakiti para penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran”
(Tafsir Ibnu Katsir, 8/480).
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar