Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jikalau Allah
melapangkan rezki kepada hamba-
hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha
Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang
mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan
lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi
Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu
melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui
manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi
mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan
kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Sesungguhnya
di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan
kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan
di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan
padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[2] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih
karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan
Mereka
Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj,
yaitu agar semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan kekufuran.
Artinya disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia
kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia
semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia
adalah orang yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia
semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan
seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin
menjerumuskannya dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah
musyrikin Mekkah dalam surat Al Qolam. Allah subhanahu wa ta’ala
mengisahkan,
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin
Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka
bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akanmemetik (hasil)nya di pagi hari.dan
mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),lalu kebun itu diliputi malapetaka
(yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam:
17-19), silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Orang-orang yang berdusta ini diuji dengan kebaikan
dan harta yang melimpah untuk mereka. Mereka diberikan harta yang begitu
banyak, juga diberikan keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai
dengan kemauan mereka. Dan pemberian ini bukanlah diberikan karena kemuliaan
mereka di sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat
mereka semakin terlena dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]
Kesimpulan
Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah,
Dan ia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui,
seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang
pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat
seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran. Karena Allah
berfirman,
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran),
maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5). Kita
harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang
Allah beri malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksit, syirik
dan kekufuran.
Sehingga jika sudah kita mengerti hal ini, maka kita
mesti iri pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita. Itu memang pantas
untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya
semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah beri.
Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah beri taufik. Sungguh terasa nikmat jika
kita dapat terus mengkaji Al Qur’an walaupun sesaat.
Panggang-Gunung Kidul, 14 Shofar 1431 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/278, Muassasah
Qurthubah.
[3]Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 880,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1423 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar